Penyelamatan mangrove tersisa serta rehabilitasinya berperan penting bagi Bumi untuk menahan laju kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat celsius. Bagi Indonesia, ekosistem ini penting bagi kontribusi Indonesia dalam upaya global mengerem perubahan iklim.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
M Imran Amin (Direktur Mangrove Ecosystem Restoration Alliance), Suripno (Pertamina Hulu Mahakam), Dietriech G Bengen (Guru Besar IPB), Jemmy Chayadi (Djarum Foundation), dan Benjamin Mangitung (CEO BeeJay Group), Rabu (22/5/2019) di Jakarta, berdiskusi dalam Thought Leaders Forum. Sesi ke-10 yang diselenggarakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara atau The Nature Conservancy Indonesia itu bertema soal mangrove.
JAKARTA, KOMPAS — Penyelamatan mangrove tersisa serta rehabilitasinya berperan penting bagi Bumi untuk menahan laju kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat celsius. Bagi Indonesia yang memiliki 23 persen luasan mangrove dunia, ekosistem ini penting bagi kontribusi Indonesia dalam upaya global mengerem perubahan iklim.
Mangrove sebagai penyimpan karbon 3-5 kali lebih besar dari hutan hujan tropis pun memiliki fungsi sebagai pengendali abrasi, penahan gelombang laut dan tsunami, hingga sumber perekonomian baru dari sisi perekonomian, usaha kecil menengah, dan pariwisata. Beberapa contoh peran individu, perusahaan, dan organisasi masyarakat telah menunjukkan upaya pengembalian fungsi ekosistem mangrove ini berhasil apabila dilakukan secara bersama-sama.
Contoh-contoh itu sedang dikumpulkan Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA), sebuah kerja sama multipihak lintas elemen yang diinisiasi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) atau The Nature Conservancy (TNC) Indonesia dalam setahun terakhir. Saat ini perusahaan APP Sinar Mas, Chevron, dan Indofood telah berkolaborasi dalam upaya rehabilitasi tersebut.
”Pelajaran yang diambil dari MERA ini bisa dikembangkan di banyak tempat,” kata Rizal Algamar, Ketua Pengurus YKAN serta Country Director TNC Indonesia, Rabu (22/5/2019) di Jakarta, dalam Thought Leaders Forum Sesi 10 yang diselenggarakan pihaknya.
Kali ini, TLF mengangkat tema ”Mangrove bagi Keberlanjutan Kehidupan dan Kesejahteraan Masyarakat”. Mereka menghadirkan Benjamin Mangitung (CEO BeeJay Group), Suripno (Kepala Divisi Sustainable Development & Societal Pertamina Hulu Mahakam), Jemmy Chayadi (Director Strategy and Sustainable Development Djarum Foundation), dan M Imran Amin (Director MERA) serta moderator Dietriech G Bengen (Guru Besar Ilmu Ekologi Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor).
Benjamin Mangitung, pengusaha perikanan di Probolinggo, Jawa Timur, menceritakan upayanya tujuh tahun lalu dalam merehabilitasi mangrove yang rusak di pesisir Probolinggo. Keresahannya melihat sungai dan pesisir yang dipenuhi sampah pada hutan mangrove mendorongnya untuk menanam dan mengupayakannya menjadi tujuan ekowisata.
Ia menghadapi permasalahan klasik ekosistem mangrove yang berstatus ”tidak jelas”. Hal itu membuatnya tak bisa mendapatkan pinjaman dari bank.
Namun, kini, ekowisata di tempatnya menjadi tujuan orang-orang berfoto dan menginap di ekosistem mangrove. ”Masyarakat sekitar juga mendapat manfaat langsung sejak daerahnya bersih dan mangrove tumbuh. Mereka bebas mau jaring ikan atau tangkap kepiting dan kerang, dapat manfaat ekonomi langsung dari situ,” katanya.
Masyarakat sekitar juga mendapat manfaat langsung sejak daerahnya bersih dan mangrove tumbuh.
Penanaman mangrove
Sementara Jemmy Chayadi menuturkan, pihaknya terjun ke penanaman mangrove pada 2008-2018 dengan membibitkan dan menanam 780.000 mangrove. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang bertahan hidup.
Dalam waktu dekat, Djarum bergabung dengan MERA untuk menyusun desain rehabilitasi mangrove terintegrasi yang meliputi 12 kelurahan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Djarum berencana mengambil bagian langsung pada 1 kelurahan, sedangkan 11 kelurahan lain diharapkan bisa menarik keterlibatan mitra lain.
Suripno menyebutkan, pihaknya memiliki program rehabilitasi mangrove di Delta Mahakam. Tantangannya, sebagian delta ini telah berubah menjadi tambak-tambak raksasa seluas 2-5 hektar per petak. Tambak tersebut rentan dengan ancaman gagal panen karena buruknya pengelolaan air. Bahkan, produktivitas hanya 40 kilogram per hektar per tahun.
Oleh karena itu, perusahaan mengenalkan tambak ramah lingkungan, antara lain dengan menanam tanaman mangrove di sekitar tambak dan memperbaiki sirkulasi air. Diversifikasi hasil tambak selain udang juga dilakukan, seperti kepiting dan kepiting soka.
Menurut M Imran Amin, restorasi mangrove tak sekadar menanam dan memperbanyak jumlah tegakan pohon di alam. Terlebih penting adalah restorasi mangrove agar bisa mengembalikan fungsi ekosistemnya kembali sehingga memberikan manfaat bagi manusia dan biota.
”Itu hanya bisa dihasilkan dari perencanaan dan studi komprehensif sehingga membantu penyusunan desain seperti apa yang tepat dijalankan,” ujarnya.
Ia mengatakan, banyak program yang dikembangkan dalam pengelolaan sumber daya alam di pesisir, termasuk mangrove, tetapi gagal. Hal itu karena pemulihan mangrove dipandang sebagai proyek ataupun program bantuan dari perusahaan atau pemerintah.
”Kita ingin bagaimana melibatkan pemerintah tidak hanya pada nota kesepahaman, tapi dalam program sehingga sistem yang dibangun juga diinternalisasi pemerintahan,” ucapnya.