Sejumlah petambak di daerah pesisir Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, mengeluhkan dampak tambang yang beroperasi di sekitar lingkungan mereka. Sebab, debu dari kendaraan, lumpur dari jalan, serta sejumlah residu lain ditengarai menjadi penyebab menurunnya produktivitas ikan dalam tambak.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS-Sejumlah petambak di daerah pesisir Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, mengeluhkan dampak tambang yang beroperasi di sekitar lingkungan mereka. Sebab, debu dari kendaraan, lumpur dari jalan, serta sejumlah residu lain ditengarai menjadi penyebab menurunnya produktivitas ikan dalam tambak.
Zulkarnain (41), petambak di Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala, mengungkapkan, kini ia tidak lagi mengurusi tambak yang ia miliki. Menurutnya, memanfaatkan semua tambak miliknya berarti membutuhkan modal yang cukup besar, sementara hasil panen tidak seberapa.
“Terakhir tebar 5.000 ekor bibit bandeng, hasilnya cuma 800 kilogram. Padahal biasanya dari total bibit yang disebar, paling minimal 2 ton ada. Ini jauh dari biasa. Makanya kita tidak urusi lagi semua,” ucapnya, pekan lalu saat ditemui di tambak miliknya.
Ayah tiga anak ini memiliki lebih dari sepuluh petak tambak di wilayah ini. Saat ini ia hanya memanfaatkan dua petak tambak milimnya.
Ia menceritakan, sebelum tambang masuk, sekitar lima tahun lalu, hasil bandeng, udang, kepiting, di tambaknya sangat membantunya. Dalam setahun, ia biasanya tiga kali panen dengan hasil yang sangat memuaskan. Satu petak tambak bisa menghasilkan hingga 1 ton bandeng.
Saat ini, tambah Zulkarnain, produktivitas di tambak jauh berkurang. Dampak paling terasa dialami sejak setahun terakhir. Ukuran bandeng, misalnya, juga tidak lagi sama dengan sebelumnya. Satu ekor bandeng dahulu bisa mencapai 700 gram hingga 1 kilogram. Saat ini, satu ekor bandeng maksimal 500 gram. Padahal, waktu pengembangbiakan bandeng telah dilipatgandakan.
“Kalau dulu cuma tiga bulan setelah dipindah sudah bisa dipanen, sekarang bisa lima sampai enam bulan. Kami curiganya dari lumpur, juga debu di sini. Lihat saja airnya sudah kuning, terus tidak bau lumut lagi,” jelasnya.
Air di tambak memang terlihat kekuningan. Bau lumut khas tambak juga tidak lagi tercium.
Kalau dulu cuma tiga bulan setelah dipindah sudah bisa dipanen, sekarang bisa lima sampai enam bulan. Kami curiganya dari lumpur, juga debu di sini. Lihat saja airnya sudah kuning, terus tidak bau lumut lagi
Petambak lainnya, Sulaiman (46), mengeluhkan hal yang sama. Terlebih lagi, tambak Sulaiman berbatas langsung dengan jalan tempat ratusan truk hilir mudik. Meski demikian, ia tetap berusaha agar tambaknya tetap bisa menghasilkan.
Terakhir kali ia menurunkan bibit 2.000 ekor ikan bandeng, hasilnya hanya sekitar 300 kilogram. “Kalau dulu minimal sekali dapat 500 kg Jika tebar segitu. Sudah tidak seperti dulu di sini,” ucapnya.
Turunnya produktivitas ikan, menurut Sulaiman, karena berubahnya kondisi air. Makanan ikan, lumut, tidak lagi tampak di empang. Ia beberapa kali mencoba menaburkan pupuk, tetapi lumut yang menjadi makanan ikan tidak juga tumbuh subur.
“Jadi ikannya kurus. Sebagian tidak bisa bertahan, maka cuma sedikit kalau panen,” tambahnya.
Sulaiman dan Zulkarnain adalah segelintir petambak di Desa Tani Indah yang tetap berusaha mengelola tambak miliknya. Di dekat tempat mereka, sebanyak puluhan hingga ratusan petak tambak warga tampak tidak lagi terawat. Tambak-tambak ini tersebar di tujuh desa di tiga kecamatan. Air tambak tampak berwarna kekuningan, dengan rumput tumbuh di sejumlah tempat.
Saat menyusuri jalan utama yang terus dalam pengerjaan, berpetak-petak tambak yang berada di kedua sisi jalan terlihat mengering. Hampir tidak ada tambak yang terlihat terawat atau terisi penuh air.
Debu dari truk yang hilir mudik membubung di udara. Truk-truk berbagai ukuran yang melintas setiap menit ini mengangkut hasil pengolahan di smelter menuju pelabuhan, atau sebaliknya.
Jalan utama selebar 16 meter ini merupakan jalan tanah yang sedang dalam pengerjaan. Pengecoran, lumpur ketika hujan, debu saat panas dari jalan maupun debu material yang dibawa truk, adalah bermacam-macam hal yang ditengarai masuk ke tambak-tambak warga.
Jalan tambang tersebut adalah jalan produksi milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI). PT VDNI adalah perusahaan pengolah nikel dengan kapasitas produksi smelter sebanyak 600.000-800.000 ton nickel pig iron per tahun dengan kadar nikel 10-12 persen.
Perusahaan anak usaha Jiangsu Delong Nickel Industry Co, Ltd dari China, ini telah berinvestasi 1,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 19,6 triliun yang diwujudkan dalam bentuk pabrik dengan 15 tungku rotary kiln-electric furnace (RKEF). Telah sekitar lima tahun perusahaan ini berdiri di wilayah ini.
Dihubungi terpisah, Kamis (16/5/2019), Kepala Teknik Tambang PT VDNI Wahyudi Agus Kristianto menjelaskan, pihaknya belum menerima laporan resmi mengenai kerusakan lingkungan akibat aktivitas pembangunan jalan atau tambang, khususnya terhadap tambang. Berbagai hal telah dilakukan perusahaan untuk meminimalisir dampak pembangunan dan aktivitas tambang.
“Jalan itu adalah jalan hauling untuk produksi dengan panjang 11 kilometer dari pabrik sampai jetty. Lebarnya 16-18 meter dan tingginya terus ditambah. Itu jalan beton, tapi kami selalu singkirkan lumpur dan betonnya, jadi untuk masuk ke tambak kemungkinannya kecil,” ucap Wahyudi.
Untuk debu, Wahyudi memang tidak bisa menafikkan. Debu dari pembangunan jalan bisa saja masuk ke tambak meski posisinya jauh dari jalan. Meski begitu, menurut Wahyudi, pihaknya terus melakukan penyiraman agar debu tidak bertambah parah.
“Sudah ada SOP-nya. Kalau dibilang produktivitas berkurang, perlu ditanyakan juga, apa karena cuma itu faktornya. Sudah banyak yang bekerja dengan kami, jadi mungkin (mereka) tidak fokus mengurus tambak,” tambahnya.
Agus Kurnia, Kepala Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo menjabarkan, debu dan Lumpur memang bisa berpengaruh besar terhadap kondisi tambak. Sebab, debu dan lumpur dalam rentang waktu yang lama dapat mengakibatkan pendangkalan, berkurangnya cahaya, yang kemudian berujung pada produktivitas dan bentuk fisik hewan di tambak.
Sudah ada SOP-nya. Kalau dibilang produktivitas berkurang, perlu ditanyakan juga, apa karena cuma itu faktornya. Sudah banyak yang bekerja dengan kami, jadi mungkin (mereka) tidak fokus mengurus tambak
Selain itu, berkurangnya cahaya akan berpengaruh terhadap perkembangan hewan di tambak, baik itu bandeng, udang, maupun kepiting. Agus juga menduga, berbagai residu lain kemungkinan telah masuk ke dalam tambak warga. Residu itu bisa berasal dari asap pembakaran pabrik, limbah yang tidak dikelola, dan lainnya.
“Perlu ada langkah pencegahan secepatnya agar tambak masih bisa dimanfaatkan,” tuturnya.
Editor:
Siwi Yunita
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.