Masyarakat Mudah Terhasut, Ada yang Salah dengan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan harus bebas dari unsur politik agar sesuai dengan tujuannya, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjawab tantangan zaman. Karena itu, pembangunan karakter berlandaskan Pancasila dalam pendidikan menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan tersebut.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan harus bebas dari unsur politik agar sesuai dengan tujuannya, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjawab tantangan zaman. Berkaitan dengan itu, pembangunan karakter berlandaskan Pancasila dalam pendidikan menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan tersebut.
Polarisasi dan keterbelahan di masyarakat semakin menguat setelah pemilihan umum menandakan adanya kelemahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh elemen bangsa bertanggung jawab untuk memperbaiki hal ini, terutama melalui bidang pendidikan.
”Pendidikan bukan hanya mencerdaskan bangsa, tetapi mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, melalui program pendidikan, terbentuk kehidupan bersama, saling menghargai perbedaan, dan menjawab tantangan perubahan zaman,” ucap Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Arief Rachman di Jakarta, Jumat (17/5/2019), dalam diskusi serial dan terarah tentang Pendidikan Mewujudkan Manusia Pembelajar Kreatif oleh Aliansi Kebangsaan dan Forum Rektor Indonesia.
Pancasila menjadi pegangan agar bangsa Indonesia dapat mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan ini tidak hanya menyongsong kemajuan teknologi, tetapi juga membangun bangsa yang beradab.
Arief mengatakan, masyarakat dewasa ini mudah terhasut dan terprovokasi. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan harus fokus pada proses pembelajaran maupun produk.
”Tidak boleh hanya fokus pada produk, seperti nilai ujian bagus. Pembentukan karakter, membangun mental spiritual, kreativitas, dan berwawasan global penting sekali. Selain itu, juga profesionalisme pendidik harus jadi perhatian,” katanya.
Menurut Arief, pembelajar kreatif tanpa karakter akan sangat berbahaya. Contohnya, banyak orang terdidik dan kreatif ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Orang-orang ini memiliki keahlian yang luar biasa, tetapi digunakan untuk memanipulasi, mencuri, dan berbohong.
Pembangunan karakter
Polarisasi dan keterbelahan juga berlangsung di dunia pendidikan. Hal ini berimplikasi pada suburnya eksklusivisme berbasis suku, agama, dan ras serta menguatnya intoleransi.
Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia periode 2001-2004 Manuel Kaisiepo mengatakan, perlu penyempurnaan dalam substansi dan metode pengajaran dalam pembentukan karakter.
”Pengajaran tidak lagi berupa hafalan-hafalan. Perlu pendekatan baru yang sesuai dengan era digital. Misalnya, literasi media terutama tentang komunikasi di era digital,” ucap Manuel.
Melalui literasi media, pelajar mengetahui dan memahami mekanisme serta tips dan trik ketika memanfaatkan media sosial. Hal ini penting agar mereka tidak mudah terkena manipulasi, kabar bohong, dan sebagainya.
Selain itu, menurut Manuel, upaya meningkatkan kesadaran tentang toleransi dan keberagaman harus melalui pengalaman langsung atau interaksi. ”Saling bertemu, berjumpa dalam ruang publik, dengan berbagai perbedaan sehingga tidak menghargai perbedaan,” ujarnya.
Sementara Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menambahkan, pendidikan menjadi benih harapan untuk menghadapi tantangan zaman. Pendidikan berlandaskan Pancasila akan mengembangkan manusia pembelajar yang berkarakter, kreatif dengan kemampuan tata kelola, dan kepemimpinan dalam upaya kebaikan hidup bersama.
”Manusia Indonesia yang kreatif menjadi potensi untuk mencapai kemakmuran bangsa,” ucap Pontjo.