Mempererat Persahabatan Indonesia-China Lewat Diplomasi Islam
Acara buka puasa di rumah Dubes China untuk ASEAN Huang Xilian menjadi ajang silaturahmi akrab antara mahasiswa-mahasiswi dari Universitas Al Azhar Indonesia dan Universitas Indonesia dengan Duta Besar China dan para stafnya, Senin (27/5). Lewat acara khas Ramadhan ini, diharapkan terbangun persahabatan antarbangsa.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Acara buka puasa di rumah Dubes China untuk ASEAN Huang Xilian menjadi ajang silaturahmi akrab antara mahasiswa-mahasiswi dari Universitas Al Azhar Indonesia dan Universitas Indonesia dengan Duta Besar China dan para stafnya, Senin (27/5). Lewat acara khas Ramadhan ini, diharapkan terbangun persahabatan antarbangsa.
Menjelang petang, para undangan berdatangan ke rumah Dubes yang terletak tidak jauh dari Taman Senopati, Menteng, Jakarta Pusat. Saat waktu Maghrib tiba, hadirin membatalkan puasa dengan hidangan ringan, ibadah shalat Maghrib, dilanjutkan dengan jamuan makan khas dengan menu Muslim Tionghoa, seperti bebek peking, kambing panggang, beragam acar, sayur-mayur, nasi goreng, dan berbagai hidangan lain yang melimpah.
Setelah santap buka puasa, belasan mahasiswi berkerudung biru dari Universitas Al Azhar Indonesia dengan ceria bernyanyi dalam bahasa Mandarin, ”Yue Liang Dai Biao Wo De Xin”, yang berarti Rembulan Menggambarkan Cintaku. Cengkok paduan suara para mahasiswi Al Azhar tersebut pas seperti lidah Tionghoa. Hadirin pun menyambutnya dengan tepuk tangan meriah.
Selanjutnya, anak-anak kecil dari keluarga besar Korps Diplomatik Kedubes China untuk ASEAN ganti menyanyikan lagu anak-anak Indonesia berjudul ”Anjing Kecil (Heli Guk Guk Guk)” yang dipopulerkan Chicha Koeswoyo pada tahun 1976. Nyanyian mereka diiringi tepukan tangan mahasiswi dan mahasiswa yang hadir. Setiap kali para bocah tersebut menyanyikan,”Heli”, seisi ruangan menyambutnya dengan ”Guk, guk, guk”.
Duta Besar Huang tampak bercakap dengan para dosen senior Mandarin yang hadir. Nurni Wahyu Wuryandari, Guru Besar Sastra China Universitas Indonesia menceritakan, betapa antusiasnya Dubes Huang mencari tahu tentang jurusan Sastra Cina UI.
”Dubes mengapresiasi jurusan kami yang sekarang memiliki 200 mahasiswa dan mahasiswi dari semua tingkatan. Lulusan kami selama ini mudah memperoleh pekerjaan,” kata Nurni yang hadir bersama beberapa mahasiswi UI yang tampil ayu dengan kerudung dan busana batik.
Dubes Huang mengapresiasi minat dan ketekunan belajar bahasa Mandarin di Indonesia. Terkait dengan bulan Ramadhan, Dubes Huang mengungkapkan, sekurangnya ada 20 juta warga Muslim di China yang saat ini juga sedang menjalankan ibadah puasa.
”Sejak awal abad Hijriah, kebudayaan Islam masuk ke Tiongkok lewat Jalur Sutra, jalur perdagangan, dan berlangsung secara damai. Kondisi serupa ingin dibangun dalam kerja sama Belt and Road Initiative,” kata Dubes Huang.
Safari Ramadhan
Ribuan kilometer dari Jakarta, Ustaz Sukron Makmun juga sibuk menggelar safari Ramadhan di wilayah Administrasi Khusus China di Hongkong dan Makau. Sukron Makmun yang menjadi dai ambassador Dompet Dhuafa mendapati pandangan yang inklusif dan toleran dari sebagian besar jemaah yang merupakan pekerja migran asal Indonesia.
Keberadaan para pekerja migran tersebut dapat menjadi duta soal toleransi Islam dan peradaban Indonesia dalam pergaulan dunia saat ini. Sukron menjelaskan, di Makau, jemaah Indonesia meminjam tempat yang dibangun oleh warga Pakistan dan berinteraksi baik dengan sesama Muslim dan warga lain di Makau.
”Saya juga diwawancarai oleh TV Macau dengan arah sangat positif sekali. Tidak ada bias dan prasangka. Saya ditanya pesan dan harapan soal perdamaian,” kata Sukron Makmun, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten yang belasan tahun tinggal dan berkeliling Timur Tengah.
Keberadaan beragam masjid tua di China yang lebih lama mengenal peradaban Islam dibandingkan dengan Kepulauan Nusantara, serta kemungkinan kerja sama perdagangan, sosial, dan budaya antara komunitas Muslim China dan Indonesia merupakan bagian penting dari hubungan Indonesia dan China.
Mempererat hubungan bilateral lewat diplomasi Islam ini memang sangat penting. Belum lama berselang, Ahmad Syaifuddin Zuhri dan rekan-rekan aktivis Nahdlatul Ulama di China menerbitkan buku Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok yang berisi catatan tentang Islam di Tiongkok, perkembangan pendidikan, ekonomi, dan ilmu pengetahuan di Tiongkok.
”Diplomasi Islam kita harus menjadi salah satu motor untuk memperkuat hubungan dua negara dan menjadi jembatan saling pengertian,” kata Syaifuddin Zuhri yang mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan sedang menyelesaikan program doktoral di China.
Kesantunan dalam adab pergaulan dan keilmuan serta pengetahuan agama Islam yang diperjuangkan oleh Syaifuddin Zuhri, Sukron Makmun, dan rekan-rekan lainnya dalam kerangka kerja sama dua negara tersebut menjadi landasan penting hubungan sesama negara besar.