Penguatan Ketahanan Ekonomi Domestik Menjadi Prioritas
Implementasi kebijakan moneter Bank Indonesia tetap berorientasi pada upaya memperkuat ketahanan ekonomi domestik dari impitan global. Aturan makroprudensial pun diperlonggar untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan sembari tetap menjaga aliran masuk modal asing.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan moneter Bank Indonesia tetap berorientasi pada upaya memperkuat ketahanan ekonomi domestik dari impitan global. Aturan makroprudensial pun diperlonggar untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan sembari tetap menjaga aliran masuk modal asing.
Langkah tersebut merupakan hasil hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 15-16 Mei 2019 di Jakarta. Rapat ini memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending facility 6,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (16/5/2019), di Jakarta, menegaskan, keputusan itu sejalan dengan upaya menjaga stabilitas eksternal perekonomian Indonesia di tengah eskalasi ketidakpastian global. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang berlarut telah merambat hingga ke kanal perdagangan dan keuangan banyak negara di dunia.
”Dampaknya, ekonomi global diprediksi akan melambat. Proses pemulihan ekonomi global akan lebih lama dari perkiraan sebelumnya akibat ketidakpastian pasar keuangan kembali meningkat,” ujarnya dalam jumpa pers setelah Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis.
AS pada akhir pekan lalu menerapkan tambahan tarif, dari 10 persen menjadi 25 persen, atas barang-barang ekspor China ke AS senilai 200 miliar dollar AS. China pun langsung membalas dengan memutuskan menaikkan tarif atas produk AS senilai 60 miliar dollar AS mulai 1 Juni 2019.
Perry menilai, melambatnya pertumbuhan ekonomi global ditambah anjloknya sejumlah harga komoditas akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekspor dan perlambatan konsumsi. Dengan level suku bunga acuan saat ini, BI berharap investasi di pasar portofolio terjaga untuk memitigasi dampak negatif dari belum pulihnya kinerja ekspor akibat perlambatan ekonomi dunia.
BI mencatat, modal asing yang masuk ke Indonesia sepanjang tahun berjalan hingga awal Mei 2019 mencapai Rp 131,1 triliun. Dana tersebut berasal dari pembelian surat berharga negara (SBN) dan portofolio saham.
Pelemahan rupiah
Eskalasi perang dagang turut memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Mengacu pada kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, hingga 16 Mei 2019, rupiah telah melemah 1,45 persen ke level Rp 14.458 per dollar AS dibandingkan dengan periode pertengahan April 2019.
Menurut Perry, selain karena faktor perang dagang, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh peningkatan permintaan valuta asing untuk kebutuhan pembayaran dividen nonresiden pada triwulan II-2019.
”Ada repatriasi dividen yang terjadi di triwulan kedua, pada saat yang sama ketidakpastian global meningkat,” ujarnya.
Untuk menjaga agar rupiah tidak terus terdepresiasi, BI melakukan intervensi ganda, baik di pasar valuta asing (valas) maupun pembelian surat berharga negara (SBN), di pasar reguler untuk memastikan nilai tukar rupiah tetap stabil sesuai dengan fundamentalnya.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan, defisit neraca perdagangan Indonesia hingga 2,5 miliar dollar AS per April 2019 menjadi sentimen penghalang penguatan rupiah. Pada periode ini, nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar 12,6 miliar dollar AS, sementara nilai impor mencapai 15,1 miliar dollar As.
”Bertahannya suku bunga acuan di level 6 persen diharapkan mampu mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong permintaan domestik, mendorong peningkatan ekspor, serta merangsang aliran masuk modal asing,” ujarnya.
Sayangnya, analis Samuel Sekuritas, Muhammad Alfatih, menilai, gabungan sentimen buruk perang dagang dan defisit neraca perdagangan telanjur membuat investor asing jengah dan memutuskan keluar dari pasar modal. Berdasarkan data RTI Infokom, dalam sepekan terakhir investor asing telah mencatatkan aksi jual bersih mencapai Rp 3,74 triliun.
Imbas dari aliran modal asing yang keluar dari pasar modal, dalam sepekan terakhir Indeks Harga Saham Gabungan anjlok 4,89 persen hingga pada penutupan perdagangan Kamis (16/5/2019) berada di level 5.895,73. ”Situasi (gejolak pasar modal) saat ini jauh lebih buruk dari perkiraan analis,” ujarnya.
Ubah proyeksi
BI pun mengubah proyeksi sasaran defisit transaksi berjalan 2019, dari semula 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5 persen-3 persen terhadap PDB seiring dengan menguatnya tekanan di sisi ekspor. Sulitnya mengandalkan sumber ekspor, lanjut Perry, menjadi alasan revisi target.
Namun, revisi ini tidak akan mengurangi usaha BI untuk semakin kuat mengendalikan defisit transaksi berjalan bersama pemerintah. Perry menyatakan, bersama Kementerian Perdagangan, akan mendorong ekspor otomotif, mesin serta peralatan dan tekstil serta produk tekstil melalui pemotongan izin, penyederhanaan prosedur, dan pemberian intensif
”BI dan pemerintah akan berupaya mendorong investasi swasta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki defisit transaksi berjalan,” kata Perry.