NTT Terpilih Menjadi Provinsi Percontohan Indonesia Development Forum 2019
Nusa Tenggara Timur ditunjuk menjadi provinsi percontohan pertama pada Indonesia Development Forum 2019. NTT berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbuka menjadi 3,10 persen dari angka nasional 5,34 persen. Meski demikian provinsi ini masih tergolong termiskin ketiga nasional.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Nusa Tenggara Timur ditunjuk menjadi provinsi percontohan pertama pada Indonesia Development Forum 2019. NTT berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbuka menjadi 3,10 persen dari angka nasional 5,34 persen.
Meski tingkat pengangguran terbuka (TPT) NTT rendah, provinsi ini masih tergolong termiskin ketiga nasional. Tenaga kerja hanya terserap di sektor informal dengan upah Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan. Pendidikan vokasi yang akan dikembangkan pemerintah, NTT harus mendapat perhatian khusus.
Staf Ahli Perencanaan Pembangunan Nasional (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi dalam media gathering di Kupang, Kamis (23/5/2019), mengatakan, NTT masih menghadapi sejumlah persoalan, di antaranya kemiskinan. Namun, NTT secara konsisten setiap tahun menurunkan TPT.
”Sepanjang 2017-2018, provinsi ini berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi 3,10 persen dibandingkan angka nasional 5,34 persen. NTT berada pada posisi keenam tingkat provinsi dengan TPT terendah. Karena itu, NTT terpilih menjadi provinsi percontohan Indonesia Development Forum atau IDF 2019. Provinsi ini secara konsisten menjaga TPT terendah dari tahun ke tahun,” kata Oktorialdi.
Sepanjang 2017-2018, provinsi ini berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi 3,10 persen dibandingkan angka nasional 5,34 persen.
Meski demikian, tidak berarti daerah ini sudah keluar dari persoalan-persoalan kemanusiaan, seperti kemiskinan dan rendah sumber daya manusia. Hampir semua tenaga kerja produktif terserap, tetapi semuanya terlibat di sektor informal.
Pelaksana Tugas Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah NTT Lecky Koli mengatakan, sekitar 2 juta tenaga kerja di NTT bekerja di rumah keluarga, baik orangtua, saudara, atau di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, tetapi masih memiliki hubungan keluarga. Mereka ini sebagian besar tidak diupah, tetapi sekadar mendapatkan tempat tinggal dan makan minum.
Sekitar 150.000 pekerja yang bekerja di pertokoan, pusat perbelanjaan, dan usaha kecil dan menengah dengan upah Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan. Sementara upah minimum provinsi Rp 1,785 juta per bulan tidak terealisasi karena pengawasan masih lemah. Pekerja di BUMN dan perusahaan swasta dengan modah usaha di atas Rp 1 miliar diupah sesuai UMP atau lebih.
Kondisi ini menyebabkan, TPT di NTT rendah tetapi kemiskinan masih tinggi. Belum ada pabrik atau perusahaan besar hadir di daerah ini.
Direktur Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi Kementerian PPN/Bappenas Ahmad Dading Gunadi mengatakan, NTT terpilih untuk membagi praktik-praktik pembangunan terbaik, termasuk solusi terpadu dalam membangun SDM dan penciptaan lapangan kerja yang dihadapi. Peluang sektor usaha tidak hanya fokus pada pertanian, perkebunan, koperasi, dan peternakan, tetapi dikembangkan pula sektor unggulan, yakni pariwisata.
Kelompok milenial di NTT harus diberdayakan. Mereka perlu membentuk kelompok diskusi atau komunitas-komunitas kecil untuk berdiskusi, membagi ide dan gagasan tentang suatu usaha, sesuai bakat dan minat mereka. Mereka saling berkolaborasi sesuai keunggulan masing-masing.
Pada 10-20 tahun ke depan, Indonesia termasuk NTT mendapat bonus demografi besar. Bonus demografi ini harus dipersiapkan agar mereka bisa diperdayakan sehingga tidak semakin menambah beban kemiskinan dan sumber daya manusia yang rendah.
NTT perlu pemikiran out of the box, berupa pinjaman dari luar untuk membangun infrastruktur di NTT. Pinjaman dari luar ini dimungkinkan oleh undang-undang sehingga tidak perlu dipersoalkan karena masalah infrastruktur di NTT menjadi penghambat pembangunan.
Masalah lain adalah lulusan SMK yang diharapkan langsung diserap di lapangan ternyata masih di luar harapan. Kasus ini tidak hanya di NTT, tetapi juga menjadi masalah nasional. Hal itu karena kurikulum SMK yang diadakan tidak menyatu dengan tuntutan dunia kerja.
Oleh karena itu, pemerintah segera membangun lembaga vokasi nasional untuk membangun kerja sama antara dunia pendidikan, terutama SMK, dengan dunia usaha. Terkait lembaga ini, NTT akan diperlakukan secara khusus terutama kemampuan penguasaan teknologi digital.
Diskusi IDF akan berlangsung pada 22-23 Juli 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta. Empat subtema IDF 2019 yakni perbaikan iklim investasi untuk menciptakan lapangan kerja, mengembangkan UMKM yang berdaya saing global, membina para pelaku usaha sosial, dan mengembangkan talenta dan pasar lokal.