Kiat Korps Marinir Merebut Hati Pengunjuk Rasa
Dalam rangkaian gelombang unjuk rasa yang berakhir rusuh tanggal 21 – 22 Mei 2019 di beberapa lokasi di Jakarta, Korps Marinir TNI AL berhasil meredam dan membubarkan massa di bilangan Slipi, perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, tanpa kekerasan. Apa kuncinya?
Bermula memanasnya situasi hari Rabu petang (22/5) di Jalan Slipi I, tepatnya di seberang Mall Slipi Jaya yang juga tercatat pernah menjadi lokasi tragedi Mei 1998. Massa mulai mengamuk sekitar pukul 20.00.
“Kami para Marinir yang bertugas di DPR/ MPR diberangkatkan untuk membantu pengamanan Polisi ke Slipi dan tiba pukul 20.30,” kata Letnan Kolonel Marinir Kanang Budi, Komandan Batalyon Marinir 7 dari Brigade Infantri Marinir 4 Berdiri Sendiri, Lampung.
Ketika itu di lapangan, di sisi Hotel Menara Peninsula dan Wisma 77 ke arah jurusan tikungan Jalan Jatibaru melintasi kantor pusat PT Djarum, ribuan massa sudah berkerumun di jalan pada dua sisi ujung fly over. Salah satu sisi tersebut berada di sebelah gedung BCA, di seberang Mall Slipi Jaya, dengan konsentrasi massa pengendara ratusan sepeda motor.
Terjadi aksi lempar batu ke arah barisan polisi. Tembakan gas air mata dilepaskan. Massa malah makin beringas. Demikian pula, jika setiap salah satu pengunjuk rasa diamankan, massa semakin keras melawan.
Letkol Kanang mendapat sektor di sebelah Hotel Menara Peninsula dan Menara 77. Sedangkan Mayor Marinir Nico, rekannya, memperoleh sektor di sebelah Gedung BCA.
Para Marinir melaporkan kedatangan mereka kepada Kapolda, Kapolres Jakarta Barat, dan Dandim Jakarta Barat. Letnan Kolonel Marinir Kanang dan rekan-rekan segera menganalisa situasi di lapangan. Mereka segera membuka komunikasi dengan warga.
“Saya dikenalkan oleh warga dengan tokoh agama setempat. Setelah mendengar keluhan tokoh agama tersebut, disepakati beliau akan meminta warga yang bercampur dengan massa unjuk rasa diminta untuk membubarkan diri, kembali ke rumah. Proses kurang lebih 30 menit sampai 60 menit,” kata Kanang yang asli Tuban, Jawa Timur.
Jumlah massa berkurang karena warga setempat kembali ke rumah masing-masing di perkampungan yang mengapit dua sisi Jalan Slipi tersebut. Selanjutnya, Letkol Kanang Budi, Mayor Nico, dan kawan-kawan mencermati, massa yang tersisa dan masih terlibat dalam pelemparan batu ke arah aparat berasal dari luar kawasan dan bahkan ada yang dari luar Pulau Jawa.
“Saya dan anggota mendatangi kelompok-kelompok massa yang sekampung halaman dengan kami, berbagi rokok dan makanan kecil. Akhirnya terjadi komunikasi dan negosiasi. Bahkan para pengunjuk rasa yang masih muda-muda menangis saat kami peluk. Mereka minta dipulangkan karena hanya ikut-ikutan,” kata Kanang.
Meski demikian, di lapangan, para prajurit Marinir mencermati ada beberapa kordinator lapangan yang bukan berasal dari Jakarta dan Pulau Jawa. Mereka mengatur aksi dan pelemparan dengan ritme waktu dan manuver yang terkomando rapi.
Setelah tercapai kata sepakat dengan massa yang berasal dari luar Slipi, mereka pun meninggalkan lokasi menuju arah belokan Jalan Jatibaru. Wilayah tersebut merupakan sektor pengamanan satuan lain TNI.
Masih ada konsentrasi massa yang tersisa, yakni di sisi Gedung BCA. Para pemuda tersebut ingin membubarkan diri namun kehilangan orientasi. Ternyata sebagian besar mengaku berasal dari Bogor, Jawa Barat. Mereka naik sepeda motor. Para penumpangnya adalah anak-anak muda yang mengaku datang dari Sumatera.
Massa pengendara motor ini berdatangan dari arah Kemanggisan, Rawa Belong, Jakarta Barat di dekat Kampus Bina Nusantara. Seorang rekan fotografer liputan TNI yang bermukim di Rawa Belong mengatakan, malam sebelumnya salah seorang keluarganya ditawari bayaran Rp 250.000 untuk ikut unjuk rasa. Selanjutnya, ada konvoi pengunjuk rasa bermotor yang bergerak dari arah Batusari, Rawa Belong, menuju Slipi ke arah Tanah Abang.
Setelah massa berkurang drastis di Jalan Slipi I, Letkol Kanang Budi dan rekan-rekan melihat sekitar 10 orang kordinator lapangan yang kebingungan lalu meninggalkan lokasi menuju arah Tanah Abang.
“Kuncinya salam, senyum, sapa. Kami tidak membawa senjata, hanya baret Marinir dan seragam loreng. Sangkur pun kami lepas ketika menghadapi pengunjuk rasa,” kata Kanang.
Kemampuan menganalisa lapangan, pendekatan hati ke hati, dan negosiasi damai menjadi kunci dalam merebut hati rakyat termasuk para pengunjuk rasa. Terlebih sebagian besar pengunjuk rasa terindikasi dimobilisasi oleh pihak lain atau ikut-ikutan belaka.