Koalisi Masyarakat Sipil Temukan Indikasi Pelanggaran HAM
Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law seharusnya polisi memberi surat penangkapan kepada keluarga dari massa yang ditangkap ini
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Korban pelanggaran HAM tersebut berasal dari berbagai kalangan, seperti tim medis, jurnalis, penduduk setempat, dan para peserta aksi.
Indikasi pelanggaran HAM tersebut dikemukakan oleh koalisi masyarakat sipil di Jakarta, Minggu (26/5/2019). Mereka berasal dari, antara lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, LBH Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lokataru Foundation, dan Amnesty International.
Ketua Divisi Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan, tim pemantau LBH Jakarta menemukan sejumlah perlakuan keji seperti dipukul dan ditendang dari aparat kepolisian terhadap massa kerusuhan yang telah ditangkap. Padahal, massa yang sudah tertangkap dan menyerah tidak seharusnya mendapatkan perlakuan kekerasan.
Selain itu, mereka juga menemukan ada kekerasan terhadap tim medis, penghalang-halangan meliput, serta persekusi terhadap jurnalis dan perampasan alat kerja, hingga pembatasan akses media sosial.
Nelson juga menyatakan, pihaknya mendapatkan informasi terkait tidak ada pemberitahuan kepada keluarga dari massa kerusuhan yang telah ditangkap. Hal ini bertujuan agar keluarga korban dan massa kerusuhan mengetahui pihak yang bertanggung jawab terhadap keselamatan atau hak hukum massa tersebut.
”Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law seharusnya polisi memberi surat penangkapan kepada keluarga dari massa yang ditangkap ini,” ujarnya.
Kekerasan terhadap jurnalis
Kekerasan, persekusi, dan perampasan alat kerja jurnalis juga ditemukan oleh koalisi masyarakat sipil. AJI Indonesia mencatat, sebanyak 20 jurnalis mengalami tindakan kekerasan, baik oleh aparat kepolisian maupun massa kerusuhan.
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan, kekerasan terhadap sejumlah jurnalis yang dilakukan aparat kepolisian terjadi karena mereka tidak ingin tindakan kerasnya saat menangani kerusuhan diketahui publik. Padahal, tugas jurnalis yakni memberitakan semua fakta yang terjadi di lapangan.
Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil berharap lembaga pemantau, seperti Komnas HAM, Ombudsman, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komisi III DPR dapat segera mengevaluasi kinerja petugas Polri dalam aksi kerusuhan tersebut.
Selain itu, Polri juga diharapkan dapat mengumumkan kepada publik terkait laporan penggunaan kekuatan sesuai prosedur dengan memublikasi formulir penggunaan kekuatan. Formulir ini merupakan lampiran yang tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.
Formulir ini perlu dipublikasikan karena Polri selalu mengklaim telah menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal tanpa disertai akuntabilitas yang jelas.
Bentuk tim internal
Sementara itu, dalam menyikapi hal ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menyatakan, kepolisian telah membentuk tim internal yang dipimpin Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto. Rapat pertama membahas tidak lanjut dan investigasi secara komprehensif atas aksi unjuk rasa diselenggarakan pada Senin (27/5/2019).