Bikon Blewut, Ungkap Jejak Peradaban Flores yang Tersembunyi
Berada di dalam kompleks Seminari Tinggi Ledalero, Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Museum Bikon Blewut menyimpan cerita besar jejak peradaban Flores.

Museum Bikon Blewut di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/5/2019). Museum ini menjadi acuan penelitian tentang kehidupan masa lalu manusia, fauna, dan flora di Flores.
Berada di dalam kompleks Seminari Tinggi Ledalero, Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Museum Bikon Blewut menyimpan cerita besar jejak perabadan Flores. Mulai dari koleksi benda-benda zaman Paleolitikum (zaman batu tua) sampai koleksi seni-budaya masyarakat Flores pada zaman perunggu.
Bikon Blewut berada sekitar 25 kilometer arah barat Maumere. Dalam bahasa Sikka-Krowe, bikon blewut artinya kekayaan budaya yang tersembunyi. Peran para misionaris Katolik Konggregasi Serikat Sabda Allah (SVD) di balik keberadaan museum di Ledalero ini sangat besar.
Sesuai arti ledalero dalam bahasa Sikka, ”tempat matahari bersandar”, tempat ini adalah pusat pembinaan dan pendidikan para misionaris dan pastor pribumi SVD. Keberadaan benda-benda purbakala ini menjadi referensi para misionaris Flores dan calon misionaris serta imam pribumi agar lebih menghayati dan memahami budaya lokal, tempat di mana mereka mengabdi.
”Museum ini lebih pantas disebut museum misi katolik dan budaya Flores. Misionaris SVD menekankan pentingnya penghormatan terhadap budaya-budaya lokal, sebagai bagian dari perwujudan karya Tuhan,” kata Kepala Museum Bikon Blewut, Pastor Ansel Dore Dae SVD, di Ledalero, Maumere, Sabtu (18/5/2019).

Kepala Museum Bikon Blewut Pastor Ansel Dore Dae SVD. Museum milik misionaris SVD ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Flores dan dunia pengetahuan kepurbakalaan. Butuh perhatian semua pihak.
Ansel mengatakan, para misionaris ini memiliki minat di bidang antropologi–budaya, etnologi, etnografi, dan linguistik. Selain menjalankan misi sebagai pelayan umat saat itu, mereka melakukan sejumlah penelitian. Hasil penelitian itu dikumpulkan dan didokumentasikan secara ilmiah sistematis oleh Pastor Piet Petu SVD (alm), selaku sejarawan, peneliti dan kepala Museum Bikon Blewut periode 1983-1998.
Peran siswa Seminari Ledalero juga vital. Mereka ikut meneliti daratan Flores dan Lembata. Rupa-rupa hal mereka dapatkan bersama para misionaris, seperti 60 goa berisi benda-benda purbakala, porselen dari China, dan moko terbuat dari perunggu yang diduga dari Vietnam.
Hasil-hasil temuan itu dipublikasikan di Jurnal Anthropos dalam bahasa Jerman antara 1956-1960 dan dilaporkan di Balai Budaya di Jakarta periode 1965-1975. Nama Paul Arndt SVD, W Kopper SVD, M Guisinde SVD, Vroklage SVD, dan Pastor Jilis Verheijen SVD, yang berkarya di Flores sejak 1920-1970, menjadi pendamping dan peneliti hebat di balik semua itu.

Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Flores. Di sini, para calon misionaris Serikat Sabda Allah dibina dan diutus ke seluruh dunia. Mereka harus belajar memahami dan menghormati peradaban atau budaya masyarakat di setiap negara, tempat mereka berkarya.
Salah satu tokoh pentingnya adalah Theo Verhoeven SVD. Di tangan dia, museum ini awalnya berdiri tahun 1965 di Seminari Menengah Todabelu, Ngada. Baru tahun 1976, Pastor Guus Cremmers SVD, dosen kesenian dan filsafat sastra di STFK Ledalero, memindahkan hasil temuan para misionaris sebelumnya dari Todabelu ke Ledalero.
Sebagai peneliti, Verhoeven juga piawai. Tahun 1950, Verhoeven mengumpulkan 150 kapak dan beberapa alat neolitik lain, sebagai alat-alat kebudayaan neolitikum (zaman batu muda). Ia menemukan alat-alat ini dari tangan penduduk lokal, bekas-bekas kampung tua, dan di dalam goa-goa batu.
Tahun 1950-1960, Verhoeven memimpin tim ekspedisi I, terdiri dari para siswa seminari melakukan penggalian dan penelitian di sejumlah goa batu di wilayah Flores. Penggalian dilakukan secara sistematis, berhasil menemukan tulang belulang dan tengkorak manusia purba Flores serta alat-alat batu.
Baca juga: Situs Goa Liang Bua Flores Menunggu Sentuhan Kreatif
Verhoeven menyimpulkan, kerangka manusia purba itu sebagai manusia proto-negrito. Sementara alat kebudayaan mereka flake dan blade, yakni mata panah, mata tombak, ketam, serut, alat tusuk, dan mata pisau. Semua ini terbuat dari batu-batu, tulang, tanduk, dan kulit kerang.
Tim ekspedisi juga menemukan peninggalan kebudayaan Tionghoa seperti Porselen dan mata uang. Setelah dianalisis, ternyata benda-benda itu berasal dari periode Dinasti Ming dan Dinasti Han. Pengaruh perdagangan Tionghoa pada masa dua dinasti ini pernah ada di Flores.
Dari sejumlah mata uang itu, terdapat satu mata uang koin tertua, pada salah satu sisi tertera gambar wajah Alexander Agung. FA Loefken, ahli numismatik, menyebutkan, mata uang itu pernah digunakan sebagai alat pembayaran di Persia (336-323 SM) dan di Hindia Timur (327-325 SM). Ini membuktikan Alexander Agung pernah menaklukkan dan menguasai wilayah jajahannya sampai ke Hindia Timur, abad IV.
Ekspedisi di bagian Flores barat, dilanjutkan ke Flores tengah (Ngada, Ende, Lio dan Sikka). Ditemukan jejak-jejak kebudayaan Dongson dari zaman Perunggu di Kampung Menge, Ngada, berupa keris dan golok. Profesor Heine Geldern dari Universitas Utrecht, Belanda, menyebut penemuan itu sangat istimewa karena keris Dongson, satu-satunya keris ditemukan di Indonesia.

Tulang belulang, tengkorak, dan kerangka manusia purba tersimpan di dalam kaca di museum Bikon Blewut. Listrik tidak boleh dinyalakan, cahaya kamera pun dikurangi guna menjaga kelestarian benda-benda di dalam museum.
Tim ini juga menemukan tiga kapak perunggu di Kampung Guru, Sikka. Orang-orang tua setempat menyebut kapak itu datang dari seberang lautan dan memiliki kemampuan sakti, yakni menangkal setan dan perampok serta mendatangkan hujan. Nekara perunggu, disebut Moko, banyak ditemukan di Alor.
Selain itu, penggalian dari tim ekspedisi I juga menemukan tengkorak, tulang beluang, dan rahang manusia di goa-goa batu. Temuan ini kemudian dikirim ke Universitas Utrecht. Para ahli di universitas ini menyimpulkan bahwa kerangka manusia itu berasal dari ras negrito dan proto-negrito.
Dalam ekspedisi II (1955-1960), banyak ditemukan tulang belulang fauna raksasa sebagai sisa dari makanan manusia saat itu. Tikus raksasa, landak, babirusa, kijang, anjing, lembu, kera, kalong, serta jenis-jenis kerang dan siput. Jenis-jenis binatang ini adalah makanan dari manusia penghuni goa. Manusia saat itu sebagai pemburu binatang di darat dan di laut.
Tim Verhoeven II juga menemukan fosil sejenis stegodon pada lapisan prehistoris di daratan Ola Bula dan Mangeruda, Ngada. Temuan ini disebut Dr Hooeyer sebagai Stegodon trigonochepalus florensis. Fosil stegodon ini ditemukan di sebuah sungai sepanjang 10 km di lapisan tanah setebal 3 meter. Bentuk stegodon Flores ini lebih kecil dibanding stegodon di Jawa.
Baca juga: Padang Purbakala di Bumi Indonesia
Penemuan stegodon ini mengguncang teori garis Wallace, agar segera direvisi atau dikaji ulang. Wallace menyebut batas antara fauna Asia dan Fauna Australia berjajar antara Kalimantan dan Sulawesi terus ke selatan, antara Bali dan Lombok. Dengan temuan stegodon Flores ini, ternyata Pulau Flores pun termasuk daerah fauna Asia. Kemungkinan, batas fauna Asia semestinya lebih ke timur lagi.

Stegodon yang ditemukan di Mangeruda, Ngada, ribuan tahun silam, disimpan di dalam museum Bikon Blewut. Ini mematahkan teori Wallace yang menyebut stegodon tidak sampai di Flores.
Temuan terbaru, 11 Juli 1998, tim ekspedisi museum Ledalero menemukan satu fosil tengkorak manusia raksasa di Lia Natanio, Ngada, terletak sekitar 12 km dari temuan fosil-fosil stegodon. Kemungkinan fosil tengkorak ini memiliki hubungan dengan fosil binatang stegodon.
”Semua temuan ini tersimpan rapi dan sistematis di dalam Museum Bikon Blewut. Untuk menjaga benda-benda bersejarah ini, kami tidak nyalakan lampu listrik di dalam museum. Kami sedang berjuang mencari dana membeli lampu khusus untuk museum,” kata Ansel.
Untuk menjaga benda-benda bersejarah ini, kami tidak nyalakan lampu listrik di dalam museum. Kami sedang berjuang mencari dana membeli lampu khusus untuk museum.
Aset tak ternilai ini bukan hanya milik STFK Ledalero atau SVD, melainkan masyarakat Flores khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ini koleksi keberagaman sejarah peradaban di Indonesia.
Sekretaris Museum Bikon Blewut Endi Padji mengatakan, ada ribuan koleksi museum ini. Ia mengatakan, ada 303 fosil manusia purba, fauna goa Flores setingkat sub-fosil (478 buah), dan fauna daratan Flores setingkat fosil (7.695 buah). Selain itu, ada juga alat-alat kebudayaan Dongson Flores (66 buah), alat kebudayaan mesolitikum Flores (6.482 buah), dan alat kebudayaan neolitikum Flores (6.064 buah).
Dalam kurun waktu 1993-2018, museum ini telah dikunjungi 40.520 pengunjung. Tercatat ada wisatawan dari 32 negara datang ke museum. Sebagian pengunjung memiliki tujuan khusus, yakni penelitian dan pengambilan data (informasi) untuk tugas akhir di perguruan tinggi, studi doktor, dan profesor bidang antropologi serta budaya.
Mahasiswa STFK Ledalero dan mahasiswa lain di sekitarnya pun memanfaatkan museum ini untuk menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Museum ini cukup lengkap menyediakan berbagai peninggalan masa lalu Flores, sejak zaman Peleolitkum sampai dengan zaman perunggu, zaman fosil-fosil tua.
”Inilah jejak peradaban masa lalu Pulau Flores. Melihat masa lalu Flores yang tersembunyi lewat Bikon Blewut,” kata Padji.