JAKARTA, KOMPAS — Persatuan semestinya menjadi kunci agar Indonesia tidak terseret ke dalam perpecahan. Kekisruhan setelah pemilu bukanlah hal baru di Indonesia. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, mencatat hal itu di dalam pidato terakhirnya menjelang lengser.
”Rupanya orang mengira bahwa perpecahan di muka pemilu maupun di dalam pemilu selalu dapat diatasi nanti sesudah pemilu selesai. Hantam kromo saja memainkan sentimen! Tetapi, orang lupa bahwa ada perpecahan yang tidak bisa disembuhkan lagi. Ada perpecahan yang terus memakan, terus menggrantes, terus membadji dalam jiwa rakyat sehingga memecah-belah keutuhan bangsa sama sekali. Celaka bangsa yang demikian itu!” tulis Bung Karno dalam pidatonya, Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau Jasmerah (1966).
Pidato kenegaraan Bung Karno yang terakhir itu dibahas dalam sebuah diskusi di Perpustakaan Nasional RI, Rabu (15/5/2019), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah sejarawan Rushdy Hoesein, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Proklamator Bung Karno, Suyatno, dan penulis Roso Daras.
Suyatno menggambarkan, perpecahan yang sulit disembuhkan itu dalam sejarah. Ia menceritakan tentang Perang Babat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda abad ke-14. ”Butuh waktu sangat lama perang itu selesai. Artinya, perpecahan suatu bangsa akan lama sekali sembuhnya,” kata Suyatno.
Bung Karno dalam pidatonya itu mengkritik perangai elite politik dalam Pemilu 1955-1956. Dia menerangkan pertentangan tak kunjung habis antara pemerintah dan oposisi. Pertentangan ideologi antarpartai dan antargolongan.
”Nafsu individualisme dan nafsu egoisme bersimaharadjalela. Tubuh bangsa dan rakyat laksana merobek dadanya sendiri. Bangsa Indonesia menjadi a nation divided against itself,” tulis Bung Karno.
Indonesia pun kini belum genap satu bulan menggelar pemilihan presiden dan anggota parlemen. Hasil pemilu pun belum diumumkan, tetapi sejumlah gejolak telah muncul. Isu people power ditiupkan oleh sejumlah elite politik.
Telah muncul tudingan bahwa penyelenggara pemilu curang. Puncaknya pada Selasa (14/5), capres Prabowo Subianto menolak hasil penghitungan pemilu karena curang. Timnya mengidentifikasi sejumlah kecurangan.
Penyelenggara pemilu pun mempersilakan Prabowo membuktikan kecurangan itu. ”Bung Karno mengatakan waktu itu Indonesia mengalami badai ketidakdewasaan,” kata Suyatno.
Rushdy menambahkan, pidato itu jadi azimat bagi Indonesia menatap hari depan. Bung Karno, katanya, menyimpulkan bahwa republik akan menjumpai tahun-tahun lebih berat pada masa mendatang.
”Saya tidak tahu, silakan saja Anda menilai kondisi kita sekarang,” katanya.
Secara umum, pidato Bung Karno bertekad untuk mempertahankan garis politiknya. Setelah peristiwa 30 September atau gerakan 1 Oktober 1965, kedudukan Putra Sang Fajar itu dinilai goyah sebagai pemimpin revolusi. Ia mengaku masih kuat. Dalam catatan Suyatno, ada 89 kata ”revolusi” dan 50 kata ”sejarah” dalam pidato.
Kendati demikian, kata Roso Daras, sejumlah poin penting pada pidato itu masih relevan dengan hari ini. ”Contohnya pertikaian antarelite politik dan ancaman disintegrasi bangsa,” kata Roso.
Di atas semua itu, Soekarno, pemimpin besar revolusi, itu masih percaya Indonesia akan baik-baik saja sepanjang memegang persatuan. ”Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah persatuan, kesatuan, dan keutuhan.”