Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi besar menjadi lahan basah bagi wakaf asuransi. Namun, perkembangan wakaf asuransi masih terbatas karena terkendala persoalan literasi terhadap ekonomi syariah yang rendah.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi besar menjadi lahan basah bagi wakaf asuransi. Namun, perkembangan wakaf asuransi masih terbatas karena terkendala persoalan literasi terhadap ekonomi syariah yang rendah.
Wakaf merupakan salah satu jenis amal dalam agama Islam, selain sedekah, infak, dan zakat. Wakaf dapat dilakukan dengan menyedekahkan aset, seperti tanah atau gedung, yang berguna dalam jangka panjang untuk kepentingan umat.
Kini, amal melalui wakaf bisa menggunakan polis asuransi dengan wakaf manfaat asuransi. Dengan cara ini, amal yang berupa tanah dapat diubah menjadi uang. Tata cara itu diatur dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia 106/DSN-MUI/X/2016 tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah.
”Potensinya sangat besar dengan penggunaan wakaf manfaat asuransi dan investasi. Mayoritas penduduk kita, kan, Muslim terbesar di dunia,” kata M Yusuf Helmy, anggota Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah, dalam diskusi tentang wakaf asuransi, Selasa (14/5/2019), di Jakarta.
Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf tunai di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 180 triliun. Namun, realisasinya masih jauh dari harapan. Pada 2018, realisasinya sekitar Rp 600 miliar.
Menurut Yusuf, persoalan belum berkembang pesatnya wakaf asuransi terjadi karena kurangnya literasi. Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyebutkan, hanya 25 orang yang memahami asuransi syariah dari 1.000 orang di Indonesia.
”Walaupun terlihat mudah, kenyataannya sulit menyebarkan wakaf asuransi di Indonesia. Penyebabnya adalah tiga tipe masyarakat Muslim yang berbeda keinginannya,” kata Yusuf, yang juga merupakan Wakil Direktur Karim Consulting Indonesia.
Pertama adalah syariah loyalis yang berjumlah sekitar 14 persen dari total 87 persen penganut Islam di Indonesia. Kelompok ini cenderung mengutamakan tampilan atau simbol.
”Kalau mendekati kelompok ini, kita yang menyosialisasikan juga harus meyakinkan. Mereka sangat peka terhadap ucapan salam atau pakaian yang kita kenakan. Pengetahuan Islam kita harus kuat untuk meyakinkan mereka,” kata Yusuf.
Kelompok kedua adalah konvensional loyalis. Dengan jumlah cukup banyak, 24 persen, mereka lebih mengutamakan keuntungan yang bisa didapatkan dari wakaf asuransi tersebut. Dengan artian, harga yang dibayarkan bisa lebih murah daripada asuransi konvensional atau nonsyariah.
Sisanya atau mayoritas adalah kelompok floating mass market. Yusuf menyebut masyarakat ini masih bimbang. ”Mereka ada yang mendekati syariah loyalis dan yang konvensional. Mereka tertarik selama ada terdapat embel-embel syariah, tetapi menginginkan fitur lebih dari perusahaan asuransi, salah satunya wakaf,” tuturnya.
Adapun sebagian besar penduduk Muslim biasanya menunda wakaf karena belum memiliki dana dan aset yang cukup. Namun, dengan adanya wakaf asuransi, pemegang polis ini bisa membeli polis untuk perlindungan diri sekaligus melakukan wakaf.
Salah satu yang memiliki fitur wakaf adalah perusahaan asuransi Prudential. Mereka sudah meluncurkan program asuransi syariah itu sejak Februari 2019. Ada beberapa produk yang ditawarkan, seperti wakaf manfaat asuransi dengan dana wakaf mencapai 45 persen dan wakaf manfaat investasi dengan dana wakaf sepertiga dari jumlah keuntungan.
”Sejak kami mengeluarkannya, antusiasme masyarakat sangat positif. Saat ini, kami masih terus menyosialisasikan kepada calon nasabah untuk memperluas pasar,” kata Bondan Margono, Kepala Operasi Syariah Prudential Indonesia.
Chief Marketing Officer Prudential Indonesia Luskito Hambali menuturkan, keberadaan wakaf asuransi membuat masyarakat Indonesia semakin mudah untuk beramal. Adapun Charities Aid Foundation menyebutkan, Indonesia merupakan negara yang paling dermawan di dunia.