Investasi dan Pariwisata Tak Terpengaruh Pencabutan Bebas Cukai
Iklim investasi dan minat kedatangan wisatawan untuk datang ke Batam tidak terpengaruh pencabutan insentif bebas cukai minuman beralkohol dan rokok di zona perdagangan bebas atau FTZ. Kestabilan harga bahan konsumsi pokok dan pengelolaan tujuan wisata yang profesional dinilai lebih berpengaruh dalam mendorong kegiatan ekspor dan pariwisata.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS – Tingkat investasi dan minat kedatangan wisatawan ke Batam, Kepulauan Riau, tidak terimbas pencabutan insentif bebas cukai minuman beralkohol dan rokok di zona perdagangan bebas atau FTZ. Kestabilan harga bahan konsumsi pokok dan pengelolaan tujuan wisata yang profesional dinilai lebih berpengaruh dalam mendorong kegiatan ekspor dan pariwisata.
Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Edy Putra Irawady, Kamis (23/5/2019), mengatakan, pemberian insentif bebas cukai etil alkohol (MMEA) dan industri hasil tembakau (IHT) memang sudah lama dipertanyakan efektivitasnya. Pembebasan cukai itu dipandang lebih banyak mengundang masalah daripada mendatangkan manfaat.
Menurut Eddy, kini BP Batam sedang merancang sejumlah rencana untuk kembali meningkatkan kegiatan investasi, ekspor, dan pariwisata. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah mengendalikan harga barang konsumsi agar tidak membuat biaya upah pekerja melambung.
“Apa gunanya ada fasilitas FTZ (free trade zone) kalau harga (barang konsumsi) tetap mahal? Harga barang konsumsi di Batam bisa lebih mahal dari Jakarta karena ada pengekangan pasar dan kartelisasi. Hal itu harus diselidiki dan diselesaikan,” kata Edy.
Adapun untuk meningkatkan pariwisata, Edy berencana menciptakan sejumlah tujuan wisata baru yang lebih menarik. Tujuan wisata yang menarik dan fasilitas yang nyaman dinilai akan lebih menarik wisatawan daripada sekadar tawaran harga rokok dan alkohol bebas cukai yang murah.
“Turis itu mencari kepuasan dan kesenangan. Meskipun daerahnya jauh dan biayanya mahal akan tetap didatangi kalau mereka rasa itu menarik. Saya yakin mereka tidak terlalu peduli dengan harga rokok dan minuman yang murah,” kata Edy.
Hal senada disampaikan Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati. Menurut dia, sekalipun di FTZ, rokok dan minuman alkohol seharusnya tetap dikenakan cukai mengingat konsumsi kedua jenis barang itu dibatasi pemerintah.
Awalnya, dengan pembebasan cukai rokok, diharapkan biaya hidup pekerja akan turun dan upah menjadi murah sehingga menarik investor datang. Adapun pembebasan cukai minuman beralkohol ditujukan untuk menarik wisatawan datang berlibur ke kantong-kantong FTZ tersebut.
Namun, pada kenyataannya, biaya hidup di kawasan FTZ tetap mahal dan wisatawan tidak datang semata-mata karena tertarik pada harga minuman beralkohol yang murah. Bahkan, kemudian justru timbul masalah karena rokok bebas cukai itu merembes ke luar kawasan FTZ.
Rembesan itu terjadi karena empat kawasan FTZ di Kepulauan Riau berbentuk enclave atau kantong. Dalam satu pulau terdapat permukiman dan kawasan FTZ yang tidak dibatasi secara khusus. Kondisi itu menyulitkan pengawasan dan memberi celah penyelundupan barang khusus FTZ ke daerah lain.
“Karena kawasannya berbentuk enclave, maka tidak ada jaminan barang itu (minuman beralkohol dan rokok) tidak akan merembes ke wilayah luar. Orang bisa dengan mudah membawa barang khusus wilayah FTZ itu melalui pelabuhan atau yang paling modern menjualnya lewat platform e-dagang,” kata Enny.
Pencabutan
Kepala Bidang Bimbingan dan Kepatuhan Layanan Informasi Kantor Pelayanan Umum Tipe B Bea dan Cukai Kota Batam Sumarna, Jumat (24/5), mengatakan, penerbitan dokumen bebas cukai (CK-FTZ) telah dihentikan seminggu lalu. Sejak 17 Mei, pita cukai sudah mulai wajib dilekatkan pada semua jenis minuman beralkohol dan rokok yang beredar.
Pencabutan insentif bebas cukai terhadap minuman beralkohol dan rokok itu dilakukan untuk menindaklanjuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Hasil Kajian Optimalisasi Penerimaan Negara di Kawasan FTZ tahun 2018. Kuota rokok bebas cukai yang diajukan di empat titik FTZ Kepulauan Riau, yaitu Batam, Karimun, Bintan, dan Tanjungpinang, jumlahnya jauh melebihi kebutuhan masyarakat di kawasan itu.
Salah satu yang mengundang pertanyaan adalah jumlah kuota rokok bebas cukai di FTZ Tanjungpinang yang mencapai 900 miliar batang. Padahal, pekerja di kawasan itu jumlahnya hanya 7.000 orang. Artinya, seorang pekerja menghabiskan 1.180 batang rokok per hari.
Hal itu tidak rasional mengingat rata-rata konsumsi rokok nasional per hari adalah 12 batang. Dugaan yang lebih mungkin terjadi adalah kuota rokok bebas cukai sengaja dilebihkan untuk diedarkan ke daerah di luar FTZ.
Survei rokok ilegal yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada 2018 menunjukkan, sebanyak 2,4 persen dari rokok polos ilegal yang beredar di Jambi merupakan rembesan dari kawasan FTZ. Rokok ilegal itu dijual lebih murah Rp 300 hingga Rp 600 per batang dari harga rokok legal.
Rokok dan minuman beralkohol bebas cukai yang masih berada di pasaran tidak ditarik melainkan dibiarkan habis dengan sendirinya. Hal itu menimbulkan kekhawatiran jika nantinya barang bebas cukai tersebut masih tetap diproduksi dan diedarkan setelah pencabutan bebas cukai.
“Petugas bea dan cukai sedang menelaah laporan barang kena cukai dari para pengusaha dan proyeksi pemasarannya. Setelah selesai, kami akan mengundang para pengusaha untuk sosialisasi terkait batas waktu stok harus dihabiskan dan kebijakan yang akan dilakukan selanjutnya,” kata Sumarna.