Pendaratan Darurat Rafale di Aceh dan Penjelajahan Perancis di Nusantara
Pada akhir pekan lalu, Sabtu (18/5/2019), sebanyak tujuh pesawat tempur Rafale tipe M yang berpangkalan di kapal induk Charles de Gaulle, mendarat darurat di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) di Banda Aceh. Mereka mengalihkan pendaratan (divert) karena cuaca buruk dan tidak memungkinkan pendaratan di pangkalan mereka (kapal induk) yang memang sangat berisiko.
Terlebih, ada rekam jejak kecelakaan operasional Rafale M yang berpangkalan di kapal induk Perancis tersebut. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen (TNI) Sisriadi dalam keterangan resmi mengatakan, pesawat jet tempur tersebut mendarat darurat karena kapal induk mereka yang berada 100 nautical miles dari Sumatera di tengah Samudera Hindia sedang diliputi cuaca buruk.
“Sesuai prosedur dan alasan keselamatan penerbangan mereka mengalihkan pendaratan (divert) ke Lanud Sultan Iskandar Muda pada pukul 11.45 WIB. Mereka diterima Lanud SIM yang dipimpin Komandan Lanud Kolonel (Pnb) Hendro Arief,” kata Kapuspen TNI.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap para awak pesawat dengan identitas Kapten Thomas Adeleus, Kapten Jean Dubois, Kapten Pierre Dennis, Kapten Hubert Hetier, Kapten Guillaume Denis, Kapten Bartholet Droz, dan Kapten Camile Bon. Dari pemeriksaan diketahui mereka sedang menjalankan latihan udara ke udara dengan rute kapal induk – area latihan – kapal induk.
Mereka diketahui tidak membawa senjata dan hanya satu pesawat yang membawa peluru kendali dummy (peluru latihan) jenis Misile Interception Combat Aerial.
Selanjutnya empat pesawat buatan Dassault Aviation itu kembali ke kapal induk Charles de Gaulle pada Sabtu pukul 19.00 WIB dan satu pesawat menyusul hari Minggu pada pukul 11.45 WIB. Tersisa dua pesawat di Lanud SIM untuk menjalani pemeriksaan teknis.
Kehadiran kapal induk Charles de Gaulle di Samudera Hindia, sesuai laporan situs The Diplomat adalah bagian dari latihan bersama India – Perancis, dengan sandi Operasi Varuna (Dewa Baruna adalah Dewa Penguasa Laut dalam tradisi di Bali), yang dimulai awal Mei 2019 dengan latihan dalam ruang (Table Top Exercise) di Negara Bagian Goa di sebelah barat India. Angkatan Laut India juga mengerahkan kapal induk kelas Kiev, INS Vikramaditya.
Pihak Perancis mengerahkan jet tempur Rafale M yang dirancang untuk beroperasi dari kapal induk, dan India mengerahkan jet tempur Mig-29K Fulcrum. Para penerbang kedua negara terlibat dalam simulasi pertempuran udara (dog fight).
Latihan maritim juga mencakup pertahanan udara dan operasi anti kapal selam. Dalam sebuah gugus tempur kapal induk, biasanya terdapat kapal frigat atau kapal perusak sebagai pengawal, kapal logistik, kapal selam, dan payung udara yang disediakan pesawat tempur yang berpangkalan di kapal induk.
Pihak AL India mengerahkan kapal perusak INS Mumbai, frigat INS Tarkash, kapal selam diesel INS Shankul, dan kapal tanker INS Deepak. Pihak Perancis mengerahkan pula frigat FNS Farbin yang dirancang khusus anti serangan udara, frigat multi fungsi FNS Provence, frigat anti kapal selam Latouche-Treville, kapal tanker FNS Marne, dan kapal selam nuklir kelas Rubis.
Tahap pertama latihan berlangsung dari 1 – 10 Mei 2019. Tahap dua latihan dilakukan di sekitar perairan Djibouti di Laut Arab. Latihan terakhir Angkatan Laut India dan Perancis berlangsung tahun 2017 lalu.
Tradisi AL Perancis di Nusantara
Mengenai keberadaan kapal induk Perancis Charles de Gaulle di Samudera Hindia dekat Aceh, sebetulnya bukan hal baru. Guru besar Sejarah University of Western Australia Leslie Marchant (Alm), membedah kehadiran Angkatan Laut Perancis di Samudera Hindia, perairan Nusantara dan seputar Australia sejak tahun 1503 hingga 1826 dalam riset yang dijadikan buku France Australe. Leslie Marchant membuka tabir sejarah penjelajahan Australia yang selama ini ditujukan pada penjelajah Belanda dan Inggris.
Leslie Marchant menjelaskan secara rinci penjelajahan laut Perancis menuju Australia dan Nusantara sejak masa Kerajaan Singasari dan Majapahit tumbuh dan berkembang. Dia menerangkan tahap demi tahap penjelajahan Angkatan Laut Perancis dari Eropa ke Afrika hingga Samudera Hindia lalu ke Nusantara dan Australia.
Penulis buku Sejarah Kecil Indonesia Prancis (1800-2000), Kolonel (Purn) Jean Rocher, yang mantan Atase Pertahanan Perancis di Indonesia menceritakan, dalam tradisi Angkatan Laut Perancis yang hingga kini memiliki pangkalan di Mayotte di utara Madagaskar, Djibouti di Afrika yang berada di Samudera Hindia, dengan koloni Perancis di Kaledonia Baru dan Polynesia Perancis (Tahiti) di Samudera Pasifik, Pulau Jawa dan Kota Batavia (Jakarta) sejak lama sudah dikenal.
“Jawa adalah rendezvous point atau titik kumpul armada-armada Perancis dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Nama tempat hiburan malam Mangga Besar di Jakarta itu dikenal para pelaut Perancis,” kata Rocher.
Keberadaan para diaspora Perancis dan orang-orang Huguenot (orang Perancis penganut Kristen Protestan) turut mewarnai sejarah orang dan budaya Perancis di Nusantara semasa Belanda dan Inggris. Bahkan pada periode singkat 1808-1811, Pulau Jawa berada langsung di bawah kendali Napoleon Bonaparte yang menempatkan keluarganya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Muda di Belanda. Adapun Marsekal Herman Willem Daendels pun merupakan perwira kesayangan Napoleon Bonaparte.
Semasa itu, lanjut Jean Rocher, Menteri Koloni Perancis Denis Decres semasa Napoleon Bonaparte, sempat diminta mengirimkan satu divisi tentara darat. Yang terjadi, Denis Decres malah mengirim satu divisi angkatan laut yang terdiri dari tiga frigat yang kemudian berangkat ke Pulau Jawa. Salah satu frigat tersebut yakni La Meduse kemudian dicatat sejarah karena tenggelam di lepas pantai Dakkar, Senegal.
Musibah tersebut diabadikan seniman Theodore Gerricault dalam lukisan Le Radeau de la Méduse (Rakit Kapal Medusa) yang dipamerkan di Museum Louvre. Selanjutnya, pelukis kebanggaan Indonesia, Raden Saleh membuat lukisan “Banjir Di Jawa” yang disebut terinspirasi lukisan “Rakit Kapal Medusa”.
Terkait sejarah Aceh, dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX karya Bernard Dorleans, disebutkan pelaut Perancis pada tahun 1526 yakni Verrazaen, Pierre Cauney, lalu di tahun 1529 kakak beradik Jean dan Raoul Parmentier, dan Francois Vitre (1603), lalu Augustin de Beaulieu, berkunjung ke Aceh awal tahun 1621. Mereka berusaha membuka hubungan dagang dan persahabatan.
Persaingan antara Angkatan Laut dan pedagang Spanyol – Portugis menjadi hambatan bagi pihak Perancis. Selanjutnya ketika kekuatan maritim Inggris dan Belanda muncul tahun 1600-an di Perairan Samudera Hindia dan Nusantara, Angkatan Laut Perancis terus berusaha menjaga keberadaan mereka. Berbagai koloni seperti Madagaskar, Mauritius, Pondicherry di India, Indo China (Vietnam, Laos, Kamboja), dan Kaledonia Baru memiliki titik temu secara geografis yakni Kepulauan Nusantara.