Polisi Tetapkan 10 Tersangka Pembuat dan Penyebar Hoaks
Sejak 21 Mei hingga 28 Mei 2019, polisi mendapati setidaknya ada 20 kabar bohong atau hoaks yang tersebar melalui berbagai media terkait dengan aksi massa pasca-penetapan Pemilu 2019. Sejumlah 10 tersangka atas kejadian ini pun telah diamankan polisi.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak 21 Mei hingga 28 Mei 2019, polisi mendapati setidaknya ada 20 kabar bohong atau hoaks yang tersebar melalui berbagai media terkait dengan aksi massa pasca-penetapan Pemilu 2019. Sejumlah 10 tersangka atas kejadian ini pun telah diamankan polisi.
”Para tersangka ini membuat konten-konten hoaks yang berisi ujaran kebencian dan narasi yang bersifat provokatif. Mereka melakukannya dalam rangka membangkitkan emosi dan opini publik,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Dedi menegaskan, apabila dibiarkan, tentu kejadian ini berbahaya bagi keamanan negara. ”Kami terus membangun literasi digital dan penegakan hukum untuk memitigasi akun-akun yang dengan sengaja menyebarkan hoaks,” ujarnya.
Sepuluh tersangka pembuat serta penyebar konten hoaks ialah SDA, ASR, MNA, AU, RR, M, DS, MS, MA, H. Para tersangka ada yang menyebarkan konten bersifat provokasi untuk menimbulkan rasa kebencian, baik individu maupun kelompok, ancaman kepada tokoh nasional, hingga berita bohong.
Sementara itu, untuk tersangka MNA alias Mustofa Nahrawardaya ditangkap karena menyebarkan konten negatif berisi ujaran kebencian yang berdasarkan suku, ras, dan agama. Dia pun menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan publik.
Mustofa membuat dua kejadian berbeda dalam aksi massa menjadi satu informasi. Dia menggabungkan video penangkapan perusuh Andri Bibir di lapangan parkir sebelah Masjid Al-Huda yang berlokasi di Jalan Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan kematian Harun (15).
Untuk itu, Kepala Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Rickynaldo Chairul menyampaikan, Mustofa telah ditangkap pada 26 Mei 2019. Dia ditangkap di wilayah Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Atas perbuatannya, Mustofa terancam Pasal 45A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Mustofa terancam hukuman pidana penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.
”Penegakan hukum merupakan langkah terakhir yang kami tempuh. Sebelumnya, Mustofa pernah kami panggil untuk diajak berkoordinasi dan berkomunikasi terkait dampak yang akan muncul apabila menyebarkan hoaks. Namun, ia tetap tidak mengindahkannya,” tutur Rickynaldo.
Secara terpisah, Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ferdinandus Setu menyampaikan, Kemenkominfo sebenarnya telah memiliki mesin ais yang mumpuni untuk menghalau penyebaran konten-konten negatif. Namun, jumlah verifikator masih kurang.
”Target kami agar lebih ideal dalam memverifikasi banyak konten yang muncul idealnya digarap 200 orang. Namun, karena keterbatasan tempat, saat ini baru ada 100 verifikator,” ujar Ferdinandus.
Selain itu, Kemenkominfo juga akan terus mengupayakan literasi digital kepada masyarakat agar tidak membuat, menyebarkan, bahkan percaya pada konten-konten negatif. ”Literasi digital ini penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan pemberitaan yang ada,” katanya.