Selama ratusan tahun, Masjid Agung Palembang berdiri anggun di tengah masyarakatnya yang begitu beragam. Harmoni keberagaman yang sudah terjalin ratusan tahun itu pun terekam abadi di sana.
Dengan khusyuk, Fuad Muhammad (56) menjalankan shalat dzuhur di Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (15/5/2019).
Di sekelilingnya, di ruang utama masjid itu, terlihat para jemaah lain yang menjalankan ibadah, baik shalat, membaca doa dengan memegang tasbih, maupun membaca Al Quran.
Bagi Fuad, beribadah di Masjid Agung memberikan ketenangan tersendiri. ”Saya merasa nyaman beribadah, sembari menjalin silaturahmi dengan sesama jemaah,” kata Fuad, yang dalam lima tahun terakhir sudah rutin beribadah di masjid itu.
Selain suasananya yang nyaman, masjid ini juga seakan membawa kembali ke masa lalu. ”Beberapa ornamen yang ada di masjid ini merupakan bangunan asli sejak pertama kali dibangun oleh Sultan,” tuturnya.
Memasuki masjid yang dibangun Sultan Mahmud Badaruddin I tahun 1738 ini, terlihat akulturasi budaya Melayu, Eropa, dan China. Nuansa budaya China tampak pada bagian atap yang mengerucut layaknya sebuah kelenteng.
Adapun bagian pintu dan jendela yang melengkung terlihat khas bangunan-bangunan Eropa. Ruang utama yang dipakai untuk shalat menyerupai arsitektur Jawa.
Pilar-pilar kayu berwarna hijau kukuh menyangga atap masjid. Sementara mimbarnya terbuat dari kayu dengan corak melayu yang kental. Sentuhan Palembang terasa di tangga yang berhias ukiran emas khas Palembang.
Sekretaris Panitia Ramadhan Masjid Sultan Mahmud Badaruddin I Palembang, Syukri Mascik Azhari, mengatakan, perpaduan budaya memang sangat kental terasa di salah satu masjid tertua di Palembang ini. Atap masjid berundak dengan limas di puncaknya yang disebut dengan istilah mustaka.
Cerminan masa
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumsel Farida Wargadalem mengatakan, bangunan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Palembang menggambarkan situasi sosial Palembang dari masa ke masa.
Sejak lama, masyarakat China, Arab, dan Kesultanan Palembang berpadu. Keberadaan masyarakat China di Palembang sudah terjadi sejak masa Kerajaan Sriwijaya dan berlanjut hingga masa kesultanan.
Bahkan, saat Kerajaan Sriwijaya runtuh, Laksamana Cheng Ho berlayar ke Palembang. Dari tujuh kali pelayarannya, dua kali ia mampir ke Palembang. Keberadaan Palembang rupanya cukup penting bagi masyarakat China kala itu.
Farida mengatakan, bangunan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Palembang tergolong monumental karena dibangun Sultan Mahmud Badaruddin I saat Kesultanan Palembang sedang dalam masa kejayaan.
Perpaduan yang terlihat sekarang terbentuk secara bertahap. Setiap renovasi menorehkan gaya dari masanya masing-masing. Syukri menuturkan, menara masjid dibangun saat pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1774).
Selanjutnya, pada 1819 dan 1821 dilakukan pemugaran oleh Pemerintah Hindia-Belanda setelah masjid itu rusak akibat peperangan lima hari berturut-turut. Setelah serangkaian renovasi lain, renovasi terakhir dilakukan pada 10 September 1999 dan diresmikan pada 16 Juni 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Renovasi yang menelan biaya Rp 32 miliar itu menambah kapasitasnya dari 8.500 orang menjadi 15.000 orang. Melewati berbagai gejolak masa, Masjid Agung Palembang terus kokoh berdiri sebagai simbol harmoni keberagaman sebuah kota. (Zulkarnaini Masry/ Rhama Purna Jati)