Mei, 21 Tahun Kemudian
Peristiwa rusuh di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 mengingatkan sebagian orang pada peristiwa Mei 1998. Meski konteks dan kondisinya tidak sama dan sulit dibandingkan, ada yang seolah menimbulkan deja vu di dua peristiwa yang berjarak 21 tahun itu.
Apa yang sebenarnya terjadi pada 21-22 Mei lalu di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu, sekitar kawasan Petamburan, dan Slipi Jaya, Jakarta, masih menyisakan sejumlah tanya. Unjuk rasa menolak hasil Pemilu 2019 yang awalnya berlangsung damai, pada malam harinya tiba- tiba menjadi rusuh.
Sejumlah kasus yang muncul di seputar peristiwa itu, seperti adanya kelompok yang diduga memprovokasi untuk rusuh, adanya korban meninggal, hingga adanya dugaan penyelundupan senjata api, menjadi pekerjaan rumah yang mendesak diselesaikan.
Sambil menunggu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, kerusuhan 21-22 Mei 2019 menimbulkan ingatan sebagian orang atas peristiwa Mei 1998.
Unjuk rasa yang dimulai di depan Gedung Bawaslu pada 21 Mei 2019 itu terjadi tepat 21 tahun setelah Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Sebelum Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, Jakarta dilanda kerusuhan. Kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei itu didahului oleh peristiwa meninggalnya empat mahasiswa Trisakti karena ditembak pada 12 Mei 1998.
Sehari setelah Soeharto mundur, Prabowo Subianto diganti dari posisinya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategi TNI AD (Pangkostrad). Posisi itu lalu diserahkan ke Letnan Jenderal Johny Lumintang, sementara Prabowo dipindahkan ke posisi Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI.
Dalam berita Prabowo Subianto Diganti” yang dimuat di halaman muka Harian Kompas edisi 23 Mei 1998, upacara serah terima jabatan yang berlangsung sekitar pukul 17.30 itu, disebut berlangsung sederhana dan tertutup dari media.
Kisah digantinya Prabowo dari jabatan Pangkostrad ini, juga dituturkan BJ Habibie dalam autobiografinya berjudul Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi . Dalam buku itu antara lain ditulis, pada 22 Mei 1998, Wiranto yang saat itu menjadi Panglima ABRI (Pangab), tiba-tiba mendatangi Habibie yang saat itu baru saja menjabat sebagai Presiden, menggantikan Soeharto.
Wiranto melaporkan ke Habibie, bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta. Pasukan itu diarahkan ke kediaman Habibie serta Istana Merdeka.
Pergerakan itu disinyalir tanpa sepengetahuan Wiranto sebagai Pangab. Habibie lalu meminta Prabowo diganti sebelum matahari terbenam, dan semua pasukan harus ditarik kembali ke kesatuan masing-masing.
Sesaat sebelum diganti dari jabatannya sebagai Pangkostrad, Prabowo mendatangi Habibie. Dalam pertemuan itu, menurut Habibie, Prabowo sempat tidak menerima pergantian jabatan di Pangkostrad. Namun, akhirnya, Prabowo menerima keputusan pergantian tersebut.
Prabowo sempat membantah sejumlah hal yang disampaikan Habibie di bukunya, Prabowo menegaskan, tidak pernah mengerahkan pasukan Kostrad untuk makar.
Prabowo, membenarkan, saat itu memang ada pasukan Kostrad yang berjaga di sekitar rumah Habibie dan Istana merdeka. Namun, pasukan itu untuk mengamankan Jakarta.
Aktor
Terlepas dari sejumlah polemik dan pertanyaan yang belum terjawab di seputar peristiwa Mei 1998, sebagian sosok yang terlibat pada peristiwa itu masih ada dan juga punya peran dalam peristiwa Mei 2019 di Jakarta.
Prabowo, adalah calon presiden di Pemilu 2019. Sesaat sebelum kerusuhan 21-22 Mei 2019, ia menyatakan menolak hasil penghitungan suara pilpres yang dilakukan KPU, karena dia menilai penuh dengan kecurangan.
Sementara Wiranto, kini menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Dia yang mengkoordinasikan pengamanan saat peristiwa 21-22 Mei 2019.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais, yang saat ini mendukung Prabowo, pada 21 tahun lalu termasuk sosok yang gencar meneriakkan reformasi dan menuntut Soeharto mundur.
Sosok lain yang belakangan muncul seperti Kivlan Zein, juga telah dikenal pada 1998. Ia menjadi kepala Staf Kostrad dengan pangkat mayor jenderal, saat Prabowo menjadi Pangkostrad.
Tokoh lain yang punya peran besar di 1998 seperti BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri, saat ini eksistensinya juga masih sangat dihargai.
Jika ada sosok yang saat ini punya peran besar namun belum ada di 1998, maka itu antara lain Presiden Joko Widodo.
Demokrasi
Beberapa hari pasca turunnya Soeharto, budayawan Mohamad Sobary mengungkapkan kekhawatiran sekaligus harapannya tentang nasib Indonesia ke depan. Dalam kolom berjudul “Demokrasi” di Harian Kompas, 24 Mei 1998, Sobary mengingatkan, konsep persatuan dan kesatuan bangsa jangan hanya dijadikan ideologi absurd yang mudah dikorupsi.
Sobary khawatir, meski rezim saat itu sudah berganti, sakit yang mengakar dialami Indonesia belum sepenuhnya sembuh.
Kini, 21 tahun berlalu, apa yang disampailkan Sobary itu masih terasa masih relevan, Sejarah seperti berulang dengan pola yang mirip, elite yang sebagian sama, dan korban yang sama. Politik perburuan kekuasaan dan persepsi persatuan bangsa yang tanggung kembali menempatkan rakyat sebagai korban.
Akhirnya, peristiwa 21-22 Mei lalu kembali mengingatkan kita, sejauh mana jalan demokrasi yang kita tempuh selama 21 tahun terakhir?