aksa penuntut umum menuntut terdakwa kasus penyebaran kabar bohong, Ratna Sarumpaet, enam tahun pidana penjara. Jaksa menilai Ratna telah menyebarkan kabar bohong yang menimbulkan keonaran di tengah masyarakat.
Oleh
Insan Alfajri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa kasus penyebaran kabar bohong, Ratna Sarumpaet, enam tahun pidana penjara. Jaksa menilai Ratna telah menyebarkan kabar bohong yang menimbulkan keonaran di tengah masyarakat.
”Agar majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ratna Sarumpaet dengan pidana penjara selama enam tahun, dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan sementara,” kata jaksa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan dipimpin hakim Joni dengan didampingi dua hakim anggota, Krisnugroho dan Mery Taat Anggarasih.
Jaksa menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa Ratna Sarumpaet telah terbukti secara sah dan meyakinkan serta telah memenuhi unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sepanjang pemeriksaan di persidangan, jaksa telah mendapat fakta-fakta terkait kasus hukum terdakwa. Dari fakta itu tidak terdapat hal yang membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Selain itu, tidak ditemukan juga alasan memaafkan dan membenarkan perbuatan terdakwa.
Jaksa menilai, hal yang memberatkan terdakwa adalah perannya sebagai publik figur dan intelektual, tetapi tidak berperilaku baik. Terdakwa memberikan keterangan yang berbelit-belit selama persidangan dan membuat onar di tengah masyarakat. Sementara hal yang meringankan terdakwa adalah tindakannya yang sudah meminta maaf.
Jaksa membenarkan bahwa pada Kamis 20 September 2018 sekitar pukul 18.30, Ratna pergi ke Rumah Sakit Bina Estetika, Jakarta Pusat, untuk konsultasi dengan dokter bedah. Sehari sesudahnya, operasi dilakukan. Namun, kepada anaknya di rumah, termasuk stafnya, Ratna mengaku hendak pergi ke Bandung.
Pada Sabtu 22 September 2018, Ratna terbangun dengan rasa sakit di bagian wajah. Dokter menyarankan agar Ratna dirawat selama dua hari lagi.
Pada 24 September 2018, Ratna kembali ke rumah. Sebelumnya, ia sudah mengabadikan wajahnya yang lebam tersebut dengan kamera gawai. Hasil swafoto inilah yang kemudian beredar di kalangan sejumlah kalangan, termasuk sejumlah elite politik yang kenal dengan Ratna.
”Setelah berita bohong itu disebarkan, berita itu menyebabkan keonaran, baik di media sosial maupun media elektronik,” kata jaksa.
Dalam uraian tuntutan, Jaksa menjabarkan sejumlah elite politik yang turut membagikan penganiayaan Ratna Sarumpaet itu. Pada 1 Oktober 2018, politisi Rizal Ramli, melalui akun Twitter, menyatakan bahwa penganiayaan terhadap Ratna merupakan tindakan sadis.
Politisi Partai PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan, tindakan itu sebagai ancaman terhadap demokrasi. Ini juga bentuk penghinaan terhadap Pancasila.
Aktivis Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan, ”Di tengah kekerasan yang dialami seorang ibu, kalian masih memaki.”
Sementara akademisi Rocky Gerung menilai, pemukulan terhadap Ratna sebagai tindakan dangkal dan dungu. ”Tak cukup memfitnah. Tak puas memaki. Akhirnya kalian memakai tinju.”
Bahkan, calon presiden Prabowo Subianto turut merespons kebohongan Ratna itu. Prabowo meminta polisi mengusut tuntas penganiayaan terhadap Ratna.
Menjelang pengakuan kebohongan Ratna Sarumpaet pada 3 Oktober 2018, berlangsung aksi massa di samping kantor Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dengan membakar ban, massa minta polisi bertindak tegas.
”Di kalangan masyarakat umum, berita ini menjadi perdebatan sehingga masyarakat jadi ribut dan saling menuduh,” kata jaksa lagi.
Merespons tuntutan jaksa, kuasa hukum Ratna Sarumpaet meminta waktu untuk membuat risalah pembelaan. Majelis hakim menyatakan sidang akan dilanjutkan pada 18 Juni 2019 dengan agenda mendengarkan pembelaan terdakwa.