Menyusuri Tiga Masjid Bersejarah di Bandung
Kota Bandung di Jawa Barat menyimpan kekayaan arsitektur Islam. Jejak peradaban itu setidaknya terlihat dari tiga masjid bersejarah, yakni Masjid Mungsolkanas, Masjid Besar Cipaganti, dan Masjid Salman Institut Teknologi Bandung.
Namanya unik, Mungsolkanas. Letak masjid itu terselip di gang sebelah Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Yapari, Jalan Cihampelas, Bandung. Setelah direnovasi beberapa kali, bentuknya modern dan tak jauh berbeda dengan masjid pada umumnya.
Sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Mungsolkanas Dedy Priyatna (45) mengatakan, pemugaran terakhir dilaksanakan tahun 2006 sehingga tidak ada bekas bangunan lama yang tersisa. Namun, kisah sebelum masjid itu seperti saat ini sungguh menggetarkan hati.
Dibangun tahun 1869, masjid ini dulu langgar panggung berdinding bilik seluas 40 meter persegi. Namun, dengan berbagai alasan dan perkembangan, renovasi dilakukan di berbagai sisi.
Meski tak sama lagi, Dedy mengatakan, penanda kisah masa lalu masih ada. Hingga kini, masih ada Al Quran yang ditulis tangan oleh R Suradimadja, dikenal dengan nama Mama Aden atau Abdurrahim, pemuka agama setempat.
Abdurrahim juga yang memberikan nama Mungsolkanas. Rasa Sunda-nya sangat kuat. Mungsolkanas adalah akronim dari Mangga Urang Solawat ka Nabi SAW (Mari Kita Selawat ke Nabi SAW).
Menurut Dedy, kegiatan selawat masih dilakukan oleh jemaah masjid sebelum shalat Maghrib dan Isya. ”Jejak ini juga terus kami pertahankan. Paling tidak kami selawat selama 10-15 menit,” ujarnya.
Tiga unsur
Kebesaran budaya di Masjid Besar Cipaganti hampir dipastikan membuat kagum setiap pengunjung. Menjadi yang pertama dibangun di permukiman Eropa di Bandung, masjid ini memadukan tiga unsur, yakni Nusantara, Eropa, dan Timur Tengah. Arsiteknya, Charles Prosper Wolff Schoemaker, juga merancang Gereja Bethel Bandung dan Katedral Santo Petrus Bandung.
Unsur tradisional Jawa terlihat dari bentuk atap tajuk tumpang dua limasan dengan atap-atap tambahan di sayap kiri dan kanan. Bentuk lain tampak dari pilar konstruksi empat kolom saka guru di tengah-tengah ruang shalat.
Langgam arsitektur Eropa terlihat dari konstruksi atap bangunan penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajuk. Gapura kokoh dan tinggi juga memperlihatkan ciri bangunan art deco yang tengah menjadi tren di Eropa pada 1920-1930-an. Adapun pengaruh Timur Tengah tampak pada elemen relung atau busur dan dekorasi kaligrafi.
Petugas DKM Masjid Besar Cipaganti, Nono Firdaus (47), mengatakan, sudah ada beberapa perubahan yang bertujuan meningkatkan kapasitas jemaah. Sisi kiri dan kanan bangunan utama diperpanjang sekitar 20 meter pada 1972.
Namun, arsitektur bangunan utama berukuran 9 meter x 15 meter ini masih dipertahankan, mulai dari pintu utama, tiang, hingga atapnya. ”Semua itu dilakukan untuk menjaga keasliannya. Terakhir renovasi kecil itu tahun lalu, seperti mengganti karpet dan cat. Itu pun harus mendapatkan izin dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung karena masjid ini masuk ke cagar budaya,” tuturnya.
Tanpa kubah
Masjid Salman Institut Teknologi Bandung merupakan salah satu masjid monumental dalam desain dan arsitektur. Masjid ini dibangun tahun 1964 dan diresmikan pada 1972.
Masjid Salman dirancang tanpa kubah dan tiang penyangga. Atap masjid berbentuk melengkung mirip dua telapak tangan menengadah berdoa. Kala itu, bahkan sampai sekarang, model bangunan masjid tanpa kubah belum lumrah.
Pada 2014, Kompas berbincang dengan arsitek Masjid Salman, Achmad Noe’man. Saat itu Noe’man menyebutkan ada peran besar presiden pertama Indonesia, Soekarno, dalam mewujudkan masjid ini. Dua tahun setelah percakapan itu, Noe’man berpulang, Senin (4/4/2016). Jenazah pria yang dijuluki ”Arsitek Seribu Masjid” itu dikebumikan di pemakaman keluarga di Cikutra, Bandung, Selasa.
Noe’man saat itu mengatakan, Salman diambil dari nama Salman Al Farisi, panglima perang yang cerdas pada masa Nabi Muhammad. Salman yang mengusulkan pembangunan parit di sekeliling tenda untuk menghalangi pasukan musuh menyerang. Perang ini disebut Perang Khandak yang berarti parit.
Keindahan masjid-masjid bersejarah ini pula yang menarik perhatian komunitas pencinta sejarah di Bandung, Ulin Bandoeng. Sejak awal pembentukan tahun 2011, komunitas ini melakukan berbagai kegiatan yang membangun literasi masyarakat Bandung dengan cara yang menarik, salah satunya mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
”Kebetulan sekarang sedang bulan Ramadhan, jadi sepertinya menarik kalau mengunjungi masjid-masjid penuh sejarah,” kata Koordinator Ulin Bandoeng Jiman Suhadi.
Kunjungan ke masjid-masjid bersejarah di Bandung, Sabtu (11/5/2019), diikuti 20 anggota komunitas. Kunjungan ditutup dengan berbuka puasa bersama. Dari Bandung, ada momen penting menjaga ragam peradaban bangsa ini tetap abadi selamanya. (CHE/RTG)