Hasil jajak pendapat telah memprediksi kemenangan Partai Buruh dalam Pemilu Australia 2019. Namun, yang muncul sebagai pemenang justru kubu koalisi sehingga sejumlah pihak mempertanyakan kredibilitas jajak pendapat tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
SYDNEY, SENIN — Hasil jajak pendapat telah memprediksi kemenangan Partai Buruh dalam Pemilu Australia 2019. Namun, yang muncul sebagai pemenang justru kubu koalisi sehingga sejumlah pihak mempertanyakan kredibilitas jajak pendapat tersebut.
Kubu koalisi yang terdiri dari Partai Nasional dan Liberal berhasil meraih kemenangan yang mengejutkan dalam pemilu Australia pada Sabtu (18/5/2019). Kemenangan ini diraih setelah dua tahun berada di belakang Partai Buruh selama dua tahun terakhir dalam setiap jajak pendapat nasional.
Hasil jajak pendapat terakhir menunjukkan perbedaan jumlah suara di antara kedua kubu menipis dengan hasil 51-49, di mana Partai Buruh tetap memimpin. Namun, pada hasil sementara pemilu, Komisi Pemilihan Australia menyebutkan kubu koalisi memimpin dengan hasil 51-49 pada Senin (20/5/2019). Dengan demikian, Scott Morrison tetap menjabat sebagai Perdana Menteri Australia.
Perbedaan hasil pemilu dan jajak pendapat nasional membuat kredibilitas jajak pendapat dipertanyakan. Apalagi, kesalahan jajak pendapat juga terjadi pada prediksi Brexit dan kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
”Kami akan melakukan review pada jajak pendapat pemilu, khususnya pada metodologi dan sampling yang diambil. Kami juga akan mencari tahu mengapa semua hasil tidak tepat,” kata Presiden Asosiasi Organisasi Riset Pasar dan Sosial Craig Young.
Menurut Young, kredibilitas jajak pendapat perlu dipulihkan. Jajak pendapat biasanya digunakan oleh media untuk mengetahui tren politik dan kandidat yang berpotensi menang.
Mantan Kepala Lembaga Survei Newspoll Martin O’Shannessy mengatakan, hasil jajak pendapat belakangan mulai tidak akurat. Lembaga survei mengontak calon pemilih menggunakan daftar di buku telepon. Namun, nomor telepon semakin sedikit sehingga sampel yang representatif sulit dibuat.
Selain itu, proses jajak pendapat menjadi terlalu praktis karena menggunakan robot untuk menelepon. Bahkan, survei juga kerap dilakukan secara daring sehingga hasil kurang akurat.
”Jajak pendapat yang berkualitas akan mencari sampling dengan sebaik mungkin dan menggunakan operator manusia sehingga biasanya mendapatkan hasil yang tepat. Hanya saja, survei yang berkualitas hanya ada sekitar 12 persen dari semua survei, sedangkan 88 persen merupakan survei daring dan robot,” kata O’Shannessy.
Menurut dia, simpang kesalahan survei daring dan robot minimal sebesar 5 persen. Sementara itu, simpang kesalahan terbesar dapat mencapai 10 persen.
Analis Survei, Kevin Bonham, mengatakan, pertanda hasil jajak pendapat kurang akurat di level nasional sebenarnya mulai terlihat tahun lalu. Dalam pemilu regional di Negara Bagian Victoria pada November 2018, hasil survei tidak berhasil menunjukkan mayoritas suara beralih ke Partai Buruh yang juga merupakan petahana.
Di Australia, lanjutnya, hasil jajak pendapat memiliki rekam jejak yang baik. Bahkan, sejumlah perdana menteri didepak partai sendiri karena memperoleh hasil jajak pendapat yang buruk.
Metode alternatif
Ilmuwan data dari Griffith University, Australia, Bela Stantic, mengatakan, ada metode alternatif untuk jajak pendapat. Sampling calon pemilih dapat dipilih lewat media sosial.
Ia melanjutkan, dirinya telah berhasil memprediksi kemenangan Trump, Brexit, dan kemenangan kubu aliansi dengan menganalisis jutaan komentar media sosial. Sebanyak dua juta cuitan melalui Twitter diambil dari sekitar setengah juta akun media sosial.
O’Shannessy menambahkan, untuk membuat jajak pendapat lebih akurat, lembaga survei Australia dapat melobi pemerintah untuk mendapatkan akses basis data nomor publik terpadu (IPND). IPND memiliki semua nomor telepon yang terdaftar ataupun tidak untuk digunakan dalam keadaan darurat atau penegakan hukum. (Reuters/AFP)