Persaingan teknis dan harga jual telepon seluler pintar semakin ketat sejak produsen asal China masuk ke pasar ini. Kondisi ini diperkirakan menyulitkan produsen kecil dan lokal untuk mempertahankan pangsa pasar.
Oleh
Mediana/Didit Putra Erlangga
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan teknis dan harga jual telepon seluler pintar semakin ketat sejak produsen asal China masuk ke pasar ini. Kondisi ini diperkirakan menyulitkan produsen kecil dan lokal untuk mempertahankan pangsa pasar.
Analis pasar International Data Corporation (IDC) Indonesia, Risky Febrian, Minggu (19/5/2019), di Jakarta, mengungkapkan, pangsa pasar ponsel pintar produksi China naik setiap tahun. Berdasarkan riset IDC Indonesia, pada 2015, pangsa pasar merek ini baru 16,7 persen. Namun, pada 2016, pangsa pasarnya naik menjadi 29,7 persen.
Pangsa pasar ponsel pintar produksi China meningkat menjadi 38,4 persen pada 2017 dan 53,1 persen pada 2018.
Sebaliknya, pada periode yang sama, pangsa pasar ponsel pintar merek lokal dan global turun. Pada 2015, ponsel pintar merek lokal masih menguasai 31 persen pangsa pasar Indonesia. Namun, pada 2018, pangsanya tinggal 9,9 persen.
Pada 2015, pangsa pasar ponsel pintar merek global, seperti Samsung dan Apple, sebesar 47 persen, tetapi pada 2018 turun menjadi 34,8 persen.
”Kondisi pasar ponsel pintar secara internasional mirip dengan Indonesia, yakni gabungan ponsel merek asal China mempunyai pangsa pasar semakin besar,” ujar Risky.
Beberapa produsen ponsel pintar asal China menawarkan produk dengan teknologi berkualitas, tetapi harga jual tetap terjangkau oleh kelas menengah-bawah Indonesia.
Persaingan yang semakin ketat tidak membuat merek global menyerah. Dia mencontohkan, Samsung mengeluarkan produk terbaru dengan spesifikasi dan harga jual lebih kompetitif daripada sebelumnya.
Risky menyebutkan, lima merek ponsel pintar yang menguasai pasar Indonesia pada 2018 adalah Samsung (28,8 persen), Xiaomi (20,7 persen), Oppo, (19,6 persen), Vivo (10,3 persen), dan Advan (6,3 persen).
Kompetitif
Manajer Riset Canalys Rushabh Doshi menyebutkan, pengiriman ponsel pintar dari produsen ke gerai distributor sekitar 38 juta unit pada 2018. Jumlah ini naik 17,7 persen dibandingkan setahun sebelumnya.
Rushabh menambahkan, lima besar merek ponsel pintar, yaitu Samsung, Xiaomi, Oppo, Vivo, dan Advan, menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar Indonesia pada triwulan IV-2018. Padahal, setahun sebelumnya, mereka baru menguasai 65 persen.
”Ketika pasar semakin kompetitif, produsen yang lebih kecil dan lokal kemungkinan akan semakin menderita karena mereka mencoba menanggung biaya pemasaran sekaligus riset dan pengembangan. Sementara persaingan harga jual yang terjangkau dari pemain besar juga semakin kuat,” katanya.
Rushabh menambahkan, ketika aktivitas ekonomi semakin banyak digerakkan aplikasi, keberadaan ponsel pintar semakin penting bagi Indonesia. Kondisi ini mendorong investasi untuk masuk ke sektor ini, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak.
Aria Wahyudi, General Manager Marketing Advan, menuturkan, mereka memilih mencari pasar baru dengan mengincar pengguna ponsel pintar dengan fitur dasar. Pilihan ini diambil ketimbang bersaing dengan merek global dan China di kelas yang lebih tinggi.
”Tingkat penetrasi internet di Indonesia yang terus tumbuh adalah bukti kebutuhan akan ponsel selalu ada,” ujarnya mengutip hasil survei bahwa penetrasi internet Indonesia kini mencapai 56 persen.
Pada saat bersamaan, Advan juga berupaya memperkenalkan produk sabak elektronik yang mengincar pelaku usaha. Menurut Aria, seiring kemunculan usaha baru karya anak-anak muda yang ingin terlihat segar dan modern, sabak elektronik dipilih untuk mengelola penjualan, pemesanan, atau tampilan menu.
Sementara Huawei berupaya membangun merek di Indonesia sebagai produk yang premium dengan rencana pendirian 100 toko Huawei Experience Store di sejumlah daerah. Experience Store itu sebagian merupakan toko baru, sedangkan sebagian mengubah toko lama.