Mendulang dengan Daur Ulang Drum
Drum bekas yang tak dimanfaatkan bisa jadi hanya akan berkarat di sudut gudang. Dengan sentuhan tangan kreatif, drum bekas bisa diolah jadi produk bernilai, bahkan dijual ke luar negeri.
Drum atau tong besi bekas yang tidak dimanfaatkan bisa jadi hanya akan berkarat di sudut gudang atau pekarangan. Dengan sentuhan tangan kreatif dan naluri bisnis, drum atau tong bekas dapat diolah menjadi produk bernilai jual. James Silalahi membuktikannya.
Semua berawal dari keinginan James Silalahi, pemilik usaha T Vintage and Recycled Iron, mendaur ulang sejumlah material bekas, mulai dari kayu, besi, atau barang rongsok lain. Hasil kreasinya terjual hingga ke luar negeri.
Setelah sempat mencoba-coba, dia akhirnya memutuskan untuk mendaur ulang drum bekas. Apalagi, dari sisi warna saja, drum bekas punya kekuatan. ”Terbukti, para pembeli di Eropa suka dengan warna asli material, termasuk nama merek yang masih tertera di drum bekas itu,” kata James ditemui di Indonesia International Furniture Expo di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, pertengahan April 2019.
Kesan material baja tahan karat atau aluminium pun dapat ”dimainkan” dengan membalik lembaran drum. Jadi, bagian dalam drum yang polos ada di sisi luar, sedangkan bagian drum yang berwarna atau bertuliskan merek ada di sisi dalam. Melalui cara ini, James membuat peti yang seolah berbahan baja tahan karat atau aluminium.
Para pembeli di Eropa suka dengan warna asli material, termasuk nama merek yang masih tertera di drum bekas.
Pembeli di Eropa menyukai warna drum apa adanya untuk menunjukkan produk itu benar-benar barang daur ulang. James pun menemukan ruang yang memungkinkannya mencari uang sekaligus mendaur ulang drum untuk mengurangi sampah.
James berkisah, dirinya mengawali usaha tahun 2011. Bengkel kerja ada di Yogyakarta dengan dua pekerja, yakni tukang yang membikin dan mengelas produk. ”Modal awal untuk berproduksi sekitar Rp 15 juta dan volume pengerjaan masih kecil. Ditambah biaya sewa ruang pajang kecil di Jepara Rp 3,5 juta per tahun. Alat masih sederhana. Kompresor juga kecil-kecil waktu itu,” ujar James.
Pemilihan Jepara sebagai lokasi toko pertama dilandasi pertimbangan banyak pembeli di sana. Istilahnya menjemput bola. Dia menawarkan produk langsung di lokasi calon pembeli berlalu lalang. Namun, saat itu produk dekorasi drum bekas seperti karya James masih tergolong baru dan terkesan aneh.
”Pasarnya boleh dibilang belum terbentuk. Meski pembelian mulai ada, tetapi masih sedikit. Jadi, dua tahun di Jepara, lalu saya tutup tokonya dalam kondisi rugi,” kata James.
James lalu mencari toko kecil di Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun dua pabriknya berlokasi di Jalan Imogiri dan Bangunjiwo, Bantul. Dia mulai lagi memajang produk daur ulang drum di Kasongan dan ternyata mendapat respons bagus.
Selain kesadaran soal lingkungan, gaya dekorasi yang bergeser ke tema industrial menciptakan pasar bagi produk dekorasi drum daur ulang.
Pembeli mulai banyak mengenal produk drum daur ulang berupa mebel, lemari, rak, sofa, kap lampu, meja kopi, topeng, dan aneka dekorasi lain. Meningkatkan pengetahuan pembeli soal barang daur ulang berbarengan dengan gencarnya kampanye produk hijau di Eropa.
Selain kesadaran soal lingkungan, gaya dekorasi yang bergeser ke tema industrial pun menciptakan pasar bagi produk dekorasi drum daur ulang. ”Ketika konsep desain ruangan mereka itu industrial dan vintage, produk kami mendukung,” kata James.
Ekspor
Berbagai pernik dekorasi drum bekas karya James mulai mengisi hotel, restoran, dan galeri di Yogyakarta, Bali, Medan, Bandung, Bogor, dan Jakarta yang mengusung konsep tersebut. James pun memaksimalkan pemakaian material. Sekop dan cangkul bekas yang dipadu potongan sisa-sisa besi di bengkel, misalnya, dapat diolah menjadi hiasan serupa burung.
Logam tebal tutup drum disusun dan disambung menjadi hiasan berbentuk kupu-kupu. Potongan-potongan kecil logam dimanfaatkan untuk membuat topeng. Harga produk drum daur ulang James bervariasi mulai dari Rp 180.000 hingga Rp 8 juta per buah.
Tak hanya di pasar domestik, produk drum daur ulang James juga merambah pasar ekspor. Pembeli rutin kebanyakan dari Inggris, Perancis, dan Belanda. Ada pula pengiriman ke Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Pengiriman kontainer lewat Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah. ”Kapasitas ekspor kami saat ini 2 kontainer per bulan,” kata James.
Salah satu kesenangan James berkecimpung di bisnis daur ulang drum adalah mendapat masukan dari pembeli. Ada pembeli yang memiliki basis sebagai desainer memberi ide. ”Ada produk dengan sentuhan ide pembeli yang diproteksi khusus untuk pembeli tertentu. Namun, ada juga pembeli dan pemberi ide yang bilang: silakan Anda kembangkan sendiri. Jadi, banyak proses pembelajaran dari pembeli,” katanya.
Relasi baik dengan pembeli terus dibangun untuk mengembangkan ide. Apalagi saat ini kompetitor mulai banyak di Bali dan Yogyakarta. Alhasil, James setiap bulan minimal merilis tiga model baru. ”(Hal) Yang penting saya terus merilis model baru. Itu modal kami. Kami percaya dengan bertahan di jalur ini pembeli akan tetap memprioritaskan kami,” kata James.
Selain mengandalkan pemasok, James rajin mencari drum-drum bekas ke bengkel.
Pembeli, apalagi dari luar negeri, yang mengeluarkan banyak uang untuk akomodasi tentu tak mau buang waktu untuk mendatangi ruang pamer yang tak punya model baru. ”Agar kami menjadi prioritas kunjungan, kami harus memberi model yang baru. Ini biar kami selalu ada di daftar tempat yang akan mereka kunjungi,” ujarnya.
Salah satu tantangan di bisnis daur ulang drum bekas adalah kenaikan harga material. Saat harga besi di pasaran naik, pemasok yang sebelumnya menjual drum dalam hitungan per buah pun memilih menjualnya per kilogram.
Oleh karena itu, selain mengandalkan pemasok, James rajin mencari drum-drum bekas ke bengkel. Biar 1 atau 2 drum pun dia beli. James juga tidak bisa serta-merta menaikkan harga jual produk mengikuti harga material. Apalagi saat ini dia sedang berada pada tahap meluaskan pasar.
Pembeli rutin pun sudah ada. James harus menjaga kontinuitas. Karyanya bahkan sudah ada yang masuk katalog pembeli tahun 2020. Artinya, pembeli pun sudah mempersiapkan harga.
”Ada pembeli yang bilang bahwa kami bisa kasih harga mahal, tetapi kami belum memutuskan produk kami adalah produk seni, kami masih butuh volume. Repot kalau jadi produk seni, tetapi penjualannya sedikit sebab kami harus menghidupi 24 tukang las,” kata James.