Pendidikan, Gerbang Kebangkitan Anak Muda
Batavia, 20 Mei 1908. Sembilan anak muda dari Stovia kala itu mungkin tak akan pernah menyangka bahwa organisasi yang mereka bentuk akan menjadi embrio lahirnya rasa persatuan sebagai sebuah bangsa. Semangat persatuan itu juga menjadi penanda berhasilnya ranah pendidikan melahirkan generasi pemikir.
Modal sejarah ini merupakan memori kolektif bangsa yang berguna sebagai cermin untuk pengembangan sektor pendidikan di era kemerdekaan saat ini. Soal persatuan, Indonesia memiliki modal sejarah yang amat panjang, bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka. Lahirnya benih semangat persatuan ini tidak terlepas dari perkembangan ranah pendidikan dan kontribusi anak muda sejak awal abad ke-20.
Benih persatuan ini salah satunya lahir dari anak-anak muda yang tengah menempuh jenjang pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia). Stovia merupakan sekolah kedokteran yang terletak di Hospitaalweg atau yang kini dikenal sebagai Jalan Abdul Rahman Saleh, di daerah Senen, Jakarta Pusat.
Pada satu sisi, Stovia merupakan lembaga pendidikan yang melahirkan semangat persatuan. Hal ini terlihat dari pelajar yang berasal dari kalangan multietnis, seperti Jawa, Sumatera, dan Ambon.
Pada sisi lain, lembaga pendidikan ini juga melahirkan anak-anak muda yang peduli terhadap lingkungan sosial. Anak muda itu adalah Soetomo, Soelaeman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, Soewarno, Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembreg. Sembilan pelajar dari sekolah inilah yang kemudian melahirkan sebuah organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo.
Munculnya organisasi ini merupakan buah diskusi tentang pengembangan dunia pendidikan antara anak-anak muda di Stovia yang saat itu diwakili oleh Soetomo dan Soeradji, dengan Wahidin Soedirohoesodo, seorang pensiunan dokter. Pada awalnya, organisasi ini bertujuan memajukan pendidikan di Pulau Jawa dan Madura. Pada perkembangannya, Boedi Oetomo kemudian berubah dari organisasi etnis Jawa menjadi organisasi skala nasional.
Soal persatuan, Indonesia memiliki modal sejarah yang amat panjang, bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka.
Terbentuknya Boedi Oetomo dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama, lahirnya kalangan intelektual di Indonesia. Kalangan terdidik ini tidak hanya memperhatikan pendidikan formal semata, tetapi juga tanggung jawab sosial untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat luas.
Kedua, terbentuknya Boedi Oetomo juga menjadi penanda mulai adanya rasa persatuan, baik persatuan antaretnis bangsa maupun persatuan gagasan. Persatuan ini salah satunya terlihat dari dinamika internal dalam organisasi Boedi Oetomo.
Saat kongres pertama yang dilakukan tanggal 3 hingga 5 Oktober 1908 di Yogyakarta, terjadi perdebatan sengit tentang arah organisasi yang akan dibawa. Perdebatan ini terjadi antara golongan tua seperti Wahidin Soedirohoesodo dan anak muda seperti Tjipto Mangoenkoesoemo.
Wahidin, penggagas terbentuknya Boedi Oetomo, menilai bahwa pendidikan bagi kalangan priayi di Pulau Jawa harus dimajukan dengan cara meningkatkan pendidikan Barat. Sementara Tjipto Mangoenkoesoemo, yang saat itu berusia 22 tahun menganggap bahwa pendidikan penting untuk semua kalangan masyarakat (Nagazumi, 1972).
Menariknya, perbedaan pandangan ini justru menghasilkan persatuan di antara keduanya. Kongres memutuskan Wahidin sebagai Wakil Ketua Boedi Oetomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai komisaris. Hal ini setidaknya menggambarkan kalangan terdidik saat itu mampu menempatkan persatuan di atas pandangan ideologis masing-masing.
Baca Juga: Pers dan Kebangkitan Nasional
Gerbang persatuan
Terbentuknya Boedi Oetomo menunjukkan bahwa pendidikan menjadi gerbang lahirnya semangat persatuan kala itu. Modal sejarah ini semestinya dapat dibawa sesuai dengan semangat zaman pada sektor pendidikan saat ini.
Semangat ini relevan untuk dibawa mengingat pendidikan belum sepenuhnya menjadi pintu gerbang yang membuka wawasan kesadaran persatuan bagi anak muda. Hal itu terlihat dari banyaknya kasus kekerasan yang mencederai semangat persatuan dari bangku pendidikan.
Salah satu contoh nyata adalah perkelahian antarpelajar. Dalam kurun waktu sewindu terakhir, dalam catatan Badan Pusat Statistik (Statistik Kriminal 2018), terdapat kenaikan jumlah perkelahian antarpelajar yang sangat signifikan. Pada 2011 terjadi 210 kasus perkelahian massal antarpelajar. Jumlah itu meningkat drastis hingga lebih dari dua kali lipat pada 2018 menjadi 548 kasus perkelahian.
Modal sejarah ini semestinya dapat dibawa sesuai dengan semangat zaman pada sektor pendidikan saat ini.
Persoalan lainnya adalah adanya kekerasan dalam ranah pendidikan, baik fisik maupun nonfisik. Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak Januari hingga April 2019 masih terdapat beberapa kasus seperti pengeroyokan dan kekerasan seksual pada anak dalam ranah pendidikan.
Selain itu, kasus perundungan juga masih banyak terjadi sepanjang awal tahun ini. KPAI mencatat terdapat 12 kasus kekerasan psikis yang diderita anak dalam ranah pendidikan hingga April lalu.
Kekerasan itu terjadi pada berbagai jenjang pendidikan. Menurut catatan KPAI, 67 persen kasus kekerasan di bidang pendidikan terjadi pada jenjang sekolah dasar. Hal ini mengindikasikan pendidikan dasar belum sepenuhnya mampu menghasilkan benih persatuan bagi kalangan peserta didik.
Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi pada ranah pendidikan tentu berbanding terbalik dengan semangat peserta didik pada era pra-kemerdekaan. Saat itu, pendidikan menjadi ranah yang mampu menghasilkan para pemikir besar bagi bangsa ini.
Pendidikan karakter
Gagasan persatuan yang dilahirkan dari ranah pendidikan dan kalangan terdidik pada era pra-kemerdekaan seharusnya mampu menjadi modal bagi bangsa ini untuk menemukan konsep pendidikan yang menghasilkan kesadaran akan persatuan.
Hal itu sebenarnya telah tertuang dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum harus disusun dengan memperhatikan sejumlah faktor, salah satunya persatuan nasional.
Namun, apa yang diamanatkan oleh UU ini ternyata belum terimplementasi dengan baik di ruang-ruang pendidikan. Hal itu terlihat dari masih banyaknya kasus kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apabila pada masa pra-kemerdekaan pertarungan muncul di ranah intelektual, saat ini pertarungan justru juga terjadi secara fisik.
Guna mengatasi hal itu, telah dibuat beberapa kebijakan untuk membentuk karakter peserta didik, salah satunya dengan gerakan penguatan pendidikan karakter. Pada program ini terdapat lima nilai karakter prioritas yang diinternalisasikan bagi para pelajar, yaitu religius, integritas, nasionalis, gotong royong, dan mandiri.
Semangat persatuan yang telah lahir sejak lebih dari satu abad silam harus dirawat sejalan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia.
Dua nilai penting yang dapat berguna untuk memupuk rasa persatuan dalam program ini adalah gotong royong dan nasionalis. Pada nilai gotong royong, salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah pelajar yang mampu bahu-membahu untuk menyelesaikan persoalan secara bersama. Sementara untuk nilai nasionalis, pelajar ditargetkan dapat menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.
Namun, program ini belum sepenuhnya terlaksana di Indonesia. Menurut peta jalan gerakan penguatan pendidikan karakter dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, program ini ditargetkan berjalan pada seluruh sekolah antara tahun 2019 dan 2020.
Tentu semangat persatuan yang telah lahir sejak lebih dari satu abad silam harus dirawat sejalan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia. Jika tidak, pendidikan tentu hanya akan menjadi sarana pembelajaran formal. Padahal, sebelumnya, ranah ini menjadi salah satu penghasil sumber daya yang peduli terhadap persatuan dan kondisi lingkungan sosial bangsa ini. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)