Jepang khawatir perang dagang Amerika Serikat dan China mendominasi forum G-20. Jepang juga mencemaskan penurunan kepercayaan pada multilateralisme.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
KOMPAS/KRIS MADA
Wakil Khusus Jepang untuk G-20 Koji Tomita berpidato dalam pembukaan forum T-20, Minggu (26/5/2019), di Tokyo, Jepang. T-20 merupakan forum lembaga kajian dari negara-negara anggota G-20. Forum T-20 salah satu kegiatan pendahuluan menjelang konferensi tingkat tinggi G-20 di Osaka, Jepang, pada 28-29 Juni 2019
TOKYO, KOMPAS — Jepang khawatir perang dagang Amerika Serikat dan China mendominasi forum G-20. Jepang juga mencemaskan penurunan kepercayaan pada multilateralisme.
Wakil Khusus Jepang untuk G-20 Koji Tomita mengatakan, perkembangan hubungan AS-China sulit ditebak. ”Kami khawatir perkembangan ini akan mendominasi perdebatan para pemimpin bulan depan,” ujarnya dalam pembukaan Forum T-20, Minggu (26/5/2019), di Tokyo.
Forum T-20 adalah salah satu kegiatan pendahuluan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Osaka, Juni 2019. T-20 dihadiri perwakilan lembaga kajian dari negara-negara anggota G-20, seperti Indonesia, Jepang, AS, India, dan Arab Saudi.
Tomita mengatakan, Jepang mempersiapkan ruang dialog untuk aneka perkembangan itu. Kedekatan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dengan sebagian besar pemimpin negara anggota G-20 amat penting untuk penyediaan ruang dialog itu.
”Karena itu, PM Abe tidak bisa hadir hari ini di sini. PM Abe ada pekerjaan, tidak benar-benar bekerja, bermain golf dengan Trump (Presiden AS Donald Trump),” ujarnya.
Multilateralisme
Jepang berharap para pemimpin G-20 bisa bersikap pada berbagai fenomena mutakhir. Salah satu fenomena yang merisaukan Jepang adalah multilateralisme yang cenderung ditinggalkan.
”G-20 harus bisa menunjukkan multilateralisme adalah soal pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif. Kami berharap diskusi di Osaka bisa menangkap itu. Harus menunjukkan kerja jelas dan keseriusan pada multilateralisme. Kembalikan kepercayaan pada multilateralisme,” tuturnya.
Kerisauan Jepang antara lain dipicu keputusan sejumlah negara untuk meninggalkan forum multilateral dan mengutamakan pendekatan bilateral dan unilateral. Pendekatan seperti itu akan berbahaya di masa depan.
”Perekonomian dunia semakin terhubung satu sama lain. Jepang bisa terdampak kalau perekonomian China merosot,” kata Presiden Lembaga Hubungan Internasional Jepang Kenichiro Sasae.
KOMPAS/KRIS MADA
Presiden Lembaga Hubungan Internasional Jepang Kenichiro Sasae berpidato dalam pembukaan forum T-20, Minggu (26/5/2019), di Tokyo, Jepang. T-20 merupakan forum lembaga kajian dari negara-negara anggota G-20. Forum T-20 salah satu kegiatan pendahuluan menjelang konferensi tingkat tinggi G-20 di Osaka, Jepang, pada 28-29 Juni 2019.
Tomita mengatakan, pertanyaan lain yang harus dijawab adalah tentang inovasi untuk menghadapi berbagai tantangan mutakhir. Perkembangan masalah terkini tidak bisa lagi diselesaikan dengan cara dan teknologi lama. ”Kami berharap diskusi di Osaka bisa menjawab itu,” katanya.
Teladan
Tomita mengatakan, G-20 harus menjadi teladan untuk mengembalikan kepercayaan pada multilateralisme. Status G-20 sebagai kumpulan negara yang menguasai 85 persen perekonomian global menjadi alasan utama. Dengan penguasaan sebesar itu, aktivitas G-20 akan sangat berdampak pada perekonomian global.
Memang, tidak mudah untuk menunjukkan keseriusan G-20 pada multilateralisme. Perbedaan di antara G-20 menjadi penyebab utamanya. AS di bawah Trump berbeda pendapat tidak hanya dengan para pesaing tradisional seperti China dan Rusia. Washington juga bersitegang dan siap bermain keras dengan sekutunya, seperti pada Jepang, Kanada, dan Uni Eropa.
KOMPAS/KRIS MADA
Rekaman pidato Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ditayangkan dalam pembukaan forum T-20, Minggu (26/5/2019), di Tokyo, Jepang. T-20 merupakan forum lembaga kajian dari negara-negara anggota G-20. Forum T-20 salah satu kegiatan pendahuluan menjelang konferensi tingkat tinggi G-20 di Osaka, Jepang, 28-29 Juni 2019.
”G-20 harus bisa menunjukkan multilateralisme bukan hanya soal angka dan statistik. Harus ditunjukkan apa manfaatnya. Jangan hanya memandang hubungan antarnegara dari segi neraca perdagangan yang defisit,” kata ekonom CSIS, Fajar Hirawan, di sela forum T-20.
Impor yang memicu defisit harus dibedah untuk memastikan manfaatnya bagi perekonomian suatu negara. ”Impor baja dan mesin dibutuhkan sebagai modal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara. Hal itu seharusnya dihitung dan dipandang sebagai manfaat multilateralisme,” katanya.
Tidak kalah penting adalah G-20 harus mendorong pertumbuhan yang bermanfaat. Pertumbuhan tidak hanya harus merata. ”Untuk itu, perlu dipertimbangkan soal kualitas dan nilai tambah infrastruktur seperti sedang dikejar di Indonesia. Tujuan pemerataan bagus. Tetapi, perlu dipikirkan bagaimana infrastruktur bisa memberi nilai tambah,” tuturnya.
”AS pernah menguasai 50 persen produk domestik bruto global. Hal itu berarti AS mendapatkan surplus dari negara-negara lain. Sekarang, seharusnya AS tidak perlu terlalu keras karena porsinya dinilai mengecil,” kata mantan Presiden Majelis Umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sekaligus Menteri Pendidikan Kenya Amina Mohammed.
Perekonomian AS, kata Amina, tidak berkurang. Hal yang terjadi adalah perekonomian negara lain ikut berkembang sehingga kontribusinya secara global bisa meningkat. ”Tujuan pembangunan global adalah memeratakan perekonomian negara-negara,” ujarnya.