Simulasi singkat tentang bagaimana pengelola teknologi finansial pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi melakukan penilaian kredit (credit scoring) calon nasabah di sebuah kantor di Jakarta, pertengahan Februari 2019, mengejutkan sebagian peserta yang hadir.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ilustrasi
Simulasi singkat tentang bagaimana pengelola teknologi finansial pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi melakukan penilaian kredit (credit scoring) calon nasabah di sebuah kantor di Jakarta, pertengahan Februari 2019, mengejutkan sebagian peserta yang hadir. Bagaimana tidak, hanya dalam hitungan 2-3 detik, lebih dari 200 jenis informasi pribadi bisa dikumpulkan oleh mesin, mulai dari tanggal lahir, tempat tinggal, hingga perilaku belanja daring.
Bandingkan dengan ketika calon nasabah mengajukan kredit di bank konvensional. Proses penilaian kredit yang memakan waktu setidaknya 30 menit rata-rata hanya mengumpulkan belasan informasi pribadi melalui wawancara dan pengisian formulir secara manual. Demikianlah kenyataan yang terjadi saat ini, teknologi digital telah melipatgandakan segala hal secara eksponensial, termasuk dalam hal pengumpulan data pribadi.
Kemajuan itu menyajikan dua sisi, positif sekaligus negatif. Positifnya, teknologi digital yang terhubung internet membuat segenap proses berlangsung lebih cepat, menjangkau lebih banyak orang, dan wilayah yang lebih luas. Di sektor keuangan, misalnya, kini semakin banyak orang bisa dengan mudah dan cepat menjangkau layanan jasa keuangan, baik bank maupun nonbank. Negatifnya, data pribadi yang berserak di dunia maya rentan dimanfaatkan untuk dimonetisasi tanpa sepengetahuan pemilik data, bahkan dijadikan celah oleh pelaku kejahatan.
Teknologi digital telah melipatgandakan banyak hal secara eksponensial, termasuk dalam hal pengumpulan data pribadi.
Konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945) sebenarnya telah memberi jaminan perlindungan akan hak privasi. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam kajiannya menyebutkan, selain di Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945, ada sedikitnya 30 undang-undang di Indonesia yang materinya memiliki singgungan dengan pentingnya perlindungan data pribadi warga negara, seperti undang-undang kesehatan, perdagangan, otoritas jasa keuangan, dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akan tetapi, Indonesia belum memiliki regulasi dan lembaga yang secara spesifik melindungi data pribadi. Praktik pemindahtanganan data pribadi tanpa sepengetahuan pemiliknya marak terjadi.
Keluhan seorang warganet atas penagihan pinjaman oleh sebuah perusahaan tekfin pertengahan tahun lalu bisa menjadi contoh. Perusahaan itu dinilai menyalahgunakan data pribadi nasabah dengan menghubungi sejumlah nama yang tersimpan di daftar kontak ponsel nasabah.
Pengaduan 283 orang ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terkait layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi pada akhir 2018 menambah kisah tentang bagaimana data pribadi dipindahtangankan sehingga mengganggu privasi.
Hasil penelusuran Kompas terkait jual beli data pribadi, dalam laporan berseri tanggal 13-15 Mei 2019, memperkuat fakta bahwa penyalahgunaan data pribadi masih marak terjadi.
Dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet yang pesat, perlindungan data pribadi menjadi semakin urgen. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, yang dipublikasi pada Kamis (16/5/2019), menyebutkan, jumlah penduduk yang terhubung internet tahun 2018 mencapai 171,1 juta jiwa atau 64,8 persen dari total penduduk. Angka ini tumbuh pesat. Sebab, setahun sebelumnya, penetrasi internet di Indonesia baru 54,85 persen.
Dalam konteks perekonomian global, perlindungan data pribadi menjadi instrumen penting perdagangan internasional. Jaminan perlindungan menjadi kebutuhan mitra kerja sama ekonomi internasional.
Kajian Elsam menyebutkan, lebih dari 101 negara di dunia (mayoritas negara-negara Eropa) telah memiliki instrumen hukum yang secara khusus menjamin perlindungan data pribadi. Sementara Indonesia tergolong tertinggal untuk urusan ini, bahkan dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), baik dari sisi waktu maupun variasi perlindungannya.
Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang telah digulirkan sejak tahun 2016 perlu diprioritaskan penyelesaiannya.