Jokha Alharthi, Cerita tentang Cinta dan Perbudakan dari Teluk
Jokha Alharthi menjadi perempuan pertama dari kawasan Arab yang merebut penghargaan bergengsi Man Booker International Prize. Lewat novelnya, Celestial Bodies, ia membawa pembaca menyelami persoalan perbudakan serta dilema cinta dan kebebasan pada masyarakat Oman yang mulai berubah pasca-era kolonial.
Oleh
Budi Suwarna
·5 menit baca
Jokha Alharthi menjadi perempuan pertama dari kawasan Arab yang merebut penghargaan bergengsi Man Booker International Prize. Lewat novelnya, Celestial Bodies, ia membawa pembaca menyelami persoalan perbudakan serta dilema cinta dan kebebasan pada masyarakat Oman yang mulai berubah pasca-era kolonial.
”Saya senang jendela telah terbuka untuk (melihat) kekayaan budaya Arab,” ujar Alharthi (40) kepada wartawan setelah menerima penghargaan tersebut di Roundhouse, London, Selasa (21/5/2019). Ia mengalahkan lima pesaingnya, yakni Annie Ernaux (Perancis), Marion Poschmann (Jerman), Olga Tokarczuk (Polandia), Juan Gabriel Vasque (Kolombia), dan Alia Trabucco Zeran (Chile).
Kemenangan Alharthi disambut gembira oleh pencinta sastra di Oman dan Arab. ”Ini pencapaian besar dan bersejarah bagi penulis, bagi Oman, dan bagi budaya Arab secara umum. Karya Alharthi menunjukkan bahwa sastra Oman sedang berkembang,” ujar Saif al-Rahbi, sastrawan Oman kepada AFP.
Dirjen Kementerian Kebudayaan Oman Said bin Sultan al-Bussaidi memuji kematangan karya Alharthi dan pencapaiannya yang luar biasa di kancah internasional. ”Ini sebuah kehormatan bagi semua laki-laki dan perempuan Oman. (Hadiah) Ini akan membantu menyebarkan sastra Oman ke seluruh dunia,” ucapnya.
Tidak hanya sastra Oman, kemenangan Alharthi lewat novel Celestial Bodies memberi berkah pada dunia sastra di kawasan Arab. Kemenangan itu Celestial Bodies diprediksi akan mengangkat kembali popularitas sastra Arab.
Man Booker International Prize memang bukan penghargaan sembarangan. Selain Nobel Sastra, Man Booker International Prize kini menjadi salah satu tolok ukur pencapaian kualitas karya sastra di dunia.
Penghargaan yang berpusat di London ini diberikan sejak 2005. Hingga 2015, penghargaan diberikan dua tahun sekali pada karya sastra dari sejumlah negara yang ditulis atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejak 2016, penghargaan diberikan setahun sekali. Pemenang menerima hadiah sebesar 50.000 poundsterling atau sekitar Rp 900 juta.
Novel karya sastrawan Indonesia, Eka Kurniawan, yakni Manusia Harimau (Man Tiger), pernah masuk dalam daftar panjang 13 novel calon penerima Man Booker International Prize pada 2016. Namun, novel tersebut gagal masuk dalam daftar pendek enam novel yang jadi kandidat. Meski demikian, Eka menjadi sastrawan pertama Indonesia yang karyanya masuk dalam daftar panjang.
Perbudakan
Novel Celestial Bodies karya Alharthi terbit pada 2010 dengan judul asli Sayyidat al-Qamar (Ladies of the Moon). Novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Celestial Bodies oleh Marilyn Booth, dosen Sastra Arab di Oxford University.
Lewat novel ini, Alharthi mengajak pembaca mengikuti kisah sebuah keluarga Oman dalam tiga generasi dari 1880 hingga sekarang. Di antara kisah itu ada tiga karakter perempuan bersaudara, yakni Mayya, Asma, dan Khawla, yang menjalani kehidupan berbeda di Desa Al-Awafi, Oman.
Mayya menikah dengan Abdallah, anak saudagar kaya yang dibesarkan oleh seorang budak merdeka yang memilih tetap tinggal di rumah mantan tuannya. Asma menikah sekadar memenuhi kewajiban. Sementara itu, Khwala terus menunggu kekasihnya yang pergi ke Kanada.
Meski hidup yang dijalani berbeda, mereka bertiga sama-sama menjadi saksi bagaimana Oman berevolusi dari negara yang pada suatu masa menjadi pusat perdagangan budak menjadi negara produsen minyak. Setiap karakter, baik laki-laki maupun perempuan, yang berstatus budak ataupun merdeka, menemukan diri mereka terjebak oleh sejarah.
Novel ini memang menyentuh soal perbudakan. Saya pikir sastra adalah platform terbaik untuk membicarakan masalah ini.
”Novel ini memang menyentuh soal perbudakan. Saya pikir sastra adalah platform terbaik untuk membicarakan masalah ini,” ujar Alharthi.
Di Oman, lanjutnya, sebagian pembaca tidak keberatan persoalan tabu seperti perbudakan dieksplorasi dalam novel. ”Tetapi, pembaca lain lebih senang jika saya tidak menulis tentang itu karena dengan menulis hal itu, persoalan tabu tersebut berarti diakui dan orang harus berhadapan dengan sejarah.”
Meski begitu, Alharthi tidak ambil pusing dengan pro-kontra apakan isu perbudakan tabu atau tidak jika diangkat dalam novel. Yang penting buat Alharthi, ia bisa menyuarakan sebanyak mungkin pengalaman masyarakat dalam tulisan. Itulah mengapa fiksi bisa sangat penting karena memungkinkan pembaca mengalami sejarah melalui sebuah kisah.
Celestian Bodies dipilih juri sebagai pemenang karena kaya dengan imajinasi dan puitik dalam melihat sebuah masyarakat yang sedang berubah. Novel ini juga ditulis dengan struktur yang elegan dan rapi. ”Novel ini memperlihatkan seni yang halus yang menolak hal-hal klise tentang ras, perbudakan, dan gender,” ujar juri Bettany Hughes, seperti dikutip The Guardian.
”Lewat kisah-kisah tentang kehidupan, kehilangan, dan cinta orang-orang yang berbeda, kita bisa belajar banyak tentang masyarakat dari berbagai tingkatan, dari keluarga budak yang paling miskin hingga mereka yang banyak uang dan menikmati kemakmuran baru di Oman dan Muscat. Kisah bermula di sebuah kamar dan berakhir di dunia,” kata Hughes.
Novel itu, menurut para pakar sastra Arab dan Timur Tengah, berpotensi memengaruhi novel-novel yang muncul dari kawasan itu. Penerbit juga kemungkinan akan menoleh ke novel-novel Arab.
Jejak Alharthi
Alharthi bukanlah orang asing di jagat sastra Oman. Ia telah menulis 11 buku sejak 2001, baik kumpulan puisi, cerita anak, cerita pendek, maupun novel. Ia menulis Celestial Bodies ketika menempuh pendidikan doktor bidang puisi Arab klasik di Edinburgh University, Skotlandia-Inggris, sekitar 10 tahun yang lalu.
Sebagaimana dialami sebagian perantau lain, Alharthi menjalani masa-masa sulit di tahun pertama. Ia kangen berat pada kampungnya di Oman, ia merasa kedinginan dan kesepian. ”Jadi, saya berpikir saya mesti kembali mendapatkan kehangatan dan mengobati kangen pada kampung halaman.... Saya mencoba memanjakan diri dengan menulis tentang orang-orang di Oman,” katanya mengenang.
Ia menyatakan sejak lama ingin menulis sebuah novel yang mengangkat kehidupan di Oman yang sedang berubah. Namun, niat itu tidak pernah terlaksana selama ia tinggal di negeri itu. Justru ketika tinggal di Edinburgh, niat itu kesampaian. Plot dan karakter-karakter yang ingin dikisahkan sebagian sudah ada di kepalanya. Namun, rasa kangen pada Oman selama di perantauan yang membuat plot dan karakter itu berubah wujud menjadi kisah.
Oman menginspirasi saya dan saya pikir pembaca bisa terkoneksi dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam buku ini, yakni kemerdekaan dan cinta.
”Oman menginspirasi saya dan saya pikir pembaca bisa terkoneksi dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam buku ini, yakni kemerdekaan dan cinta,” ujarnya.
Alharthi tidak menyangka novelnya yang berangkat dari rasa kangen itu pada akhirnya memenangi penghargaan bergengsi, apalagi para pesaingnya adalah sastrawan-sastrawan hebat. Karena itu, ia amat senang. Bukan sekadar senang karena dapat penghargaan dan hadiah uang, tetapi senang karena orang dari negeri-negeri yang jauh kini membaca novelnya.
”Saya juga berharap pembaca mau membaca sastra Arab lainnya. Ini kesempatan bagi sastra Oman untuk dibaca dan diapresiasi oleh kalangan lebih luas,” katanya.
Ya, jendela sudah terbuka lebar. (AFP/AP/BBC/THE GUARDIAN)
Jokha Alharthi
Pendidikan
- Doktor Sastra Klasik Arab University of Edinburgh, Skotlandia-Inggris, 2010
Pekerjaan:
Penulis
Asisten profesor di Sekolah Ilmu Sosial dan Seni Sultan Qaboos University
Penghargaan:
Man Booker International Prize lewat novel Celential Bodies (Sayyidat al-Qamar), 2019
Sultan Qaboos Award for Culture, Arts and Literature untuk novel Narinjah, 2016
Novel Terbaik Oman, Sayyidat al-Qamar, 2010
Buku Anak Terbaik Oman, Ush al-Asafir, 2010
Pemenang kedua Al-Shariqa Award untuk koleksi cerita pendek, 2001