Komedi Satire di Era Ketakutan Besutan Bong Joon-ho
Film komedi satire tentang penipu ulung dari keluarga kelas bawah Seoul, Parasites atau Gisaengchung, memenangi piala palem emas atau Palme d’Or di Festival Film Cannes, Perancis, Sabtu (25/5/2019) waktu setempat. Sutradaranya, Bong Joon-ho (49), jadi representasi industri perfilman Korea yang telah berjalan selama seratus tahun itu.
Oleh
Herlambang Jaluardi
·5 menit baca
Film komedi satire tentang penipu ulung dari keluarga kelas bawah Seoul, Parasites atau Gisaengchung, memenangi piala palem emas atau Palme d’Or di Festival Film Cannes, Perancis, Sabtu (25/5/2019) waktu setempat. Sutradaranya, Bong Joon-ho (49), jadi representasi industri perfilman Korea yang telah berjalan selama seratus tahun itu.
Berbicara kepada media di ruang jumpa pers setelah menerima piala, Bong tak dapat menyembunyikan kebahagiaan dan keterkejutannya. Dengan kerendahan hati, Bong mengatakan, ia banyak belajar dari sineas hebat Korea di masa lampau.
”Piala ini terasa lebih spesial karena tahun ini perfilman Korea telah berlangsung seratus tahun,” kata Bong yang dilansir AFP. ”Pada 2006 lalu, aku mendatangi perpustakaan sinema Perancis untuk menonton film-film Kim Ki-young. Aku terkejut karena banyak penonton Perancis yang menyukainya. Hal itu amat mengesankan bagiku.”
Menurut sutradara tujuh film panjang ini, ada banyak sineas Korea lain yang pantas berlaga dan dianugerahi piala di Cannes. Dia bersedia menjadi duta perfilman Korea demi mengenalkan karya-karya yang menurut dia hebat itu.
Ini adalah momentum bagi orang-orang di penjuru dunia untuk meluangkan waktu menyimak film-film Korea.
”Ini adalah momentum bagi orang-orang di penjuru dunia untuk meluangkan waktu menyimak film-film Korea,” lanjut sarjana sosiologi ini.
Dalam empat tahun terakhir saja, Korea selalu mengirimkan filmnya untuk berlaga di ajang kompetisi tertinggi di Cannes. Pada 2016, ada film Burning besutan Lee Chang-dong. Tahun 2017, Korea diwakili film Okja garapan Bong. Setahun kemudian, giliran sutradara Park Chan-wook yang berkompetisi bagi filmnya, The Handmaiden. Namun, baru Bong yang mengangkat piala di 2019.
Ketika menggarap film Parasite, Bong mencermati film-film besutan Kim Ki-young, terutama drama kriminal The Housemaid produksi 1960. Dia juga menyimak film-film detektif klasik besutan Alfred Hitchcock. Sembilan juri Cannes, yang tahun ini dikepalai Alejandro González Iñárritu, menganugerahi Parasite piala palem emas dengan kemenangan mutlak.
Film berdurasi 132 menit itu mengungguli 20 film lain pada kompetisi utama di Festival Film Cannes ke-72 itu. Beberapa judul lain disutradarai nama-nama sutradara besar, baik di kancah industri maupun seni, seperti Quentin Tarantino (Once upon a Time in Hollywood), Jim Jarmusch (The Dead don’t Die), Terrence Malik (A Hidden Life), Marco Bellocchio (The Traitor), dan Pedro Almodóvar (Pain & Glory).
Film-film pilihan juri tersebut, kata Iñárritu, adalah bagian tak terpisahkan dari era penuh ketakutan seperti sekarang ini. ”Sinema di masa ini mewakili kesadaran sosial yang diungkapkan orang-orang di seluruh dunia,” kata sutradara peraih Oscar untuk film Birdman (2016) itu. Film Parasite, tentu saja, termasuk di dalamnya.
Beda kelas
Parasite berpusat pada pergulatan keluarga Ki-taek menyiasati tekanan hidup di Kota Seoul. Ki-taek (diperankan Song Kang-ho) digambarkan sebagai seseorang yang berakal banyak; cerdas tetapi cenderung licik. Tanpa bekal pendidikan formal, Ki-taek bisa jadi tutor bahasa Inggris untuk putri dari keluarga yang tinggal di rumah gedongan.
Pada suatu ketika, dia memboyong ayah, ibu, dan adik perempuannya ”tinggal” di rumah yang disebut dibangun di zona bebas banjir itu. Di tempat itulah peristiwa-peristiwa tak diharapkan terjadi.
Bong, yang juga menulis naskahnya, berusaha mengembangkan tokoh-tokoh di filmnya dengan apik. Keluarga Ki-taek itu terdiri dari ayah yang selalu gagal berbisnis, ibu yang tak pernah sukses jadi atlet, dan dua anak yang tak kunjung bisa menembus ujian masuk kuliah. Sebaliknya, ”keluarga mujur” terdiri atas ayah yang jadi CEO perusahaan teknologi, beristri rupawan, dengan dua anak remaja yang manis.
”Potret dua jenis keluarga itu ada di seluruh Korea, bahkan di mana pun,” kata Bong. ”Aku mau menggambarkan polarisasi dan ketimpangannya di dalam masyarakat sebagai komedi yang menyedihkan. Dalam kehidupan nyata, pertemuan kelompok berbeda diharapkan berjalan simbiosis. Namun, jika tidak berhasil, yang terjadi adalah hubungan yang parasit.”
Dalam kehidupan nyata, pertemuan kelompok berbeda diharapkan berjalan simbiosis. Namun, jika tidak berhasil, yang terjadi adalah hubungan yang parasit.
Kritikus film dari Variety, Jessica Kiang, menyebut film itu sebagai ”kegeraman yang bergemuruh”. ”Parasite beraroma amis darah yang tumpah dari amuk antarkelas,” ujarnya. Sementara situs film Indie Wire menganggap film itu sebagai wujud dari ”entakan besar kegelisahan ekonomi”.
Menyimak komentar-komentar yang agak bombastis itu, agaknya upaya Bong menggambarkan relasi masyarakat kapitalistik terbilang berhasil. Ketika namanya disebut pada malam penganugerahan, hadirin berdiri dan memberi tepukan berlama-lama. Suasananya riuh dan penuh haru.
Dicemooh
Keriuhan itu berbeda nuansa dengan yang dia terima pada 2017 silam. Di ajang yang sama, sebagian penonton mencemooh ketika film Okja mulai diputar. Suasana memburuk karena ukuran gambar tak sebanding dengan lebarnya layar. Pemutaran filmnya dihentikan ketika baru berjalan lima menit dan diulang dengan ukuran gambar yang tepat.
Film Okja diproduksi Netflix, penyedia jasa layanan film streaming televisi. Film-film produksi mereka tak beredar di bioskop umum, tetapi hanya di kanal sendiri. Sebagian juri berketetapan, film yang berkompetisi di Cannes harus beredar di bioskop.
Jadi, sebenarnya cemooh yang dihadapi Bong tak terkait dengan pencapaian artistik filmnya. Makanya, ia tak ambil pusing dengan keruwetan itu. ”Aku senang-senang saja karena kalian (penonton) bisa menyaksikan pembukaan film sebanyak dua kali,” ujarnya ketika itu, seperti ditulis The Guardian.
Seperti halnya Parasite, film Okja juga menyiratkan pertarungan sengit antara pemilik modal dan rakyat jelata. Bedanya, Okja menggunakan makhluk imajiner—seekor babi raksasa—sebagai pihak yang diperebutkan. Sementara di Parasite, dua kelas itu memperebutkan privilese.
Disarikan dari laman Koreanfilm.org, Bong mengatakan menggilai film sejak kecil. Dia menetapkan tekad menjadi pembuat film ketika sejak masih bersekolah. Dia menduga, sisi artistiknya diturunkan oleh ayahnya yang jadi desainer, juga kakeknya yang merupakan penulis ternama. Namun, dia memilih kuliah di Jurusan Sosiologi Universitas Yonsei di Seoul ketika gerakan prodemokrasi tengah menggelora.
Ketika berkuliah itu, Bong mengelola komunitas sinema Cineclick, yang banyak mengenalkan film-film dari Jepang dan Eropa yang tidak terlalu populer di kalangan mahasiswa. Film-film pendek pertamanya ia besut ketika terpilih mengikuti Korean Academy of Film Arts pada awal dekade 1990-an.
Film panjang pertamanya, Barking Dogs Never Bite (2000), diperbincangkan ketika mengikuti festival di Spanyol dan Hong Kong. Namanya makin moncer ketika dipercaya menyutradarai film ketiganya, The Host (2006), yang berbiaya besar dan laris manis. Piala palem emas yang ia genggam akhir pekan lalu seolah menguatkan bahwa film Korea tak melulu drama-drama picisan. (FESTIVALCANNES.COM/INDIEWIRE.COM/HIGHONFILMS.COM)
Bong Joon-ho
Lahir: Daegu, Seoul, 14 September 1969
Film panjang:
Barking Dogs Never Bite (2000)
Memories of Murder (2003)
The Host (2006)
Mother (2009)
Snowpiercer (2013)
Okja (2017)
Parasite (2019)
Penghargaan:
Palme d’Or, Festival Film Cannes 2019, film Parasite
Nomine Palme d’Or, Festival Film Cannes 2017, film Okja
Entri kategori film berbahasa asing, Academy Awards 2010, Mother