Ancaman dari Pembunuh Diam-diam yang Makin Besar
Hipertensi bukan sekadar tekanan darah yang tinggi. Gangguan ini bisa membunuh seseorang secara diam-diam. Tanpa gejala khusus, hipertensi yang berlangsung lama bisa menjadi pintu masuk berbagai jenis penyakit yang lebih berat, seperti serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan kebutaan.
Hipertensi bukan sekadar tekanan darah yang tinggi. Gangguan ini bisa membunuh seseorang secara diam-diam. Tanpa gejala khusus, hipertensi yang berlangsung lama bisa menjadi pintu masuk berbagai jenis penyakit yang lebih berat, seperti serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan kebutaan.
Gaya hidup yang buruk menjadi pemicunya. Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk mengubah perilaku hidup menjadi lebih sehat masih sangat minim. Perlu intervensi terus-menerus dari lintas sektor agar terjadi perubahan pola perilaku.
Ancaman kesehatan ini semakin nyata tampak dari meningkatnya prevalensi penderita hipertensi di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, data prevalensi hipertensi dari hasil pengukuran tekanan darah pada penduduk usia 18 tahun ke atas sebesar 25,8 persen. Jumlah ini meningkat pada 2018 menjadi 34,1 persen atau sekitar 63 juta kasus hipertensi yang terdeteksi.
Dari jumlah itu, Kalimantan Selatan tercatat memiliki prevalensi tertinggi di Indonesia, yakni 44,1 persen, disusul Jawa Barat (39,6 persen), Kalimantan Timur (39,3 persen), dan Jawa Tengah (37,47 persen). Sementara prevalensi terendah ada di Papua sebesar 22,2 persen atau sekitar 484.000 penduduk.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie di Jakarta, Kamis (16/5/2019), mengatakan, pola perilaku tidak sehat sangat berpengaruh pada risiko munculnya penyakit tidak menular, termasuk hipertensi. Perilaku ini seperti kebiasaan merokok; konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan; kurang aktivitas fisik; serta stres yang tidak terkontrol.
”Masyarakat harus bertanggung jawab akan kesehatannya sendiri. Jika tidak sadar, upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan berdampak optimal. Penyakit tidak menular, seperti hipertensi, adalah investasi terburuk bagi bangsa. Bukan hanya tidak bisa mencapai bonus demografi, kondisi ini akan menjadi beban negara,” tuturnya.
Ia menambahkan, gaya hidup modern yang dimudahkan dengan teknologi membuat faktor risiko hipertensi semakin besar. Seseorang lebih mudah mendapatkan makanan tanpa harus berjalan kaki atau bepergian. Hal ini semakin membuat seseorang malas bergerak. Selain itu, pilihan makanan dengan kadar gula, garam, dan lemak tidak dibatasi juga sangat berpengaruh.
Pola hidup yang tidak sehat ini tampak dari sejumlah kebiasaan yang terdata. Sejak 2013, prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun) terus meningkat, yaitu 7,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 9,1 persen (Riskesdas 2018). Data proporsi aktivitas fisik yang kurang juga naik dari 26,1 persen pada 2013 menjadi 33,5 persen pada 2018. Begitu pula dengan tren peningkatan proporsi obesitas pada orang dewasa dari 14,8 persen (Riskesdas 2013) menjadi 21,8 persen (Riskesdas 2018).
Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia Ario Soeryo Kuncoro mengatakan, hipertensi adalah keadaan ketika tekanan gula darah lebih tinggi dari kondisi normal. Tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg. Adapun faktor risiko timbulnya hipertensi antara lain riwayat keluarga dan usia. Namun, faktor risiko yang paling banyak ditemukan karena pola perilaku yang tidak sehat.
Gaya hidup modern yang dimudahkan dengan teknologi membuat faktor risiko hipertensi semakin besar. Seseorang lebih mudah mendapatkan makanan tanpa harus berjalan kaki atau bepergian. Pilihan makanan dengan kadar gula, garam, dan lemak tidak dibatasi juga sangat berpengaruh.
Umumnya seseorang tidak sadar telah menderita hipertensi karena biasanya tidak ada keluhan khusus. Tidak jarang seseorang baru tahu memiliki hipertensi setelah terjadi komplikasi pada otak, mata, jantung, ginjal, ataupun pembuluh darah arteri perifer. ”Komplikasi yang bisa terjadi antara lain stroke, kebutaan, serangan jantung, gagal ginjal, dan trombosis pembuluh darah perifer,” katanya.
Berdasarkan Data Statistik Kesehatan Dunia WHO tahun 2012, hipertensi menyumbang 51 persen kematian akibat stroke dan 45 persen kematian akibat jantung koroner.
Untuk itu, deteksi dini menjadi sangat penting agar pengobatannya bisa lebih mudah dan tidak sampai menyebabkan komplikasi yang lebih serius. Hipertensi merupakan jenis penyakit kronis yang harus diobati seumur hidup. Konsumsi obat yang tidak teratur dapat memperburuk kondisi tubuh. Pola makan teratur dengan gizi seimbang mutlak diperlukan. Selain itu, tingkatkan pula aktivitas fisik yang aman.
”Yang paling penting juga adalah membatasi makanan tinggi garam dan natrium, maksimal 2.000 miligram per hari. Lakukan juga pemeriksaan rutin untuk deteksi dini jika ada komplikasi pada organ tubuh lain,” katanya.
Intervensi pemerintah
Cut menyatakan, komitmen pemerintah dalam pengendalian hipertensi ditunjukkan dengan masuknya penurunan prevalensi hipertensi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan telah mewajibkan pemerintah daerah untuk memenuhi hak dasar warga negara terkait 12 indikator SPM, termasuk bagi penderita hipertensi.
Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 juga menegaskan agar masyarakat melakukan upaya preventif dan pencegahan penyakit tidak menular. Caranya dengan deteksi dini faktor risiko, konsumsi buah dan sayur, tidak merokok, dan melakukan aktivitas fisik.
”Germas itu secara tegas dan jelas menjabarkan juga tugas tiap kementerian dan lembaga untuk mewujudkan masyarakat hidup sehat. Harusnya bisa diterjemahkan sampai ke tingkat paling dasar, mulai dari provinsi, kabupaten/kota, hingga desa. Namun, komitmen lintas sektor masih kurang,” ujar Cut.
Ia mencontohkan, peningkatan aktivitas fisik di masyarakat perlu didukung dengan fasilitas kesehatan ataupun ruang terbuka hijau yang baik. Namun, belum semua pemerintah daerah memiliki kesadaran untuk melakukannya. Selain itu, kepatuhan di kawasan bebas asap rokok. Masih saja ditemui kawasan bebas rokok yang tetap digunakan untuk merokok, seperti sekolah, kendaraan umum, dan fasilitas umum lain.
Pengendalian hipertensi lainnya juga dilakukan melalui pengendalian gula, garam, dan lemak (GGL) pada pangan olahan dan pangan siap saji melalui pencantuman informasi kandungan GGL pada produk. ”Untuk ini, industri saja masih susah mematuhinya. Pengawasan ada di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Namun, penegasan pada industri ada di Kementerian Perindustrian. Seharusnya secara tegas diberikan tanda khusus pada produk yang GGL-nya melebihi aturan,” katanya.
Cut menyampaikan, Kementerian Kesehatan berperan dengan meningkatkan promosi kesehatan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi tentang pengendalian hipertensi dengan perilaku cerdik atau cek kesehatan rutin, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dan gizi seimbang, istirahat cukup, serta kelola stres. Selain itu, meningkatkan pencegahan dan pengendalian hipertensi berbasis masyarakat dengan kesadaran diri sendiri melalui pengukuran tekanan darah secara rutin.
”Masalah penyakit tidak menular, seperti hipertensi, harus diselesaikan secara bersama-sama lintas sektor. Semua harus tegas, termasuk masyarakat itu sendiri. Sekarang ini kendalanya, masyarakat masih diberikan kemudahan untuk mendapatkan faktor risiko penyakit, seperti rokok dan makanan kurang sehat. Harusnya bisa dibatasi secara tegas,” ujarnya.