Konflik di Pulau Seram, Maluku, antara warga Desa Latu dan warga Desa Hauloy serta antara warga Latu dan aparat kepolisian mereda. Aparat masih siaga di perbatasan kedua desa itu untuk mencegah bentrok susulan, termasuk penggunaan senjata api dan bom molotov. Sejumlah pejabat utama Polda Maluku ditugasi untuk menemui tokoh-tokoh setempat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Konflik di Pulau Seram, Maluku, antara warga Desa Latu dan warga Desa Hauloy serta antara warga Latu dan aparat kepolisian mereda. Aparat masih siaga di perbatasan kedua desa itu untuk mencegah bentrok susulan, termasuk penggunaan senjata api dan bom molotov. Sejumlah pejabat utama Polda Maluku ditugasi untuk menemui tokoh-tokoh setempat.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat, di Ambon, Jumat (17/5/2019), mengatakan, jumlah personel gabungan Polri dibantu TNI yang bertugas di perbatasan kedua desa itu lebih kurang 100 orang. Jika eskalasi konflik meningkat, akan dilakukan penambahan personel dari satuan terdekat.
Di tengah kondisi ini, sejumlah pejabat utama Polda Maluku diterjunkan Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa untuk menemui para tokoh, baik di Latu maupun Hualoy. Tujuannya untuk mengajak mereka berdamai. Pendekatan semacam itu memang sudah dilakukan beberapa kali, tetapi belum berhasil menghentikan konflik.
”Kami sangat berharap agar semua pihak mau duduk bersama membicarakan perdamaian. Konflik ini sangat menguras energi. Bahkan, banyak nyawa hilang. Mari di bulan Ramadhan ini kita memulai kembali merajut hubungan yang sempat terkoyak,” tutur Roem.
Kami sangat berharap agar semua pihak mau duduk bersama membicarakan perdamaian. Konflik ini sangat menguras energi.
Konflik antara warga Latu dan warga Hualoy sudah berlangsung bertahun-tahun. Hubungan kedua desa itu kembali memanas setelah terjadi penganiayaan warga Hualoy dengan pelaku diduga merupakan pemuda Latu. Penganiayaan itu terjadi di Ambon pada malam pergantian tahun 2018 ke 2019.
Akibatnya, warga kedua desa saling menebar ancaman. Jalan trans-Seram yang melalui kedua desa bertetangga itu diblokade menggunakan batu, kayu, dan mengecor beton di jalan. Akses yang menghubungkan tiga kabupaten, yakni Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, dan Maluku Tengah, itu berulang kali lumpuh.
Ketegangan itu lalu memuncak dengan konflik terbuka pada Februari 2019. Akibatnya, seorang warga Latu tewas. Tiga warga Latu lainnya juga terluka. Empat sekolah dan sejumlah rumah di Hualoy dan Tomalehu terbakar. Tomalehu berada di antara Latu dan Hualoy.
Setelah mereda, Latu dan Hualoy kembali tegang setelah sekelompok warga Latu menganiaya hingga tewas seorang warga Hualoy yang kebetulan terdampar bersama perahu motor di pesisir dekat Latu. Tewasnya warga Hualoy pada awal Mei lalu itu hampir memicu konflik terbuka. Untung saja dicegah aparat.
Pada Rabu (15/5), polisi berhasil menangkap salah satu pelaku penganiayaan itu. Warga Latu tidak terima dengan penangkapan itu lalu menyerang Markas Polsek Amalatu yang berada di Desa Latu. Kaca jendela pecah dan bangunan rusak di beberapa bagian. Begitu juga sejumlah kendaraan roda dua milik anggota kepolisian.
Senjata warga
Konflik dengan aparat itu berlanjut pada Rabu malam. Terjadi saling serang antara warga dan satu peleton Brigade Mobil. Bunyi bom dan tembakan terdengar. Seorang warga Latu tewas. Dua warga Latu lainnya terluka. Kendaraan milik Brimob rusak parah. Kedua pihak mengklaim diserang lebih dulu.
Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengatakan, penggunaan senjata api dan bom molotov oleh warga harus disikapi secara serius. Pemilik senjata harus ditindak. ”Aparat harus menyisir dan melucuti senjata semacam itu. Ini sangat berbahaya untuk keamanan,” katanya.
Aparat harus menyisir dan melucuti senjata semacam itu. Ini sangat berbahaya untuk keamanan.
Saat konflik terbuka pada Februari lalu, aparat menyita sejumlah senjata dari kedua desa, seperti 42 bom molotov, 44 bom pipa, 2 senjata rakitan, 2 alat pelontar bom, 7 anak panah, 1 peluru standar kaliber 5,56 milimeter, 1 parang, serta 122 liter campuran bensin dan minyak tanah untuk pembuatan bom molotov.
Pascakonflik sosial di Maluku, masih banyak warga yang menyimpan senjata api. Senjata itu berupa rakitan sendiri ataupun standar militer. Pada saat konflik, gedung penyimpanan senjata milik Brimob Polda Maluku sempat dibobol. Semua senjata yang ada di dalamnya dicuri.