Tak Ada yang Berminat Memulai Perang
Sampai saat ini, situasi di Teluk Persia masih terkontrol dan terkendali. Segala sesuatu di kawasan tersebut berjalan normal. Amerika Serikat dan Iran—yang tengah bersitegang—sejauh ini sama-sama masih mampu menahan diri.
Amerika Serikat sama sekali tidak reaksional atas peristiwa sabotase terhadap 4 kapal tanker—2 milik Arab Saudi dan sisanya masing- masing milik Uni Emirat Arab dan Norwegia—di dekat pelabuhan Fujairah di Uni Emirat Arab, Minggu (12/5/2019) lalu. Bagi AS, peristiwa sabotase itu masih terlalu kecil untuk mendapatkan reaksi besar.
Lagi pula, sabotase itu sama sekali tidak mengganggu lalu lintas pelayaran di Teluk Persia. Kerusakan yang dialami empat kapal tanker itu sangat terbatas dan kapal-kapal tanker tersebut masih bisa berlayar lagi.
AS juga bersikap dingin atas serangan pesawat tanpa awak (drone) milik Al Houthi di Yaman pada dua stasiun pompa minyak di jaringan pipa bagian timur-barat milik Aramco, perusahaan minyak terbesar milik Arab Saudi, Selasa (14/5/2019) lalu. Pipa itu mengalirkan minyak dari ladang di provinsi timur Arab Saudi ke pelabuhan Yanbu di pantai barat. Jalur pipa tersebut merupakan jalur alternatif bagi Arab Saudi, selain jalur Selat Hormuz yang kerap terancam situasi tegang di Teluk Persia.
Meskipun milisi Al Houthi dalam dua tahun terakhir ini kerap menembakkan rudal dan melancarkan serangan dengan drone ke berbagai sasaran di Arab Saudi, AS masih menganggap serangan drone atas dua stasiun pompa minyak itu adalah bagian dari perang Arab Saudi-Al Houthi. Perang itu telah berkecamuk sejak Maret 2015, bukan dampak dari ketegangan AS-Iran di Teluk.
Oleh karena itu, tidak mengherankan, saat media massa di Arab Saudi dan UEA gencar menggoreng sabotase atas empat kapal tanker dan serangan drone Al Houthi sebagai bagian dari konflik AS-Iran, Washington bergeming. Bahkan, saat pengamat dan media loyalis Arab Saudi dan UEA menyebut kedua peristiwa itu adalah awal menuju perang terbuka AS-Iran, Washington tetap tenang.
AS baru akan bertindak jika manuver dari Iran atau loyalisnya sudah mencapai ”tingkat” yang mengganggu arus suplai minyak dan gas ke pasar internasional, misalnya dengan menutup Selat Hormuz.
AS juga bakal beraksi apabila Iran atau loyalisnya menyerang langsung kepentingan AS, seperti menyerang pangkalan militer AS, warga, atau personel militer AS di Timur Tengah. Namun, AS pun mungkin tidak akan berpangku tangan jika peristiwa sabotase empat kapal tanker tersebut terulang lagi beberapa kali atau skalanya membesar.
Pesan AS
Jika kini AS mengerahkan mesin perangnya ke kawasan Teluk Persia, langkah itu sesungguhnya hanya ingin menyampaikan pesan kepada Iran dan loyalisnya di seantero Timur Tengah. Washington menegaskan, jangan main-main dengan jalur vital energi internasional itu, atau kepentingan langsung AS di kawasan.
Langkah AS mengerahkan mesin perangnya ke kawasan Teluk Persia sesungguhnya hanya untuk menyampaikan pesan kepada Iran dan loyalisnya agar jangan main-main dengan jalur vital energi internasional itu atau kepentingan langsung AS di kawasan.
Tindakan AS mengirim armada Kapal Induk USS Abraham Lincoln, pengebom B-52, kapal serbu amfibi USS Arlington, dan sistem antirudal Patriot ke kawasan Teluk Persia adalah lebih untuk memberi peringatan kepada Iran dan loyalisnya agar tidak melakukan tindakan konyol atau salah kalkulasi jika tidak ingin mendapat balasan kuat, bahkan mematikan, dari AS.
Washington ingin memberi pesan bahwa kekuatan militer Iran dan loyalisnya yang cukup besar akan dihadapi dengan kekuatan militer yang besar pula dengan teknologi militer yang jauh lebih canggih.
Memperkuat pesan itu, AS pun mengirim dua kapal perusak, USS Gonzalez dan USS McFaul yang berkekuatan rudal penjelajah Tomahawk di kawasan Teluk Persia pada Kamis (16/5).
Dukungan sekutu
Harian milik Arab Saudi, Asharq al Awsat, edisi hari Sabtu (18/5) secara mengejutkan memberitakan, Arab Saudi, UEA, dan Bahrain menyetujui penempatan pasukan darat AS di wilayah mereka.
Sikap Arab Saudi, UEA, dan Bahrain itu mengulang sikap mereka ketika memberi persetujuan penempatan pasukan darat AS secara besar-besaran di wilayah tiga negara Arab tersebut saat menjelang perang untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait tahun 1990.
Arab Saudi, UEA, dan Bahrain dikenal sebagai musuh bebuyutan Iran. Sebaliknya, mereka mendukung operasi militer AS atas negara para mullah itu. Ada dua skenario pasca-keluar persetujuan Arab Saudi, UEA, dan Bahrain itu untuk penyebaran pasukan darat AS di tiga negara itu.
Skenario pertama, jika AS mengirim pasukan darat ke Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, perang AS-Iran hanya soal waktu. Hal itu juga dilakukan AS ketika mengirim pasukan darat besar-besaran ke Arab Saudi tahun 1990 menjelang perang pembebasan Kuwait dari Irak, dan ke Kuwait tahun 2003 untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein di Baghdad.
AS butuh pasukan darat untuk mengobarkan perang besar melawan Iran saat ini.
AS butuh pasukan darat pula untuk mengobarkan perang besar melawan Iran saat ini. Skenario kedua, jika AS tidak mengirim pasukan darat ke Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, perang besar AS-Iran tidak akan terjadi dalam waktu dekat, atau mungkin AS tidak menginginkan perang saat ini. Dalam sejarah, AS tidak pernah melancarkan perang besar tanpa melibatkan pasukan darat.
Menekan Teheran
AS dengan memamerkan kekuatan militer di Teluk Persia saat ini hanya ingin memaksa Teheran berunding lagi dan bersedia memberi konsesi kepada AS. Kekuatan militer AS di Teluk Persia saat ini lebih ditujukan untuk menjaga sanksi terhadap Iran berjalan efektif dari pada misi perang.
Kapal perang AS akan mencegat dan memeriksa kapal tanker atau kapal komersial asing yang berlayar ke Iran, atau sebaliknya kapal tanker atau kapal komersial Iran berlayar menuju mancanegara. Sanksi AS melarang kegiatan ekspor-impor dari dan ke Iran, kecuali untuk misi kemanusiaan.
Skenario kedua ini yang kemungkinan besar terjadi saat ini, dan menjadi pilihan utama AS—selama Iran dan loyalisnya masih mampu menahan diri dengan tidak melakukan sabotase skala besar.
AS kini terus menekan Iran dengan upaya memperberat sanksi, dengan harapan sanksi itu memberikan dampak kepada situasi dalam negeri Iran sehingga akhirnya memaksa Teheran bersedia berunding lagi dengan AS.
Bahkan, misi utama AS saat ini adalah sanksi berat terhadap Iran, suatu saat bisa melahirkan gerakan musim semi Iran yang merontokkan rezim para mullah di Teheran, seperti halnya musim semi Arab yang menumbangkan rezim diktator di sejumlah negara Arab.
Skenario meletusnya musim semi Iran tentu sangat ideal bagi AS dan sekutunya karena bisa merontokkan rezim para mullah tanpa biaya besar.