Potensi Perang Iran-AS
Gelombang tekanan atas Iran terus dilakukan Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump. Yang terakhir, 6 Mei, AS mengerahkan gugus serbu kapal induk USS Abraham Lincoln dan armada pengebom ke Timur Tengah.
Alasannya, berdasarkan laporan intelijen, ada indikasi-indikasi ancaman nyata terhadap pasukan AS di Irak, Suriah, dan di kawasan. AS memang memiliki sekitar 5.000 personel pasukan di Irak dan 2.000 personel di Suriah. Pada 2003, berdasarkan laporan intelijen yang terbukti keliru, AS menginvasi Irak dengan melibatkan USS Abraham Lincoln juga. Memang Teheran telah menyatakan militer AS adalah kelompok teroris sebagai balasan atas penetapan Garda Pengawal Revolusi Iran sebagai organisasi teroris luar negeri oleh AS.
Provokasi AS
Hubungan Iran-AS kembali memburuk setelah Trump pada 8 Mei 2018 membatalkan secara sepihak Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran yang ditandatangani lima kekuatan dunia plus Jerman atau P5+1 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, China, plus Jerman), dan didukung oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB No 2231. Tiga bulan kemudian, AS menerapkan sanksi tahap pertama, di antaranya, meliputi sektor otomotif, logam mulia, bahan makanan, dan perdagangan.
Sanksi tahap kedua dilakukan 5 November 2018, meliputi sektor migas dan bank sentral. Akibat sanksi, bahkan sebulan sebelumnya, rakyat Iran turun ke jalan menyusul anjloknya nilai mata uang Iran (riyal) hingga lebih dari 100 persen yang memicu kenaikan harga barang yang signifikan.
Sebelumnya, pada akhir Desember 2017 sampai awal Januari 2018, rakyat Iran dari berbagai strata sosial di 80 kota berdemonstrasi akibat meningkatnya harga bahan pokok, korupsi, dan keterlibatan militer Iran di sejumlah negara Arab. Tak kurang dari 21 orang terbunuh dalam insiden itu. Ketika itu Trump mengipasi rakyat Iran untuk terus memberontak.
Memang sebenarnya sanksi-sanksi AS ini bertujuan mengisolasi ekonomi dan politik Iran yang diharapkan akan mendorong rakyat menggulingkan rezim Iran. Melihat hal itu belum cukup efektif, pada awal Mei lalu, AS menghentikan dispensasi pada delapan negara yang sebelumnya dibolehkan mengimpor minyak Iran. Harapannya, Iran tak dapat mengekspor minyaknya meski setetes. AS bahkan berharap Iran mencampakkan JCPOA agar memungkinkan AS memobilisasi dukungan internasional untuk memeranginya.
Untuk lebih jauh memprovokasi Iran, Trump menawarkan 12 butir syarat rekonsiliasi. Ke-12 syarat itu antara lain Iran harus mengizinkan tanpa syarat kepada tim Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) memasuki semua situs nuklir di seantero Iran, mengakhiri dukungan terhadap organisasi ”teroris” di seluruh Timur Tengah, seperti Hezbollah di Lebanon, Hamas dan Jihad Islami di Palestina, serta Houthi di Yaman.
Kemudian, Iran harus membuka secara detail semua program nuklir terkait misi militer, menghentikan semua aktivitas pengayaan uranium dan menutup reaktor air berat, serta mengakhiri ancaman terhadap negara-negara tetangga di kawasan.
Semua syarat ini tampaknya tak didasari niat baik untuk merundingkan kembali JCPOA, tetapi untuk menghina Iran. AS tahu ke-12 syarat yang tak realistis itu akan ditolak Iran yang akan memberi justifikasi pada AS untuk menerapkan sanksi lagi. Apa salah Iran?
Kesalahan utama Iran adalah kemandiriannya menjalankan politik luar negeri. Padahal, sejak dulu kebijakan luar negeri AS adalah ”tidak boleh ada negara yang membangkang terhadap hegemoni AS”. Doktrin inilah yang kemudian mendorong AS mengintervensi secara militer maupun politik urusan internal negara lain. Negara yang membangkang seperti Iran yang secara geopolitik dipersepsi mengancam kepentingan AS harus dilenyapkan. Kalau tidak, negara lain akan ikut jejaknya. Ini akan mengganggu wibawa AS sebagai negara adidaya tunggal.
Respons Iran
Menyadari maksud dan tujuan sanksi dan tekanan AS ini, Iran berusaha meminimalkan potensi konflik militer dengan AS. Iran bahkan selama setahun ini tak ikut keluar dari JCPOA meski Uni Eropa tak dapat memenuhi janjinya sepenuhnya untuk tetap berbisnis minyak dengan Iran.
Untuk merespons dampak ekonomi dalam negeri yang sangat berat akibat merosotnya pendapatan luar negeri hingga setengahnya (Iran mengandalkan 65 persen pendapatan luar negerinya dari ekspor migas), Iran menjual minyak ke ”pasar abu-abu”. Iran memang berpengalaman menelikung sanksi AS sejak revolusi 1979.
Iran juga masih dapat bernapas karena Turki, Irak, Rusia, Pakistan, India, dan China masih mengimpor minyaknya dengan mekanisme pembayaran tertentu untuk menghindari sanksi AS. Dalam rangka perang urat saraf dengan AS, pada 8 Mei 2019, Iran menyatakan secara resmi kepada P5+ 1 (minus AS) dan Uni Eropa bahwa ia mengurangi komitmennya pada JCPOA.
Ini berarti Iran akan memulai lagi pengayaan uranium. JCPOA membatasi program nuklir Iran. Sebagai imbalan, Iran bebas mengekspor migasnya. Namun, setelah AS mundur dari JCPOA dan negara importir lain tunduk pada ancaman sanksi AS, Iran tidak mendapat faedah dari JCPOA.
Bagaimanapun, tindakan Iran mengurangi komitmennya pada JCPOA telah mengeskalasi ketegangan hubungan dengan AS. Iran tak dapat menyepelekan kemungkinan AS dan sekutunya di kawasan melancarkan perang mengingat orang-orang dekat Trump, seperti Penasihat Keamanan Nasional John Bolton dan Menlu Mike Pompeo, kelompok garis keras anti-Iran di Kongres—serta PM Israel Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman—telah berulang kali mendesak Trump memerangi Iran yang pengaruhnya di Timur Tengah kian luas.
Kedatangan kapal induk USS Abraham Lincoln dan armada pengebom AS bisa jadi hanya bertujuan meningkatkan intimidasi atas Iran. Namun, hal ini telah meluaskan ruang sensitivitas konflik. Jika terjadi serangan terhadap kepentingan AS di kawasan, entah dilakukan oleh siapa, dapat memicu AS bersama sekutunya melancarkan perang.
Kendati bukan tandingan AS, militer Iran cukup berbahaya untuk mengganggu sumber dan lalu lintas minyak di Teluk Persia yang akan melipatgandakan harga minyak dunia. Terlebih, hancurnya rezim Iran akan membawa konsekuensi keamanan yang tak terbayangkan di kawasan.
Bahkan, bisa menimbulkan perang besar mengingat Iran memiliki proksi di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Palestina. Syukur-syukur kalau Rusia dan China tidak ikut terlibat membantu Iran.
Smith Alhadar Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)