Ironi Daerah Industri Maju
Sampai dengan hari ini, kehadiran industri di sejumlah wilayah Indonesia selalu menghasilkan kemajuan, sekaligus warga lokal yang tertepikan. Kehadiran para pendatang, menggeser peluang kerja masyarakat di sekitar wilayah industri sehingga sebagian dari mereka menjadi pengangguran.
Dalam skala makro, industri masih menjadi salah satu penopang perekonomian nasional. Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh pelosok negeri ini mayoritas berasal dari proses produksi industri.
Nilai komoditas yang tercermin dalam Produk Domestik Bruto atau PDB sektor industri selalu mendominasi kontribusinya bagi perekonomian nasional. Pada tahun 2016-2017, sumbangan sektor industri bagi PDB Indonesia rata-rata berkisar 20 persen atau sekitar Rp 2.600 triliun per tahun.
Tahun 2017, ada delapan dari total 34 provinsi di Indonesia yang tercatat sangat menonjol dalam sektor industri. Provinsi-provinsi itu adalah Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Timur.
Kedelapan provinsi itu mampu menghasilkan produk-produk industri pengolahan yang rata-rata bernilai sekitar Rp 2.500 triliun atau sekitar 98 persen dari total nilai ekonomis seluruh sektor produksi di Indonesia. Besarnya nominal kontribusi itu linear dengan besarnya lapangan pekerjaan yang mampu tercipta. Setidaknya hampir 13 juta lapangan pekerjaan atau sekitar 78 persen dari seluruh tenaga kerja sektor industri nasional terserap di kawasan industri tersebut.
Sebagai daerah pusat industri, mekanisme sistem produksi sudah tercipta relatif sangat baik. Banyaknya investor, infrastruktur yang mendukung, bahan baku yang relatif mudah didapat, jaringan pemasaran yang sudah terbentuk, serta pangsa pasar yang terus tumbuh membuat iklim usaha di daerah-daerah industri terus berkembang dinamis.
Dampak kemajuan industri di delapan provinsi ini juga berdampak pada perekonomian dalam skala regional, terlebih provinsi-provinsi di Jawa. Sebagai gambaran, kontribusi sektor industri dalam perekonomian Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun 2017 tercatat 42,3 persen dan 35 persen. Hal serupa terjadi di Banten dan DKI Jatim, yang mencatat kontribusi sektor industri 29 persen dan 32 persen terhadap total PDRB di masing-masing provinsi tersebut.
Daerah Migrasi
Sebagai daerah sentra industri di Indonesia, kedelapan provinsi itu memiliki daya tarik bagi masyarakat di luar wilayah tersebut. Banyak pendatang yang mengadu nasib di daerah itu. Ada yang terserap di sektor industri sebagai pekerjanya atau ada juga yang menyediakan jasa lainnya seperti usaha makanan yang banyak dibutuhkan para pekerja.
Ada juga yang bekerja di sektor-sektor lain di luar industri karena sebagai daerah yang pesat kawasan industrinya, lambat-laun daerah tersebut mengalami kemajuan yang komplek di berbagai sektor perekonomian. Berbagai pekerjaan tersedia sebagai pendukung kemajuan sektor industri di wilayah bersangkutan. Hal ini mengundang para pencari kerja dari luar daerah untuk mengais rezeki.
Para tenaga kerja yang hadir dari luar wilayah itu salah satunya di sebut sebagai pekerja migran risen. Menurut pengertian Badan Pusat Statistik, migran risen ini adalah penduduk yang saat survei dilakukan, lokasi tempat tinggalnya berbeda dengan lima tahun silam. Artinya, penduduk bersangkutan diindikasikan sebagai pendatang ke suatu kota dengan alasan tertentu. Dalam hal ini tujuannya untuk bekerja.
Di seluruh provinsi di Indonesia, para pekerja migran risen mayoritas terkumpul di delapan provinsi sentra industri itu. Pada survei angkatan kerja nasional 2016, sekitar 61 persen atau hampir 1,47 juta pekerja migran risen terkumpul di delapan provinsi tersebut. Di seluruh Indonesia jumlah pekerja migran risen ada sekitar 2,39 juta orang.
Dari delapan daerah unggulan industri ini, ada dua daerah yang paling banyak disasar para pekerja migran risen, yakni Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kedua provinsi ini masing-masing setidaknya memiliki sekitar 350 ribu pekerja pendatang. Selanjutnya, disusul DKI Jakarta dan Jawa Timur dengan jumlah pekerja migran masing-masing kisaran 200 ribu orang, kemudian Provinsi Banten sebanyak 110 ribu orang.
Data ini menunjukkan jika Pulau Jawa adalah daerah yang paling menarik bagi para pekerja migran. Sentra industri lainnya di luar Jawa seperti Provinsi Sumut, Riau, dan Kaltim, lebih sedikit daya tariknya bagi para pekerja pendatang, yakni masing-masing berkisar 65 ribu hingga 80 ribuan pekerja.
Para pekerja pendatang itu berkerja di berbagai sektor yang luas. Tidak terbatas di sektor industri semata, tetapi di sektor-sektor lain baik formal ataupun informal. Para pekerja yang terserap di sektor industri tergolong hanya relatif kecil. Pra pekerja migran risen yang terlibat di industrailisasi di delapan provinsi tersebut hanya sekitar 15 persen.
Dari sekitar 1,46 juta pekerja pendatang hanya sekitar 221 ribu orang saja yang bekerja di sektor industri. Sisanya, terserap dan bekerja di sektor lainnya. Daerah yang menyerap pekerja migran risen terbanyak di sektor industri adalah Provinsi Jawa Barat dengan besaran hingga 25 persen atau sebanyak 91 ribu orang.
Dilema Industri
Hadirnya para pekerja migran dari luar daerah ke sentra-sentra industri menciptakan berbagai fenomena. Selain wilayah industri kian ramai, berbagai usaha bermunculan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja. Mulai dari persewaan hunian tempat tinggal, usaha makanan, muncul pusat-pusat perdagangan, serta usaha lain yang mendukung masyakarat yang kian majemuk.
Ironisnya, di sejumlah wilayah yang menyerap tenaga kerja dari berbagai daerah itu tampak pula pengangguran. Bahkan, mereka yang mengganggur itu umumnya adalah warga sekitar lokasi industri. Salah satu indikasi fenomena demikian tecermin dari data berikut.
Tahun 2017, rasio angka pekerja migran risen terhadap pengangguran terbuka di delapan provinsi di daerah industri yang maju rata-rata mencapai 29 persen. Artinya, setiap ada 100 orang pengangguran di suatu wilayah, di saat bersamaan di daerah bersangkutan menyerap 29 orang tenaga kerja dari luar wilayah lainnya.
Dari delapan provinsi itu, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur adalah provinsi yang paling timpang kondisinya karena menyerap pekerja migran risen lebih dari 50 persen. Bahkan, DKI Jakarta kisarannya mencapai 67 persen, yang berarti menyerap 67 pekerja dari luar DKI Jakarta, meski di wilayah itu ada pengangguran sebanyak 100 orang.
Secara riil, jumlah pengguran terbuka di delapan provinsi pusat industri itu mencapai sekira 5 juta orang. Namun, di sisi lain daerah itu juga menerima pekerja dari luar sebanyak 1,46 juta orang yang sebagian di antaranya sekitar 221 orang bekerja di sektor industri.
Pengangguran sebanyak 5 juta orang itu akan tetap menjadi beban wilayah karena belum terserap dan kalah bersaing dengan pendatang dari luar daerah. Tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan dan berketerampilan yang rendah. Fenomena ini adalah suatu kenyataan yang seolah-olah terbenah oleh gemerlap kemajuan industri.
Sejalan dengan kondisi tersebut, kesenjangan sosial kian tampak terutama di wilayah perkotaan sentra-sentra industri itu. Berdasarkan gini ratio pada tahun 2018, sejumlah sentra industri kondisi masyarakatnya kian timpang.
Provinsi Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur kesenjangan antarmasyarakat kian terasa karena indeks gini-nya lebih dari poin 0,37. Bahkan, di Jawa Barat hingga mencapai angka 0,41 yang menandakan celah antara si miskin dan si kaya kian lebar dan terasa di masyarakat.
Salah satu solusi dari fenomena itu adalah dengan menciptakan banyak lapangan kerja sehingga ketimpangan kian mengecil. Kekayaan yang terkumpul semakin banyak di kalangan pemodal dioptimalkan lagi untuk membuka lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja. Diutamakan yang sifatnya padat karya yang membutuhkan banyak pekerja.
Masyarakat di sentra-sentra indutri yang masih menganggur diprioritaskan untuk dilibatkan dalam proses produksi. Sekecil apapun posisinya dalam rantai produksi, niscaya akan memperbaiki perekonomian warga setempat dan secara tidak langsung akan memperkecil ketimpangan antarwarga masyarakat. (LITBANG KOMPAS)