Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur memutuskan, tindakan menolak hasil pemilu dengan dalih kedaulatan rakyat hukumnya haram. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan perundang-undangan dan berpotensi menyulut konflik sosial.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur memutuskan, tindakan menolak hasil pemilihan umum dengan dalih kedaulatan rakyat hukumnya haram. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan perundang-undangan dan berpotensi menyulut konflik sosial.
Keputusan tersebut diambil saat Bahtsul Masail Kebangsaan PWNU Jatim, Senin (20/5/2019) di Surabaya. Sidang bahtsul masail atau pembahasan masalah berlangsung selama dua hari diikuti 22 kiai dan dipimpin Kiai Ahmad Asyhar Shofwan.
Khatib Suriah PWNU Jatim Kiai Syafrudin Syarif mengatakan, bahtsul masail dilakukan untuk menyikapi eskalasi politik jelang pengumuman pemilu presiden 22 Mei yang kian memanas. Ada kelompok yang membuat narasi-narasi untuk mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi resmi negara penyelenggara pemilu.
Ada kelompok yang membuat narasi-narasi untuk mendelegitimasi KPU sebagai institusi resmi negara penyelenggara pemilu.
Bahkan, muncul provokasi berdalih people power atau kedaulatan rakyat dan tindakan menolak hasil pemilu. Ada pula pengerahan massa ke Jakarta untuk melakukan demonstrasi yang menolak hasil pemilu.
”Penyampaian pendapat pada satu sisi dijamin undang-undang, tetapi di sisi lain stabilitas politik dan keamanan nasional menjadi taruhan,” ujar Syafrudin.
Oleh sebab itu, PWNU Jatim memutuskan tindakan-tindakan yang mendelegitimasi pemilu tidak boleh dilakukan. ”Itu tidak diperbolehkan karena KPU merupakan institusi resmi yang menyelenggarakan pemilu. Haram, tidak boleh,” ucap Syafrudin.
Berdasarkan kajian dalam Al Quran, yakni Surat An Nisa Ayat 59, Al Buruj Ayat 10, Al Hujurat Ayat 9, dan Al Maidah Ayat 33, PWNU Jatim menilai tindakan menentang hasil pemilu hukumnya haram.
Itu tidak diperbolehkan karena KPU merupakan institusi resmi yang menyelenggarakan pemilu. Haram, tidak boleh.
Sebab, tindakan menentang hasil pemilu terdapat tujuan, tindakan, atau dampak yang bertentangan dengan perundang-undangan serta syariat Islam. Pengerahan massa ke Jakarta juga tidak dibenarkan karena dapat mengarah pada tindakan makar, menyulut konflik sosial, perang saudara, dan mengacaukan keamanan nasional.
”Sebaiknya masyarakat menahan diri, tidak terprovokasi, serta mendukung penuh aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas sesuai perundang-undangan yang berlaku,” katanya.
Warga nahdliyin diharapkan tidak terprovokasi tindakan-tindakan tersebut. Jika masih tidak puas dengan hasil pemilu, bisa diselesaikan melalui jalur konstitusional, yakni di Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.
Secara terpisah, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Luki Hermawan mengatakan, ada sekitar 1.200 orang yang batal berangkat ke Jakarta mengikuti aksi 22 Mei. Massa tersebut berasal dari Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan.
Polisi melakukan penyekatan di titik-titik pemberhentian, seperti terminal, stasiun, dan pelabuhan. Bahkan polisi menemukan bom molotov saat penggeledahan massa.
”Polisi terus melakukan penyekatan massa yang akan mengikuti aksi 22 Mei karena ada ancaman terorisme dan gangguan keamanan,” ujar Luki.