BOLAANG MONGONDOW, KOMPAS – Upaya konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di perbatasan Sulawesi Utara dan Gorontalo diadang keberadaan penambangan emas tanpa izin. Selain merusak lingkungan, aktivitas ilegal itu juga membahayakan manusia karena penggunaan zat berbahaya dalam mengolah emas.
Data Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) menunjukkan, sekitar 455,5 hektar dari hutan lindung seluas 282.000 hektar itu menjadi lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI). Di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, PETI ditemukan antara lain di Desa Doloduo dan Toraut (Dumoga Barat), Pindol (Lolak), serta Nuntap yang terletak antara Dumoga dengan Desa Labuan Uki.
Kepala Seksi Pengelola Taman Nasional (SPTN) Wilayah III Maelang TNBNW Yulian Sadono mengatakan, pihaknya belum memiliki data jumlah penambang. “Di seluruh wilayah PETI di TNBNW, termasuk di Desa Mongilo (Bone Bolango, Gorontalo), sudah pasti ada ratusan penambang. Satu kelompok beranggotakan 10-20 penambang di satu lubang ,” katanya, Selasa (28/5/2019).
Kedalaman lubang PETI yang dibuat warga desa mencapai 20-100 meter. Yulian mengatakan, lubang-lubang itu dibuka dengan cara membalak hutan terlebih dahulu. Perburuan satwa di taman nasional pun kerap terjadi. “Ini tentu merusak ekosistem hutan lindung,” ujarnya.
Selain merusak ekosistem, proses pengolahan emas yang dilakukan di sekitar tambang menyebabkan pencemaran merkuri. Para penambang mengolah batu-batu yang mengandung emas dengan mesin tromol tanpa mengolah limbah. Hasil pengecekan lapangan beberapa waktu lalu, kata Yulian, membuktikan salah satu sungai di daerah Toraut sudah tercemar merkuri.
Adapun sebagian material diolah di luar kawasan tambang, seperti di Desa Pinonobatuan, Dumoga Timur. Limbah sisa pengolahan emas diduga mencemari sawah warga.
Kepala SPTN Wilayah II Doloduo TNBNW Agung Triono mengatakan, berbagai hal sudah dilakukan untuk menutup PETI. Pada tahun 1994, telah dilangsungkan Operasi Teritorial Santiago.
Kala itu, Komando Resor Militer 131/Santiago yang terpusat di Manado menangkap 54 orang yang terdiri dari penambang emas, penebang hutan, pedagang kayu, pengusaha tromol, dan bahkan aparat sipil dan TNI (Kompas, 29 Oktober 1994). Operasi dilangsungkan karena masalah di area PETI berdampak pada konflik antarwarga di permukiman desa.
Sosialisasi kepada masyarakat serta koordinasi dengan kepolisian dan berbagai pihak terkait pun telah dilakukan sejak awal 2000-an, begitu pula penutupan lubang bekas PETI dan lubang PETI yang masih aktif. Kendati begitu, PETI masih ada hingga kini di sekitar TNBNW.
PETI dikhawatirkan menjadi lokasi kerja yang tidak aman bagi warga desa. Pada Februari lalu, longsor terjadi di PETI Desa Bakan, Lolayan, Bolaang Mongondow. Peristiwa itu menyebabkan 28 penambang tewas.
Alternatif
Saat ini, harga emas sekitar Rp 660.000 per gram. Yulian mengatakan, emas cukup menguntungkan secara ekonomis bagi para penambang meskipun jumlah yang didapat tidak tetap setiap hari.
“Satu kelompok bisa mengumpulkan 10 karung batu material dalam sehari. Bisa saja pengolahan tromol menghasilkan 50 gram emas, bisa juga hanya 10 gram. Untuk menghentikan ini, diperlukan sumber penghasilan alternatif untuk warga desa yang bekerja di PETI,” kata Yulian.
Field Coordinator Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS) Elisabeth Purastuti mengatakan, sebagian penambang adalah buruh tambang. Upah mereka bisa mencapai Rp 200.000 per hari.
Elisabeth yakin, alternatif seperti ekowisata bisa mengurangi minat sebagian orang untuk bekerja di PETI sebab penghasilannya bisa melebihi upah buruh tambang.
“Kami sedang membina warga ekowisata dengan KPA (Kelompok Pecinta Alam) Tarsius di Toraut. Kalau berhasil, otomatis mereka akan beralih ke profesi baru di bidang pariwisata. Tapi, menghentikan tambang sangat susah karena banyak sekali pihak yang terlibat,” kata Elisabeth.
Terkait ide ini, Kepala Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow Ulfa Paputungan mengatakan, pihaknya akan terus berupaya menjual potensi wisata desa sekitar TNBNW. Namun, diperlukan kerja sama berbagai pihak untuk menutup PETI, termasuk oleh pemerintah provinsi dan pusat.
Adapun Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) I Wilayah Bolaang Mongondow Usman Buchari mengatakan, warga desa dapat mengembangkan badan usaha milik desa (BUMDes) untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Ia mencontohkan, daerah Dumoga memiliki potensi besar sebagai penghasil kemiri terbesar di Bolaang Mongondow.