Riana A Ibrahim/J Galuh Bimantara/Helena F Nababan
·4 menit baca
Klausul perjanjian dalam Head of Agreement atau HoA dengan PT Aetra Air Jakarta pada 12 April 2019 berpotensi menimbulkan masalah hukum. Rencana penghentian privatisasi penyediaan air bersih dinilai belum serius dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi melalui tim Direktorat Pengaduan Masyarakat dan Penelitian Pengembangan menyoroti sejumlah masalah dalam pengelolaan air bersih di Jakarta berdasarkan informasi dan dokumen yang diperolehnya. Begitu pula paparan Tim Tata Kelola Air mengenai opsi penghentian privatisasi air di DKI Jakarta yang juga menunjukkan persoalan.
”Setelah KPK mendengar penjelasan Tim Tata Kelola Air di Pemprov DKI pada 10 Mei 2019, KPK dan Pemprov DKI akan mengagendakan pertemuan lanjutan untuk mengetahui kebijakan yang diambil terkait dengan penghentian privatisasi pengelolaan air bersih di Jakarta,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Rencana pertemuan, lanjut Febri, akan dilakukan sekitar Juni 2019. Selain untuk mengetahui kebijakan, KPK hendak melakukan klarifikasi dari pengaduan masyarakat terkait dengan berakhirnya kontrak pengelolaan air bersih antara PT PAM Jaya dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) pada 2023.
Berdasarkan paparan Tim Tata Kelola Air, diketahui privatisasi pengelolaan air bersih, sejak 1998 sampai dengan Desember 2016, PT PAM Jaya merugi Rp 1,2 triliun, sedangkan laba yang dibukukan pihak swasta Rp 4,3 triliun.
”Laba yang diperoleh pihak swasta ini dinilai berbanding terbalik dengan kinerja, target penyediaan air bersih, dan produksi air untuk DKI Jakarta yang tidak sesuai dengan yang diharapkan,” ujar Febri.
Laba yang diperoleh pihak swasta ini dinilai berbanding terbalik dengan kinerja, target penyediaan air bersih, dan produksi air untuk DKI Jakarta yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Sementara kerugian yang diderita PT PAM Jaya disebabkan terdapat beberapa klausul dalam perjanjian kerja sama yang memberatkan pemerintah. Salah satunya kesepakatan internal rate of return (IRR) 22 persen dan kewajiban pemerintah membayar defisit.
Tim Tata Kelola Air merekomendasikan beberapa skenario opsi kebijakan penghentian privatisasi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Terlebih lagi perjanjian yang ditandatangani pada 12 April 2019 antara Pemprov DKI Jakarta dan Aetra menyisakan masalah.
Salah satunya klausul perjanjian dalam HoA yang berpotensi menimbulkan masalah hukum, khususnya pemberian eksklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di DKI Jakarta. ”Klausul ini menunjukkan penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI,” ujar Febri.
Klausul ini menunjukkan penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI.
Sebab, mengacu pada Putusan Mahkamah Agung tahun 2017, klausul perjanjian harus dibuat untuk memberikan keuntungan maksimum dari aspek keuangan dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat DKI Jakarta.
Secara terpisah, Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan telah menolak klaim Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur DKI Jakarta dan cara pengambilalihan pengelolaan air lewat HoA yang justru merugikan keuangan negara.
”Hal ini terbukti sekarang, KPK memperingatkan gubernur karena langkah itu bermasalah secara hukum. Sekarang pun kerugian negara sudah nyata, KPK sebaiknya bertindak tegas,” kata Arief.
Menurut Arief, jika gubernur memiliki komitmen menghentikan privatisasi air Jakarta, langkah yang dilakukan harus tegas dengan memutus kontrak swasta. Karena masalah mendasarnya terletak pada kontrak kerja sama yang melanggar konstitusi, merugikan negara dan masyarakat selama hampir 20 tahun.
Lakukan uji tuntas
Pengacara publik Tommy Tobing, Kamis di Jakarta, mempertanyakan HoA perubahan kerja sama yang telanjur ditandatangani PAM Jaya dan PT Aetra terkait dengan pengambilalihan pengelolaan air di Jakarta oleh Pemprov DKI Jakarta. Padahal, uji tuntas atau due diligence belum dilakukan.
Pertanyaan ini mengemuka setelah pada pertengahan 2018 Anies Baswedan membentuk tim evaluasi tata kelola air Jakarta. Tim yang bertugas sampai dengan 10 Februari 2019 itu bertugas mengevaluasi pengelolaan air di Jakarta oleh dua mitra PAM Jaya, yaitu Palyja dan Aetra. Tim bertugas menyusun rekomendasi pengelolaan air Jakarta.
Tim sudah memaparkan hasil evaluasinya. Sejumlah opsi untuk pengambilalihan juga dipaparkan tim. Saat itu, tim menyebutkan langkah yang dipilih, yakni mekanisme perdata atau renegosiasi antara PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra. Renegosiasi bisa menghasilkan pembelian dua perusahaan swasta oleh DKI, perjanjian kerja sama untuk mengakhiri kontrak, atau pengambilalihan sebagian sebelum kontrak habis pada 2023.
Setelah paparan, tim diberi waktu satu bulan untuk mengevaluasi dan semestinya berlanjut dengan uji tuntas atas semua opsi untuk penghentian kontrak sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian kerja sama kedua mitra dengan PAM Jaya.
Namun, belum sampai ada uji tuntas, DKI Jakarta mengumumkan HoA antara PAM Jaya dan Aetra untuk mengganti perjanjian kerja sama yang ada.
Namun, belum sampai ada uji tuntas, DKI mengumumkan HoA antara PAM Jaya dan Aetra untuk mengganti perjanjian kerja sama yang ada.