Lingkungan Buruk Picu Demam Tifoid dan Leptospirosis
Kementerian Kesehatan mengungkap penyakit ‘misterius’ yang diderita warga Dusun Garonggong, Jeneponto, Sulawesi Selatan sejak Maret hingga awal Mei 2019 lalu adalah demam tifoid dan leptospirosis. Meski tak berhubungan, kedua penyakit itu sama-sama disebabkan bakteri dan buruknya sanitasi lingkungan.
Sebelumnya, pengecekan sejumlah kemungkinan virus dan bakteri untuk memastikan penyakit yang meresahkan masyarakat itu, termasuk tifoid dan leptospirosis, menunjukkan hasil negatif.
Namun, setelah pemerintah memeriksa ulang dengan titer antibodi yang lebih sensitif, demam yang banyak diderita warga hingga kasusnya ditetapkan sebagai kejadian luar biasa itu dipastikan sebagai demam tifoid. Pada dua penderita lain, juga ditemukan positif leptospirosis.
Kasus penyakit yang semula dianggap misterius itu bermula dari pesta pernikahan di Garonggong yang dihadiri banyak warga. Setelah pesta, sejumlah warga mengeluh sakit hingga sempat diduga keracunan.
Data Puskesmas Buludoang di Garonggong mencatat ada 96 warga dirawat dengan gejala demam, mual, muntah dan nyeri kepala sejak akhir Maret hingga awal Mei 2019 dan empat penderita di antaranya meninggal dunia.
Bakteri dan epidemiologi
Tifoid dan leptospirosis sama-sama dipicu bakteri. Tifoid disebabkan basil atau bakteri berbentuk batang atau silinder Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Sedangkan leptospirosis dipicu bakteri Leptospira spp.
Sanitasi yang buruk diduga jadi penyebab kedua penyakit itu menjangkiti dan menulari banyak warga. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, di depan rumah warga penyelenggara pesta pernikahan terdapat kandang ternak.
Sanitasi yang buruk diduga jadi penyebab kedua penyakit itu menjangkiti dan menulari banyak warga.
Penempatan kandang ternak di tengah permukiman jadi hal jamak di Garonggong. Akibatnya, kotoran hewan mudah ditemukan di sekitar permukiman warga. Sumber air minum warga pun berasal dari sumur di dekat dengan kandang ternak. Terlebih, sebagian warga mengonsumsi air tanpa direbus dulu.
Demam tifoid atau lebih dikenal masyarakat sebagai tipes ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-negara tropis dan negara berkembang. Penyakit ini masih jadi persoalan kesehatan serius di Afrika, Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menyebut, tiap tahun, 11 juta-20 juta orang terkena tipes di seluruh dunia dengan 128.00-161.000 penderita berakhir dengan kematian.
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebut prevalensi tifoid sebesar 1,6 persen. Studi lain menyebut kasus tifoid di Indonesia per tahun antara 350-810 orang per 100.000 penduduk.
Sedangkan data di rumah sakit besar Indonesia seperti dikutip dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid menyebut angka kesakitan tifoid cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500 orang per 100.000 penduduk. Sedangkan tingkat kematian mencapai 0,6-5 persen akibat keterlambatan pengobatan dan biaya.
Tipes sudah terdeteksi sejak beberapa abad lalu. Di Jamestown, Virginia, Amerika Serikat pernah mencatat kematian lebih dari 6.000 orang akibat wabah tifoid antara tahun 1607-1624. Sementara dalam peperangan di Afrika Selatan pada akhir abad ke-19, Inggris harus kehilangan 13.000 serdadunya akibat tifoid.
Hingga kini, tipes masih ditemukan di negara-negara maju meski bersifat sporadis. Mereka tertular tifoid umumnya setelah melakukan perjalanan ke negara-negara berkembang.
Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan serta tanpa pandang usia. Mereka yang menderita tifoid umumnya berumur kurang dari 30 tahun dan paling banyak pada anak-anak berumur antara 5-14 tahun.
Sementara leptospirosis atau lebih dikenal sebagai penyakit kencing tikus biasanya jadi perhatian setelah banjir. Bukan air banjir yang jadi kekhawatiran, tapi tercampurnya air banjir itu dengan kencing tikus yang jadi tempat hidup bakteri Leptospira interrogans.
Meski Garonggong tidak masuk daerah terdampak banjir bandang yang melanda Jeneponto, Januari 2019, potensi leptospirosis tetap ada. Terlebih, Leptospira tidak hanya ada di kencing tikus, tapi juga di anjing, bajing, landak, dan aneka binatang ternak seperti sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, dan babi serta sejumlah binatang liar.
Leptospira tidak hanya ada di kencing tikus, tapi juga di anjing, bajing, landak, dan aneka binatang ternak seperti sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, dan babi serta sejumlah binatang liar.
Novie H Rampengan dalam Leptospirosis di Jurnal Biomedik, November 2016 menulis Leptospira ditransmisikan ke manusia melalui kontak dengan urin, darah, atau organ binatang terinfeksi secara langsung atau kontak dengan tanah atau air yang terkontaminasi bakteri.
Leptospira dapat hidup di tanah hingga 43 hari. Sedangkan di air, dia mampu bertahan hingga berminggu-minggu lamanya. Suhu yang hangat antara 28-30 derajat celsius, tanah basah atau lembab, dan tingkat keasaman antara 6,2-8 menjadi lingkungan yang nyaman bagi bakteri untuk hidup dan berkembang biak.
Bakteri itu, dikutip dari Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, masuk tubuh manusia lewat selaput lendir, konjungtiva atau lapisan tipis mata yang melindungi sklera (bagian putih mata), dan kulit yang terluka atau lecet.
Penularan lewat gigitan binatang atau dari manusia ke manusia jarang terjadi. Transmisi bakteri Leptospira antarmanusia yang tercatat adalah melalui hubungan seksual dan pemberian air susu ibu.
Model penularan itu membuat masyarakat yang banyak beraktivitas di air, baik air banjir atau sungai yang terkontaminasi, dan tanah basah yang terkontaminasi Leptospira menjadi berisiko tinggi terinfeksi. Aktivitas di tanah tanpa alas kaki juga bisa mempermudah penularan leptospirosis.
Karakter tempat perkembangan bakteri itu membuat leptospirosis lebih banyak diderita laki-laki dibanding perempuan. Lebih khusus lagi, laki-laki remaja dan setengah baya memiliki prevalensi menderita leptospirosis lebih tinggi dibanding anak-anak dan lansia.
Karakter tempat perkembangan bakteri itu membuat leptospirosis lebih banyak diderita laki-laki dibanding perempuan.
Leptospirosis juga lebih banyak ditemukan dan masih jadi persoalan besar di negara-negara tropis dan subtropis, khususnya negara miskin dan berkembang. Rampengan menulis, kejadian leptospirosis di wilayah tropis 1.000 kali lebih banyak dibanding wilayah subtropis karena kejadian leptospirosis bisa berlangsung sepanjang tahun. Sedangkan saat musim hujan, kejadian leptospirosis di negara tropis berkisar antara 5-20 kasus per 100.000 penduduk.
CDC memperkirakan ada lebih dari 1 juta kasus leptospirosis terjadi setiap tahunnya, termasuk 60.000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Sementara di Indonesia, kematian akibat leptospirosis relatif tinggi, mencapai 2,5-16,4 persen. Sementara kematian pada orang berusia lebih dari 50 tahun mencapai 56 persen.
Gejala klinis
Sebagai penyakit infeksi, baik tipes maupun leptospirosis memiliki banyak gejala yang mirip, seperti demam, mual, muntah, dan sakit kepala. Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan riwayat paparan dengan lingkungan serta pemeriksaan penunjang laboratorium yang baik jadi penting.
Sebagai penyakit infeksi, baik tipes maupun leptospirosis memiliki banyak gejala yang mirip, seperti demam, mual, muntah, dan sakit kepala.
Gejala yang paling umum dari tifoid adalah demam atau panas tubuh. Pada awal sakit, demam yang timbul umumnya samar-samar. Setelah itu akan turun naik dengan suhu tertinggi biasanya pada sore dan malam hari. Gejala lain umumnya menyertai, seperti sakit kepala, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, serta mual dan muntah.
Pada minggu kedua, intensitas demam akan meninggi dan kadang akan terus menerus. Selanjutnya, bila pasien membaik, demamnya akan turun pada minggu ketiga. Namun, pola demam itu tidak selalu sama, bergantung pengobatan dan komplikasi yang terjadi lebih awal.
Demam yang lama itu seringkali memicu bau tidak sedap dari mulut dan bibir pecah-pecah. Lidah juga terlihat kotor yang ditutupi selaput putih serta tampak kemerahan pada ujung dan tepinya. Nyeri perut, khususnya ulu hati, juga sering terjadi. Di awal sakit, penderita umumnya mengalami konstipasi atau sulit buang air besar dan pada minggu berikutnya kadang-kadang berubah jadi diare.
Penderita tipes juga sering mengalami penurunan kesadaran ringan. Apabila gejala klinis sudah berat, tak jarang penderita mengalami somnolen atau melambatnya respon psikomotorik tubuh dan mudah tertidur hingga mengalami koma.
Meski demikian, gambaran klinis tifoid itu sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan yang tidak terdiagnosis, gejala yang khas berupa sindrom demam tifoid, hingga gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis itu juga bisa berbeda antardaerah atau negara, antarkelompok umur, juga bisa berbeda antarperiode waktu berbeda meski terjadi di daerah yang sama.
Beberapa dekade terakhir, tipes jadi perhatian serius karena permasalahannya makin komplek hingga menyulitkan pengobatan dan pencegahan. Selain variasi gejala dan komplikasi dengan penyakit lain, kerumitan itu juga dipicu resistensi obat-obatan yang selama ini dipakai, serta meningkatnya kasus relaps atau kambuh kembali yang menunjukkan pengobatan yang belum efektif.
Untuk perawatan, penderita tifoid disarankan untuk dirawat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang memiliki fasilitas rawat inap untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan. Apabila pasien mengalami penurunan kesadaran, posisi tidur pasien harus diubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus (cedera jaringan kulit). Sementara bila gejala klinis pasien berat, maka penderita harus istirahat total.
Penderita tifoid disarankan untuk dirawat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang memiliki fasilitas rawat inap untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan.
Penderita juga harus mendapat banyak asupan cairan dan makan dengan kalori dan protein yang memadai. Makanan yang dikonsumsi pun sebaiknya rendah serat untuk mencegah pendarahan. Makanan yang diberikan umumnya berupa diet cair, bubur lunak, tim hingga nasi yang diberikan sesuai tingkat kesembuhan pasien.
Saat pasien sudah membaik, mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap sesuai kekuatan penderita.
Sementara gejala leptospirosis, sebagian besar tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Mereka yang terinfeksi umumnya merasakan demam akut yang mirip dengan gejala demam sejumlah penyakit lain. Gejala lain yang muncul antara lain sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit perut, nyeri otot pada betis atau punggung bawah, hingga munculnya ruam pada kulit.
Masa inkubasi Leptospira berkisar antara 2-30 hari, namun gejala penyakit itu umumnya muncul 5-14 hari setelah paparan dengan bakteri.
Gejala yang tidak spesifik membuat pemeriksaan riwayat paparan pasien dengan lingkungan yang berpeluang terkontaminasi bakteri Leptospira penting untuk ditegakkan.
Penderita demam akut dengan atau tanpa nyeri kepala, nyeri otot, lemah dan memiliki riwayat paparan dengan lingkungan yang terkontaminasi bakteri Leptospira bisa dimasukkan dalam kasus suspek atau terduga leptospirosis. Sementara itu, suspek leptospirosis bisa dimasukkan kelompok kasus probable (kemungkinan) leptospirosis jika ada pemeriksaan jumlah trombosit, leukosit, bilirubin, peningkatan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase) hingga penggunaan uji diagnosis cepat (RDT).
Penderita kasus leptospirosis probable akan dimasukkan dalam kelompok kasus konfirmasi leptospirosis jika didukung bukti lain, seperti isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik, pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) yang positif, atau serokenversi macroscopic agglutination test (MAT) dari negatif menjadi positif.
Untuk pengobatan antibiotik harus mulai diberikan setelah pasien terdiagnosis dugaan leptospirosis. Sementara untuk kasus berat, perawatan di rumah sakit atau perawatan suportif agresif dengan pengawasan ketat pada keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan. Perawatan yang baik akan mengurangi tingkat kematian penyakit ini.
Kesehatan lingkungan
Meski demikian, kemunculan tipes dan leptospirosis jadi alarm buruknya kualitas kesehatan atau higiene pribadi dan sanitasi lingkungan.
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi menular ke manusia lewat makanan dan minuman yang tercemar tinja manusia yang mengidap tifoid. Bakteri itu masuk lewat banyak cara, seperti tangan pengolah makanan yang tidak dicuci dengan sabun setelah buang air besar, mencuci sayur dan buah dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk tinja manusia, makanan yang terpapar debu atau dihinggapi lalat atau minum air yang tidak dimasak.
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi menular ke manusia lewat makanan dan minuman yang tercemar tinja manusia yang mengidap tifoid.
Karena itu, perilaku menjamah makanan, lingkungan kumuh, pengelolaan limbah, hingga kebersihan tempat umum menjadi penting. Persoalan ekonomi, kemiskinan dan krisis ekonomi juga memengaruhi meningkatnya kasus tipes.
Perilaku menjamah makanan penting jadi perhatian para penyaji makanan, baik orangtua, ibu yang sedang menyusui, pengasuh anak, asisten rumah tangga, hingga petugas di warung, rumah makan atau kantin sekolah. Penyediaan sumber air bersih yang terlindung serta memasak air minum hingga mendidih harus dilakukan. Selain itu, penyediaan jamban keluarga yang memenuhi syarat juga penting untuk mencegah menjangkitnya tipes.
Untuk leptospirosis, Kemkes mengingatkan pentingnya pola penyimpanan makanan dan minuman agar terhindar dari tikus. Cuci tangan sebelum makan atau setelah bekerja di sawah, kebun, selokan atau memegang sampah, juga harus dilakukan.
Kebersihan lingkungan bisa ditegakkan dengan menutup tempat sampah, menghindari tikus dalam rumah, menutup luka dan lecet pada kulit dengan pembalut kedap air penting dilakukan. Pemakaian alas kaki saat beraktivitas di tempat berair atau lembab juga bisa disarankan. Pemberantasan tikus di tempat umum, seperti pasar, terminal atau tempat rekreasi juga perlu digalakkan.
Besarnya pengaruh sanitasi lingkungan dan higiene pribadi membuat kampanye untuk meningkatkan kesadaran kesehatan pribadi perlu terus dilakukan. Kondisi itu juga harus dilakukan berbarengan dengan pembangunan infrastruktur penyehatan lingkungan, mulai dari penataan kampung kumuh, penyediaan sumber air terlindung dan pembangunan jamban sehat.
(DEONISIA ARLINTA/RENY SRI AYU)