Perusahaan penyelenggara teknologi finansial bidang pinjam-meminjam antarpihak mengintegrasikan data debitor ke sebuah pusat data. Harapannya, pusat data ini dapat menjadi sumber rekam jejak peminjam bagi penyelenggara dalam menyalurkan kredit.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan penyelenggara teknologi finansial bidang pinjam-meminjam antarpihak atau peer to peer lending mengintegrasikan data debitor ke sebuah pusat data. Harapannya, pusat data ini dapat menjadi sumber rekam jejak peminjam bagi penyelenggara dalam menyalurkan kredit.
Berdasarkan data yang dihimpun, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menyebutkan, ada enam juta akun peminjam atau debitor. Sementara ada 113 penyelenggara teknologi finansial (tekfin) pinjaman yang tergabung di AFPI.
”Bisa saja satu orang memiliki lebih dari satu akun di lebih dari satu penyelenggara,” kata Kuseryansyah saat ditemui seusai konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Ekstremnya, lanjutnya, satu orang bisa memiliki 40 akun dengan penyelenggara tekfin pinjaman yang berbeda-beda. Karena itu, AFPI membentuk pusat data peminjam yang terintegrasi antarpenyelenggara.
Lebih penting lagi, integrasi data peminjam antarpenyelenggara ini menjadi sumber pertimbangan analisis risiko dalam keputusan pemberian pinjaman berdasarkan rekam jejak debitor.
Kuseryansyah mengatakan, integrasi data ini menunjang peninjauan rekam jejak debitor dalam proses mengajukan dan melunasi pinjaman di semua penyelenggara anggota asosiasi.
Integrasi data juga disusun berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), bukan akun, sehingga bersifat tunggal dan unik. NIK akan menunjukkan peminjam terdaftar di penyelenggara tekfin apa saja, jumlah pinjaman, serta riwayat waktu pelunasannya.
Kuseryansyah mencontohkan, perlakuan pemberian pinjaman kepada debitor yang memiliki riwayat pelunasan tepat waktu dan yang terlambat akan berbeda. Perlakuan berbeda juga akan diterapkan berdasarkan jumlah akun penyelenggara tekfin yang dimiliki debitor. Kedua aspek ini penting bagi penyelenggara dalam analisis risiko sebelum menyetujui penyaluran pinjaman.
Pusat data yang terintegrasi ini juga akan memusatkan daftar hitam debitor di lingkup penyelenggara tekfin pinjam-meminjam. Debitor yang terlambat melunasi pinjaman lebih dari 90 hari setelah tenggat akan masuk daftar hitam. Konsekuensinya, debitor tidak boleh meminjam dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kebijakan penyelenggara tekfin.
Integrasi data peminjam antarpenyelenggara ini menjadi sumber pertimbangan analisis risiko dalam keputusan pemberian pinjaman berdasarkan rekam jejak debitor.
Kuseryansyah menyatakan, pihaknya sudah mengomunikasikan pusat data peminjam ini kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari sisi standar yang berlaku, menurut dia, pusat data ini dapat memperkuat implementasi ISO 27001. Ke depan, daftar hitam ini dapat diintegrasikan dengan perkreditan perbankan.
Saat ini, anggota AFPI tengah mengintegrasikan data peminjamnya ke pusat data. Targetnya, migrasi dan integrasi data ini selesai 100 persen pada Agustus 2019. Pusat data penyelenggara tekfin pinjam-meminjam ini direncanakan sejak Desember 2018. Pelaksanaannya dimulai pada Februari 2019.
Sepanjang Januari-Maret 2019, Kuseryansyah menyebutkan, anggota AFPI telah menyalurkan pinjaman sebanyak Rp 33 triliun. Jika dilihat pada periode Januari-Februari 2019, pertumbuhan tahun berjalannya (year to date) telah mencapai 50 persen.
Dalam kesempatan yang sama, AFPI mengumumkan, ada empat usaha rintisan tekfin pinjam-meminjam yang telah mendapatkan izin dari OJK. Keempat usaha rintisan itu ialah PT Investree Radhika Jaya atau Investree, PT Indo Fin Tek atau Dompet Kilat, PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha, dan PT Creative Mobile Adventure atau Kimo.
”Prosesnya tidak mudah karena penyelenggara tekfin mesti menyesuaikan sistemnya dengan standar ISO 27001. Akan tetapi, tidak ada rasa keberatan karena izin ini menunjukkan penyelenggara tekfin bisa dipercaya. Penerbitan izin ini menjadi tonggak pembuktian kredibilitas bagi penyelenggara tekfin,” tutur Kepala Bidang Kelembagaan dan Hubungan Masyarakat AFPI Tumbur Pardede dalam konferensi pers.
Menurut Chief Executive Officer (CEO) Dompet Sunu Widyatmoko, izin yang didapatkan penyelenggara tekfin pinjam-meminjam merupakan batu lompatan penting. Hal ini menegaskan, penyelenggara yang taat asas dan mampu menyesuaikan diri dengan prinsip good governance practice menjadi kunci dalam keberjalanan industri keuangan yang baik.
Bagi CEO Investree Adrian Gunadi, mengantongi izin OJK meningkatkan kepercayaan dalam bermitra dan berkolaborasi untuk memperluas segmentasi pasar serta menjalin hubungan dengan investor penyuntik modal.
Ke depan, dia mengharapkan asosiasi dapat membentuk kelompok kerja yang fokus dalam perizinan OJK untuk memfasilitasi penyelenggara tekfin lainnya.
Adanya izin dari OJK, menurut CEO Amartha Andi Taufan, dapat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara tekfin sebagai kanal pinjaman dalam jaringan (online).
”Mengikuti standar perizinan yang ada menandakan sistem kami sudah sesuai dengan prinsip perlindungan konsumen dan pengelolaan keuangan publik. Ke depan, kami merasa percaya diri untuk bekerja sama dengan perbankan karena adanya izin dari OJK ini,” katanya.
Sementara itu, CEO Kimo Bernard Martian mengatakan, izin dari OJK dapat meningkatkan kepercayaan operator telekomunikasi sebagai mitra. Hal ini penting karena Kimo bergerak dalam pembiayaan usaha mikro penjualan pulsa yang sudah menjaring sekitar 10.000 pelaku usaha.