Tingkatkan Daya Tarik Investasi, Dua Aturan Direvisi
Investasi harus terus didorong karena perekonomian RI saat ini hanya mencerminkan pertumbuhan konsumsi.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah merevisi dua peraturan terkait penyelenggaraan dan pemberian fasilitas serta insentif fiskal di kawasan ekonomi khusus. Perubahan aturan itu menitikberatkan aspek kemudahan, kepastian, dan keuntungan bagi investor untuk meningkatkan daya tarik investasi di kawasan ekonomi khusus.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Rabu (22/5/2019), mengatakan, daya tarik investasi berupaya ditingkatkan untuk menangkap peluang relokasi industri akibat dinamika global. Pemerintah tak sekadar membidik investasi berorientasi ekspor, tetapi investasi substitusi impor dalam rangka memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Daya tarik investasi, lanjut Susiwijono, salah satunya ditingkatkan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus dan PP Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus. Revisi PP sekaligus menindaklanjuti evaluasi kawasan ekonomi khusus (KEK) yang dinilai belum berdampak signifikan.
”Revisi kedua PP secara substansi sudah masuk tahap finalisasi, tetapi masih ada beberapa catatan. Targetnya satu bulan selesai, tinggal diajukan ke sekretariat negara,” katanya.
Aturan tentang penyelenggaraan KEK akan dirombak total mulai dari sistem pengawasan, fasilitas imigrasi, kepabeanan, dan tenaga kerja asing. Nantinya KEK juga bisa diusulkan dalam kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB). Pemerintah menjamin pergerakan barang antarkawasan tidak perlu administrasi yang rumit.
Terkait sistem pengawasan, lanjutnya, seluruh data milik pelaku usaha akan terintegrasi secara daring sehingga proses birokrasi dan administrasi tidak berbelit. Pengawasan fisik, seperti personel dan pagar khusus, akan dikurangi untuk menekan biaya operasi yang tidak perlu. Revisi PP juga akan memuat ketentuan yang lebih detail.
”KEK akan dirancang sebagai kawasan ultimate untuk investasi melebihi KPBPB. Pengusaha akan diberikan insentif fiskal maupun non fiskal,” kata Susiwijono.
Menurut dia, salah satu pembahasan insentif fiskal yang masih alot terkait penurunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa. Fasilitas dan insentif akan disesuaikan dengan karakteristik KEK, misalnya, KEK bidang pendidikan, pariwisata, atau ekonomi digital. Setiap KEK yang diusulkan juga harus disertai hitungan risiko bencana alam.
Sebelumnya, Sekretaris Dewan Nasional KEK Enoh Suharto Pranoto menuturkan, pembangunan KEK diprioritaskan untuk wilayah luar Jawa. Tujuannya mengatasi persoalan ketimpangan antarwilayah karena sekitar 58 persen perekonomian nasional masih terkonsentrasi di Jawa. Sejauh ini, pemerintah sudah menetapkan 12 KEK dengan rincian 6 KEK sudah beroperasi dan 6 KEK sedang dibangun.
Berdasarkan data Dewan Nasional KEK per Januari 2019, total komitmen investasi di 12 KEK itu mencapai Rp 104,76 triliun. Komitmen investasi terbesar di KEK Galang Batang Rp 36,25 triliun, KEK Mandalika Rp 19,89 triliun, dan KEK Tanjung Api-api Rp 13,42 triliun. Adapun realisasi tenaga kerja di semua KEK 10.700 orang.
Pacu investasi
Ekonom Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, berpendapat, investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas daya beli sehingga konsumsi rumah tangga dan pemerintah bisa terus tumbuh. Selain penanaman modal asing, pemerintah juga bisa membidik penanaman modal dalam negeri, seperti untuk pariwisata.
Menurut Prasetyantoko, pemerintah harus mempercepat realisasi fasilitas untuk menarik investasi asing. Investasi harus terus didorong karena perekonomian RI saat ini hanya mencerminkan pertumbuhan konsumsi. Padahal, ekonomi masih bisa dipacu tumbuh oleh investasi dan pengeluaran pemerintah.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, masuknya investasi, terutama dari sektor manufaktur, akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi ke level 6-7 persen. Pertumbuhan ekonomi kini stagnan di level 5 persen karena motor penggerak dari sektor jasa.
”Variabel kunci investasi adalah kemudahan berusaha, kepastian hukum, dan biaya produksi serta logistik yang efisien,” kata Enny.
Lima tahun terakhir, lanjutnya, investasi lebih banyak masuk ke sektor tersier dan jasa, bukan sektor riil. Akibatnya, efek berganda yang ditimbulkan relatif kecil sehingga tidak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Peralihan investasi dari sektor jasa ke riil harus dilakukan bertahap dan konsisten.