Literasi Terhambat Minimnya Akses Buku dan Budaya Membaca
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Minimnya akses ke buku bacaan dan rendahnya budaya membaca merupakan kendala bisa tercapainya tingkat literasi membaca. Untuk itu, ketersediaan buku yang banyak dan bermutu untuk sekolah dan taman bacaan masyarakat harus terjamin.
"Memiliki minat membaca saja tidak cukup karena masih berupa potensi yang belum terwujud. Butuh ketersedian buku dan pembiasaan membaca," kata peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjak Kemdikbud) Lukman Solihin dalam peluncuran Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) 34 Provinsi di Jakarta, Jumat (17/5/2019). Acara itu bertepatan dengan Hari Buku Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei.
Indeks garapan Puslitjak Kemdikbud itu mengukur empat dimensi terkait tercapainya literasi membaca di masyarakat tiap provinsi, yaitu dimensi kecakapan meliputi melek huruf latin dan menempuh pendidikan. Dimensi kedua akses ke buku baik di perpustakaan, taman bacaan, dan penjual buku. Faktor akses juga mencakup kemampuan membeli surat kabar, majalah, dan tabloid.
Dimensi ketiga adalah alternatif, yakni ketersediaan jaringan internet dan kemampuan memakai gawai elektronik. Dimensi keempat ialah budaya yang melingkupi kebiasaan membaca artikel di media cetak dan elektronik, mengunjungi perpustakaan, serta memanfaatkan taman bacaan.
Dari skala 0-100, terungkap dimensi akses dan budaya masih rendah, yaitu hanya 23,09 poin dan 28,50 poin. Padahal, dari segi kecakapan memiliki poin cukup tinggi, yakni 75,92. Adapun untuk dimensi alternatif masih rendah dengan 40,49 poin. Apabila dihitung poin rata-rata, Indeks Alibaca Indonesia baru 37,32.
"Artinya, aktivitas literasi membaca rendah," kata Lukman. Indeks ini sejatinya berkorelasi dengan penelitian Perpustakaan Nasional di tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Adapun jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
Jakarta didapuk sebagai provinsi dengan indeks alibaca tertinggi, meskipun skornya baru 58,16 poin yang masuk pada kategori sedang (40,01 hingga 60 poin). Padahal, sebagai ibu kota negara dengan akses ke berbagai bahan bacaan, semestinya indeks alibaca minimal bisa masuk kategori tinggi (60,01 hingga 80 poin).
Secara keseluruhan, 24 provinsi berada di kategori sedang, 9 provinsi mendapat skor rendah, dan satu provinsi sangat rendah. Rencananya, Puslitjak Kemdikbud akan mengadakan penelitian untuk mengetahui indeks aliterasi tingkat kabupaten/kota.
Sistematis
Lukman menjabarkan, penyediaan buku dan bacaan lainnya merupakan tindakan yang harus dilakukan bersama oleh pemerintah setempat bersama komunitas. Mengaktifkan perpustakaan sekolah dan taman bacaan serta membiasakan masyarakat untuk mengunjunginya merupakan salah satu pendekatan yang dapat diambil.
"Sejauh ini, gerakan literasi paling terasa adalah di sekolah, meskipun bentuknya baru membaca selama 15 menit sebelum pelajaran di pagi hari. Belum diikuti dengan pemastian gerakan literasi juga berlangsung di rumah maupun lingkungan sekitar," ujarnya.
Gerakan literasi paling terasa adalah di sekolah, meskipun bentuknya baru membaca selama 15 menit sebelum pelajaran di pagi hari.
Hal serupa dikemukakan oleh pendiri Pustaka Bergerak Indonesia Nirwan Ahmad Ahmaloka yang menggerakkan literasi membaca di masyarakat Sulawesi Selatan. Masyarakat, terutama anak-anak umumnya senang ketika mendapat buku baru.
Permasalahannya adalah buku-buku yang diakses tidak bermutu dalam artian bukan berupa buku yang mengembangkan imajinasi, memiliki tutur dan kosa kata yang baik, atau pun memberi inspirasi. "Banyak buku yang tidak tepat sasaran. Misalnya, semestinya untuk anak SD malah diberi sumbangan buku-buku teks," ujarnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Totok Suprayitno dalam penutupannya mengatakan, literasi membaca adalah pintu masuk ke literasi-literasi lainnya. Apalagi, kendala kini adalah, siswa langsung menyerah tidak mau membaca saat diberi teks panjang dengan alasan pusing.