China Dorong Perkawinan Antaretnis di Xinjiang, Sistem Ujian Masuk PT Diubah
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
AFP/JOHANNES EISELE
Dalam foto 26 Juni 2017 ini, terlihat seorang Muslim berjalan menuju Masjid Id Kah untuk menunaikan shalat Idul Fitri di Kota Kashgar, Provinsi Otonom Xinjiang, China. Pemerintah setempat telah membuat aturan baru dalam penerimaan mahasiswa baru yang memberikan peluang lebih besar bagi pendaftar yang lahir dari perkawinan antaretnis.
Pemerintah Otonom Xinjiang, China, telah mengubah sistem ujian masuk perguruan tinggi di wilayahnya untuk memberikan peluang lebih besar bagi calon mahasiswa yang orangtuanya bukan pasangan dari satu etnis yang sama. Dalam pemberitahuan secara daring pekan lalu, Pemerintah Xinjiang menyosialisasikan aturan baru dalam sistem penerimaan mahasiswa baru yang memberikan bonus nilai lebih besar pada calon mahasiswa yang lahir dari perkawinan antaretnis.
Sementara calon mahasiswa yang lahir dari perkawinan satu etnis mendapat bonus nilai yang lebih kecil. Dengan demikian, peluang masuk pendaftar yang orangtunya berasal dari dua etnis berbeda menjadi lebih besar.
Menurut Profesor James Leibold di La Trobe University yang mempelajari hubungan etnis dan kebijakan di China, pemerintah China percaya bahwa "perkawinan antaretnis adalah kunci utama untuk mempromosikan kohesi nasional dan asimilasi etnis Uyghur dan etnis minoritas lainnya di negara China.”
Perubahan dalam sistem ujian masuk perguruan tinggi di Xinjiang itu bukanlah yang pertama kali pemerintah China memberikan insentif pada perkawinan antaretnis. Pada tahun 2014, Qiemo, salah satu daerah di Xinjiang, dilaporkan memberikan insentif 10.000 yuan atau sekitar 1.450 dolar AS selama lima tahun pertama pada siapa saja yang melakukan perkawinan antaretnis. Perkawinan antaretnis ini didefinisikan sebagai satu calon mempelai dari etnis Han dan satunya dari salah satu etnis minoritas yang ada.
"Pengambil kebijakan dan sosiolog di China telah lama percaya bahwa perkawinan antaretnis adalah sarana utama untuk kohesi sosial dan integrasi nasional,” jelas Leibold.
AFP/GREG BAKER
Dalam foto yang diambil 15 April 2015 itu, warga berpasangan menari di lapangan Tuanjie di Hotan, Provinsi Otonom Xinjiang, China. Pemerintah China memberikan insentif pada perkawinan antaretnis sebagai bagian dari upaya kohesi nasional dan asimilasi antaretnis.
Namun, data statistik tahun 2010 menunjukkan, baik warga etnis Uyghur maupun Han selama ini cenderung menikah dengan sesama etnis. Hanya 0,2 persen warga etnis Uyghur menikah dengan etnis Han.
Konflik panjang
Xinjiang adalah provinsi otonom terbesar di China dengan luas 1,8 juta kilometer persegi atau seperenam wilayah China. Dari 21 juta penduduknya, mayoritas warga provinsi itu adalah warga etnis Uyghur (45,8 persen). Mereka serumpun dengan bangsa Turki yang bermigrasi ke wilayah barat laut Mongolia. Selain ditandai dengan bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa mayoritas etnis di China, etnis Uyghur adalah etnis beragama Islam terbesar di China.
Dalam sejarahnya, Xinjiang diwarnai konflik panjang yang berkaitan dengan munculnya gerakan separatis. Pemberitaan tentang gerakan separatis dan persekusi warga Uyghur sudah bertahun-tahun mewarnai kisah tentang Xinjiang di media barat.
AFP/JOHANNES EISELE
Dalam foto 26 Juni 2017 ini, terlihat umat Muslim berjalan menuju Masjid Id Kah untuk menunaikan shalat Idul Fitri di Kota Kashgar, Provinsi Otonom Xinjiang, China. Pemerintah setempat telah membuat aturan baru dalam penerimaan mahasiswa baru yang memberikan peluang lebih besar bagi pendaftar yang lahir dari perkawinan antaretnis.
Sebagai salah satu usaha meredakan kekerasan yang marak di tahun 2014, Pemerintah China menempatkan warga Uyghur di "pusat-pusat pendidikan kejuruan” di mana warga yang berbahasa Turki diajarkan bahasa Mandarin dan keterampilan kerja untuk menjauhkan mereka dari paham ekstremisme.
Pada Februari 2019, Kompas berkesempatan mengunjungi Provinsi Otonom Xinjiang, terutama di wilayah yang dihuni etnis Uyghur, bersama sejumlah perwakilan ormas Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
”Selain untuk bersilaturahmi dengan sesama umat Muslim, kunjungan ini juga merupakan respons kami atas berbagai informasi dan tudingan persekusi, penindasan, serta pembatasan kebebasan beragama yang dialami umat Muslim Uyghur di Xinjiang. Semoga kami mendapatkan fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Muhidin Junaedi dalam pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk China Jauhari Oratmangun di Beijing, Selasa (20/2/2019) malam.
Menurut Muhidin, MUI tidak mau terburu-buru bersikap dalam isu-isu menyangkut Uyghur sebelum ada klarifikasi. ”Jangan sampai kita mudah terpengaruh oleh informasi dari media barat. Upaya melakukan konfirmasi direspons oleh Pemerintah China dengan mengundang MUI dan ormas Islam untuk berkunjung ke Xinjiang," ujar Muhidin.
”Kami berharap bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama. Sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, secara moral kita wajib membantu mereka jika memang ada masalah,” lanjut Muhidin.
Isu separatisme
Secara terpisah di Beijing, Wakil Ketua Asosiasi Muslim China Abdul Amin Jin Rubin membantah adanya pembatasan kebebasan beragama dan halangan, baik dalam melakukan ibadah maupun syariat Islam, bagi umat Islam di Xinjiang, provinsi otonom di sebelah barat China, seperti diberitakan media barat. Terjadinya kekerasan dan bentrokan antara pemerintah dan sebagian warga Uyghur tidak menyangkut prinsip-prinsip kebebasan beragama.
”Yang terjadi adalah upaya pemerintah menghadapi sebagian orang yang bukan cuma melakukan gerakan separatis, melainkan juga melakukan aksi radikal, ekstrem, dan kegiatan terorisme,” ujar Abdul Amin ketika menerima wartawan dari Indonesia dan Malaysia di kantornya di Beijing.
Aksi terorisme yang diklaim sebagai bentuk jihad, menurut Abdul Amin, menunjukkan ada kesalahan interpretasi atau penyelewengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. ”Islam tidak mengajarkan kita melakukan pengeboman demi memperjuangkan sesuatu. Islam juga tak membenarkan kita untuk bunuh diri. Itu kesalahan menafsirkan Islam yang justru harus kita perbaiki bersama. Tafsir Islam yang damai dan toleran itulah yang sedang dikerjakan dan disebarkan oleh para imam dan ulama di China,” ujar Abdul Amin.