Untuk menghindari jebakan kelas menengah dan mengurangi dampak tekanan global, pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya 5 persen. Motor penggerak perekonomian yang bersumber dari investasi dan ekspor tetap harus ditingkatkan.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menghindari jebakan kelas menengah dan mengurangi dampak tekanan global, pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya 5 persen. Motor penggerak perekonomian yang bersumber dari investasi dan ekspor tetap harus ditingkatkan.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, Jumat (24/5/2019), di Jakarta, mengatakan, pertumbuhan ekonomi sulit tumbuh tinggi jika masih bertumpu pada laju konsumsi. Hal itu karena momentum mendorong konsumsi semakin menipis seiring pertumbuhan ekonomi global yang melambat akibat perang dagang dan konflik geopolitik.
”Negara-negara dengan jumlah penduduk besar memang porsi konsumsinya juga akan besar. Itu tidak menjadi masalah jika laju komponen ekspor dan investasi lebih kencang dari konsumsi,” kata Eko dalam diskusi bertema ”Kebijakan Ekonomi Makro dan Fiskal Tahun 2020”.
Menurut Eko, salah satu negara yang memiliki komposisi produk domestik bruto (PDB) cukup ideal adalah China. Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi China jauh lebih tinggi dibandingkan konsumsi kendati jumlah penduduknya terbesar di dunia. Komposisi PDB China terdiri dari rata-rata 39 persen konsumsi rumah tangga dan 43 persen investasi.
Selain China, komposisi PDB Korea Selatan juga memiliki keseimbangan yang cukup baik antara konsumsi rumah tangga sekitar 49 persen, investasi 30 persen, belanja pemerintah 15 persen, ekspor 43 persen, dan impor 36 persen.
Eko mengatakan, pemerintah harus bergerak lebih cepat dan serius untuk mendorong reindustrialisasi, menata ulang kebijakan sektor pertanian, serta mengoptimalkan sektor jasa pariwisata dan ekonomi kreatif. Tanpa ada reformasi struktural dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, tumbuh 5 persen menjadi sesuatu yang normal bagi Indonesia.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan sejak 2015 tidak akan direvisi. Pemerintah kini mengupayakan agar implementasinya lebih efektif terutama terkait kemudahan perizinan dan pemberian insentif fiskal untuk investor.
”Kita akan mengambil kebijakan yang sifatnya lebih spesifik, mulai memperhatikan satu demi satu produk industri. Bukan reformasi keseluruhan lagi, malah cenderung mikro,” kata Darmin.
Kebijakan selanjutnya akan dibarengi pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi. Hal tersebut bertujuan agar investor yang datang tidak lagi kesulitan mencari tenaga kerja ahli di bidang tertentu. Pendidikan vokasi juga bekerja sama dengan sejumlah industri agar ada kesesuaian antara kurikulum dan kebutuhan dunia usaha.
Ekonomi global terkoreksi
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dari 3,3 persen menjadi 3,2 persen. Pemangkasan proyeksi akibat eskalasi perang dagang AS-China dan konflik geopolitik di sejumlah wilayah.
Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria mengingatkan, upaya memperkecil risiko tekanan global bisa ditempuh melalui kerja sama internasional dengan aturan dan sistem yang jelas. Di sisi lain, investasi di bidang infrastruktur, transformasi digital, dan peningkatan keahlian sumber daya manusia, penting dilakukan setiap negara.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah optimistis momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga kendati tekanan global cukup kuat. Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 diupayakan 5,3 persen. Pada tahun 2020, pertumbuhan diusahakan bisa mencapai 5,6 persen. Kebijakan kontra siklus APBN bisa menjadi stimulus.
”Ketika kinerja ekspor dan investasi melemah, instrumen APBN bisa mendorong sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi melalui belanja pemerintah,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, agregat pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan akan didorong konsumsi dan investasi. Sementara sisi penawaran dipacu kinerja sektor manufaktur, perdagangan, keuangan, dan transportasi. Selama sektor pertanian masih tumbuh di atas 3 persen, hal itu berarti cukup baik untuk mendorong penawaran ekonomi.