Hampir empat tahun terakhir pasar perkantoran tertekan akibat kelebihan pasokan. DKI Jakarta yang menjadi barometer pasar perkantoran di Indonesia mengalami koreksi mendalam, tarif sewa kantor merosot hingga 30 persen.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Hampir empat tahun terakhir pasar perkantoran tertekan akibat kelebihan pasokan. DKI Jakarta yang menjadi barometer pasar perkantoran di Indonesia mengalami koreksi mendalam, tarif sewa kantor merosot hingga 30 persen.
Di kawasan pusat bisnis (CBD) Jakarta, total luas ruang perkantoran saat ini sudah hampir mencapai 6,5 juta meter persegi (m2) dan di kawasan non CBD mencapai 3,2 juta m2. Hingga tahun 2021, masih akan ada penambahan pasokan baru, yakni tahun 2020 sebesar 279.999 m2, dan 2021 sejumlah 498.050 m2.
Akan tetapi, pertumbuhan permintaan masih jauh di bawah kenaikan pasokan ruang perkantoran. Dari hasil riset Colliers International Indonesia, tingkat keterisian (okupansi) perkantoran di CBD Jakarta pada triwulan I-2019 adalah 82,5 persen atau hanya tumbuh 1,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara okupansi di kawasan non-CBD turun 0,3 persen menjadi 84,4 persen.
Permintaan ruang kantor yang tumbuh tipis, antara lain, dipicu pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan perang dagang China-Amerika Serikat yang berimbas pada bisnis di Asia. Selain di DKI Jakarta, permintaan ruang kantor yang rendah juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia, seperti Surabaya dan Medan.
Dampak situasi itu sudah bisa dipastikan, gedung-gedung perkantoran baru mengalami kendala dalam keterisian. Ekspansi kantor ataupun perpindahan kantor dari gedung lama ke gedung baru tidak cukup menggenjot tingkat hunian kantor.
Strategi mulai diterapkan para pemilik gedung (landlord) dengan memberikan insentif-insentif, misalnya tarif sewa diturunkan dan perubahan konsep kantor. Tujuannya, tingkat hunian perkantoran dapat tercapai setidaknya 70 persen agar paling tidak bisa menutup biaya pengelolaan gedung.
Tarif sewa ruang perkantoran kelas A di CBD Jakarta, misalnya, saat ini berkisar Rp 250.000-Rp 300.000 per m2. Tarif ini turun 20-25 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Pada 2011-2014, ketika pasar properti tumbuh pesat, tarif sewa ruang kantor premium dan kelas A Rp 450.000-Rp 650.000 per m2.
Permintaan ruang kantor yang tumbuh tipis, antara lain, dipicu pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Kebutuhan ruang perkantoran kian dinamis. Pada era tahun 2000-an, kita mungkin ingat bertumbuhnya konsep kantor maya (virtual office) di industri perkantoran. Lalu, kebutuhan ruang kerja yang fleksibel, seperti kantor berbagi (shared office), dan kini tren bergeser ke ruang kerja bersama (coworking space).
Semakin banyak perusahaan yang menginginkan fleksibilitas dalam pemakaian ruangan dan jangka waktu sewa serta kolaborasi dalam meningkatkan bisnis. Hal ini sejalan dengan kepentingan perusahaan untuk menerapkan efisiensi dan efektivitas kerja.
Ruang kerja bersama, misalnya, menawarkan masa sewa harian, bulanan, dan tahunan, jauh di bawah rata-rata kontrak sewa gedung perkantoran konvensional, yakni 3-5 tahun. Bahkan, sejumlah ruang kerja bersama rutin menghadirkan aktivitas bersama antarpenyewa untuk bertukar pikiran, ide, hingga berkolaborasi bisnis.
Konsep yang ditawarkan operator ruang kerja bersama tidak hanya diminati oleh usaha rintisan, tetapi juga perusahaan mapan dan multinasional. Hal itu mendorong merambahnya ruang kerja bersama di gedung-gedung perkantoran, bahkan gedung kelas premium dan kelas A di CBD Jakarta.
Dinamika kebutuhan penyewa ruang perkantoran merupakan tantangan bagi pemilik gedung perkantoran untuk turut fleksibel menjawab tren pasar. Di tengah kompetisi ketat untuk merangkul pasar, sejumlah terobosan diperlukan para landlord untuk menawarkan produk yang lebih beragam, inovatif, tanpa mengesampingkan kualitas dan layanan prima.