Pakistan Press Foundation Kecam Kekerasan terhadap Jurnalis Indonesia
Pakistan Press Foundation menyerukan kecaman terhadap aksi kekerasan yang dialami beberapa jurnalis Indonesia yang tengah menjalankan tugas jurnalistik saat meliput demonstrasi berujung kekerasan pada 21-22 Mei 2019. Organisasi independen di Pakistan yang fokus pada perjuangan kebebasan berekspresi ini meminta pemerintah menginvestigasi penyebab kekerasan ini.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Pakistan Press Foundation menyerukan kecaman terhadap aksi kekerasan yang dialami beberapa jurnalis Indonesia yang tengah menjalankan tugas jurnalistik saat meliput demonstrasi berujung kekerasan pada 21-22 Mei 2019. Organisasi independen di Pakistan yang fokus pada perjuangan kebebasan berekspresi ini meminta pemerintah menginvestigasi penyebab kekerasan ini.
Owais Aslam Ali, Sekretaris Jenderal Pakistan Press Foundation (PPF), menyampaikan protes terhadap sejumlah aksi kekerasan yang dialami jurnalis Indonesia kepada Presiden Joko Widodo, Senin (27/5/2019). Selain mendesak penelusuran aksi kekerasan tersebut, PPF juga meminta aparat keamanan menindak para pelakunya.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen, jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa 21-22 Mei 2019 mencapai 20 orang dari beberapa media. Kasus kekerasan itu terjadi di beberapa tempat kerusuhan, meliputi kawasan Thamrin, Petamburan, dan Slipi Jaya, Jakarta.
Kekerasan yang dialami 20 jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja jurnalistik, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga pembakaran motor.
”Mayoritas kasus kekerasan terjadi saat jurnalis meliput unjuk rasa di sekitar Gedung Bawaslu, di kawasan Thamrin. Beberapa kasus di antaranya, aparat kepolisian melarang jurnalis merekam penangkapan orang-orang yang diduga sebagai provokator massa,” kata Erick Tanjung, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Selasa (28/5/2019), saat dihubungi dari Purwokerto, Jawa Tengah.
Mayoritas kasus kekerasan terjadi saat jurnalis meliput unjuk rasa di sekitar Gedung Bawaslu, di kawasan Thamrin.
Seperti diberitakan sebelumnya, kerusuhan 21-22 Mei 2019 telah menyeret korban tewas sebanyak delapan orang. Selain korban tewas, peristiwa tersebut ternyata juga berimbas pada aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis. Diduga, pelaku aksi-aksi kekerasan adalah aparat keamanan dan massa aksi.
Menunjukkan identitas
Menurut Erick, para jurnalis yang menjadi korban sebenarnya sudah menunjukkan identitas kartu pers kepada aparat. Sikap tak menghargai kerja jurnalis yang pada dasarnya telah dijamin dan dilindungi oleh UU Pers seperti ini sangat disesalkan AJI serta PPF.
Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, sejumlah jurnalis yang mengalami kekerasan tersebut, meliputi Budi, kontributor CNN Indonesia TV yang mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja dan penghalangan liputan oleh polisi; Intan dan Rahajeng, jurnalis RTV yang mengalami persekusi oleh massa aksi; Draen, jurnalis Gatra, mengalami kekerasan fisik dan diusir oleh polisi; Felix, jurnalis Tirto, dihalangi saat liputan; dan Dwi, jurnalis Tribun Jakarta, yang mengalami kekerasan tidak langsung berupa kepala bocor terkena lemparan batu massa aksi.
Jurnalis lainnya, Ryan dari CNNIndonesia.com, juga mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja, dan penghalangan liputan oleh polisi. Sementara itu, reporter lainnya dari CNNIndonesia.com juga mengalami penghalangan peliputan dan perampasan paksa alat kerja oleh polisi.
Satu jurnalis televisi, yang juga bernama Ryan dari MNC Media, dirampas alat kerjanya oleh massa aksi. Kemudian, Fajar, jurnalis Radio MNC Trijaya, mengalami kekerasan fisik, penghapusan karya jurnalistik, dan penghalangan liputan oleh polisi.
Fadli, jurnalis Alinea.id, juga mengalami kekerasan fisik dan penghalangan liputan; Fahreza, jurnalis Okezone.com, mengalami perusakan sepeda motor oleh massa aksi; dan Putera, jurnalis Okezone.com, mengalami perusakan motor oleh aparat.
Dalam momen yang sama, Aji, jurnalis INews TV, mengalami kekerasan fisik dan diusir aparat kepolisian; Setya, jurnalis TV One, mengalami kekerasan fisik dan penghalangan liputan oleh polisi; Ario, VJ Net TV, juga mengalami perusakan alat kerja/motor dibakar.
Sementara itu, Yuniadhi Agung, fotografer Kompas, motornya dirusak dan Topan, fotografer Tempo, mengalami kekerasan tidak langsung, yaitu matanya kena serpihan dari bom molotov massa aksi. Berikutnya, Niniek, jurnalis AP, bahkan mengalami persekusi daring.
Menurut Asnil Bambani, Ketua AJI Jakarta, deretan kasus ini merupakan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terburuk sejak reformasi. Oleh karena itu, AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mengecam keras aksi kekerasan dan upaya penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan aparat kepolisian ataupun massa aksi.
Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp 500 juta.
”Kami mendesak aparat keamanan dan masyarakat untuk menghormati dan mendukung iklim kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta menghalangi kerja jurnalis di lapangan. Kami juga mengimbau kepada para pemimpin media massa untuk bertanggung jawab menjaga dan mengutamakan keselamatan jurnalisnya,” ujarnya.
Bertolak dari kasus ini, AJI dan LBH Pers mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, baik oleh polisi maupun kelompok warga. Selain mengimbau para pemimpin media massa agar mengutamakan keselamatan jurnalisnya, AJI dan LBH Pers juga mengimbau para jurnalis yang meliput aksi massa untuk mengutamakan keselamatan dengan menjaga jarak saat terjadi kerusuhan.