Penjajakan kerja sama dengan Huayou dilakukan karena perusahaan itu telah berpengalaman di industri tambang, khususnya mineral cobalt, nikel dan lithium terintegrasi. Selain itu, Huayou juga diketahui telah sukses menjalankan hilirisasi tambang di China.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
QUZHOU, JUMAT - Perusahaan pertambangan, PT Inalum (Persero), tengah menjajaki kerja sama dengan produsen material baterai asal China. Kerja sama itu juga didorong pemerintah Indonesia agar perseroan dapat meningkatkan nilai tambah produk tambang tanah air dengan hilirisasi.
Direktur Utama Inalum Budi G Sadikin beserta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Jumat (17/5/2019), melakukan kunjungan kerja di China. Mereka menemui beberapa mitra kerja strategis, termasuk Zhejiang Huayou Cobalt Company Ltd, produsen material baterai untuk kendaraan listrik terbesar di dunia.
Kunjungan itu, antara lain juga turut didampingi Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan Kementerian BUMN Gatot Trihargo, Direktur Utama PT Antam Tbk Arie Ariotedjo, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, dan Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
Budi mengatakan, penjajakan kerja sama dengan Huayou dilakukan karena perusahaan itu telah berpengalaman di industri tambang, khususnya mineral cobalt, nikel dan lithium terintegrasi. Selain itu, Huayou juga diketahui telah sukses menjalankan hilirisasi tambang di China.
"Inalum secara agresif terus mencari mitra strategis yang bisa memberikan akses di bidang teknologi dan memiliki pengalaman yang mumpuni. Huayou merupakan salah satu mitra strategis yang ingin kami ajak kerja sama karena telah berpengalaman di industri hilirisasi tambang dan pernah bekerja sama dengan berbagai perusahaan kelas dunia," tuturnya.
Bangun pabrik
Budi menambahkan, Holding Industri Pertambangan melalui Inalum dan Antam juga berencana membangun pabrik berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) dan Rotary Kiln-Electric Furnace ( RKEF) lewat kerja sama dengan Huayou. Dua pabrik itu, menurutnya, bisa mendorong hilirisasi nikel menjadi bahan baku baterai litium.
Sejak pertengahan tahun 2018, Huayou juga dilaporkan telah berencana membangun smelter nikel di Indonesia untuk memenuhi permintaan nilel di industri baterai. Perusahaan tersebut akan menginvestasikan 1,83 miliar dollar AS di Indonesia. Untuk itu, saat ini mereka sedang mencari rekanan lokal.
“Semoga penjajakan ini dapat menghasilkan suatu kerjasama yang konkrit dengan Inalum untuk memajukan industri hilirisasi tambang di Indonesia,” kata Chen Xuehua, Presiden Direktur Huayou.
Mitra strategis
Pada kesempatan itu, Menteri BUMN mengatakan, penjajakan kerja sama dilakukan agar Holding Industri Pertambangan bisa memiliki mitra strategis dalam bidang teknologi dan pengembangan demi mempercepat realisasi hilirisasi tambang di Indonesia.
"Sektor tambang Indonesia memiliki potensi yang besar. Dengan menggandeng mitra strategis ini, Holding Industri Pertambangan Inalum bisa memiliki akses ke teknologi yang dibutuhkan untuk hilirisasi. Sehingga kedepannya industri pengolahan tambang domestik bisa berkembang dan memberikan lebih banyak nilai tambah. Dengan demikian, nilai ekspor produk tambang Indonesia bisa melesat," katanya.
Tidak hanya Inalum, Rini juga mendorong BUMN lain untuk meningkatkan hilirisasi produk di dalam negeri. Selain untuk meningkatkan nilai produk, hilirisasi juga akan menciptakan lapangan kerja baru.
“Kita harus bisa masuk ke Industri hilir. Ini bisa diwujudkan jika kita terus bersinergi dan berkomitmen bersama membangun Indonesia. Jika ada hilirisasi maka pencipatan lapangan pekerjaan pun semakin meningkat,” pungkasnya.