Warga di Kampung Bandan, Jakarta Utara menunggu kepastian hukum di lokasi kebakaran. Mereka meminta pemerintah provinsi mengalihkan status kepemilikan lahan di tempat itu menjadi milik warga. Warga juga menunggu bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah ratusan rumah di sana ludes terbakar akhir pekan lalu.
Oleh
Stefanus ato
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga di Kampung Bandan, Jakarta Utara menunggu kepastian hukum di lokasi kebakaran. Mereka meminta pemerintah provinsi mengalihkan status kepemilikan lahan di tempat itu menjadi milik warga. Warga juga menunggu bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah ratusan rumah di sana ludes terbakar akhir pekan lalu.
Ketua RT 011/RW 005, Kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, Sugeng mengatakan, warga tidak ingin dipindahkan ke tempat lain karena mereka telah tinggal di kampung itu selama puluhan tahun. Mereka meminta kepastian hukum dari pemerintah agar pembangunan kembali tidak terkendala status kepemilikan lahan.
"Kami sudah bertahun-tahun mendarah daging di sini. Kami belum siap untuk pindah ke rumah susun (rusun), karena kebanyakan dari kami beraktivitas di Mangga Dua, Jakarta Barat," ucap Sugeng, di Kampung Bandan, pada Selasa (14/5/2019) sore.
Terkait kepemilikan lahan, Sugeng mengakui warga yang rumahnya terdampak kebakaran tak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Selama ini mereka tinggal dengan status hak pakai lahan milik PT Kereta Api Indonesia. Dia mengakui pihaknya sudah berulang kali mengajukan hak kepemilikan ke badan pertanahan, namun tak ada respon.
"Kami yakin saja untuk tetap membangun, walau pemerintah tak mengizinkan. Tanah ini sudah kami tempati puluhan tahun, jadi seharusnya sudah diputihkan oleh pemerintah," kata Sugeng.
Sutrisno (64), warga RT 011 RW 005, Kelurahan Ancol, menambahkan, meskipun tanahnya tak bersertifikat, namun ia memiliki bukti berupa surat jual beli tanah. Selama ini pihaknya juga rutin membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahun. "Selama ini kami tinggal di sini aman-aman saja. Kami hanya minta pemerintah bangun kembali rumah kami yang terbakar," ucapnya.
Sutrisno mengatakan, dirinya kini diliputi kebimbangan, karena tidak ada modal untuk kembali membangun rumah. Selain harta bendanya ludes terbakar, dia juga kehilangan penghasilan, karena rumah kontrakan yang ia miliki ikut dilahap si jago merah.
Harapan untuk diperhatikan pemerintah juga datang dari warga yang tinggal di Kampung Bandan dengan status menyewa rumah, misalnya Mardia (28). Perempuan kelahiran Jakarta itu, berharap pembangunan kembali rumah warga tidak hanya mengakomodasi warga yang mempunyai lahan di lokasi kebakaran.
Milik PT KAI
Senior Humas Manager PT KAI Daop I Eva Chairunisa, saat dihubungi terpisah, mengatakan, rumah yang terbakar di Kampung Bandan berdiri di atas lahan PT KAI. Pihaknya masih berkoordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta untuk menunggu langkah selanjutnya terkait nasib warga yang menempati lahan itu.
Sebelumnya, pada Senin (13/5/2019), sebagian warga Kampung Bandan mengklaim memiliki bukti kepemilikan lahan berupa sertifikat tanah yang dikeluarkan pemerintah. Diat (40) warga setempat mengklaim ada 70 kepala keluarga yang mengantongi bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat hak milik.
Diat mengaku tidak menyerahkan lahannya kepada salah satu perusahan swasta saat pembebasan lahan sebelum tahun 1989. Alasannya harga pembebasan lahan waktu itu terlalu murah, yakni hanya Rp 250.000 per meter persegi.
Sugeng menambahkan, sebagian besar warga Kampung Bandan terdaftar memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Mereka selama ini mendapatkan berbagai layanan pemerintah, seperti Kartu Jakarta Pintar Plus dan Kartu Indonesia Sehat.
"Untuk kebutuhan air juga selain ada sumur, kami ada suplai dari Perusahaan Air Minum Palyja," ucapnya.
Meski demikian, air itu tidak dialirkan ke rumah warga masing-masing, tetapi ada pihak pengelola yang memasok air ke perumahan warga. Setiap warga dikenakan tagihan Rp 1.000 per jerigen.
Warga di kampung itu juga selama ini memanfaatkan tempat mandi dan cuci umum di tempat itu. Sebelum ada kebakaran, tersedia tujuh tempat umum seperti itu yang bisa dimanfaatkan bergantian dengan biaya pemakaian Rp 2.000 per orang setiap hari.
Tak ada kesengajaan
Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi, saat mengunjungi korban terdampak kebakaran, pada Selasa sore, mengatakan, polisi sudah memeriksa 10 saksi terkait kebakaran yang menghanguskan 450 rumah semipermanen itu. Namun, sejauh ini polisi belum menemukan unsur kesengajaan dari peristiwa itu.
"Hasil sementara yang kami dapatkan dari Pusat Laboratorium Forensik Polri, dari titik api pertama muncul, tidak ada bensin atau minyak. Jadi kesimpulan sementara unsur kesengajaan belum ditemukan," katanya.
Budhi menambahkan, ada dugaan sumber api muncul pertama kali dari tumpukan sampah di dekat rumah yang pertama terbakar. Api yang diduga berasal dari tumpukan sampah itu kemudian tertiup angin dan menyambar rumah warga.
"Kami mendukung kepolisian untuk memeriksa lokasi dan meminta keterangan saksi-saksi. Dari situ akan ketahuan apakah ada sampah yang terbakar atau ada yang membakar sampah, atau ada yang membuang puntung rokok," ucapnya.