Menjelang pertemuan delegasi China dengan Amerika Serikat pada pekan lalu untuk meredakan konflik dagang di antara mereka, harian The New York Times, Rabu (8/5/2019), menerbitkan artikel di halaman satu atau depan mengenai perang siber antara kedua negara. Artikel itu mempertegas laporan Departemen Pertahanan AS mengenai China, yang menyebut Beijing sebagai salah satu aktor paling terampil serta gigih dalam militer, intelijen, dan operasi siber.
Artikel The New York Times berjudul ”How spies from China grabbed US cyber gun” (Bagaimana mata-mata China mengambil senjata siber AS) itu mengungkapkan kemampuan Beijing untuk menguasai serta memanfaatkan perangkat peretasan (hacking tools) milik Badan Keamanan Nasional AS. Setelah dikuasai, perangkat itu lalu digunakan kembali oleh China untuk menyerang sekutu-sekutu AS serta sejumlah perusahaan swasta di Eropa dan Asia.
Dalam artikel yang disusun berdasarkan laporan perusahaan raksasa keamanan siber Symantec tersebut, perangkat peretasan berupa program komputer milik Badan Keamanan Nasional AS (NSA) diambil alih oleh pihak terkait Beijing saat beroperasi menyerang komputer China. Situasi itu dapat digambarkan secara sederhana, yakni seseorang yang ditembak ternyata mampu merebut senapan lawannya dan menggunakannya untuk menyerang balik.
Seseorang yang ditembak ternyata mampu merebut senapan lawannya dan menggunakannya untuk menyerang balik.
Dibandingkan dengan konflik senjata atau perang dagang, pertarungan siber mungkin tak terlalu mendapat perhatian dari media umum. Aspek teknis perang siber tidak banyak diketahui masyarakat. Ada aspek program (code), serta jenis-jenis alat serang, seperti exploit (program yang dirancang untuk memanfaatkan kelemahan atau error sebuah sistem sehingga sistem dapat dikuasai oleh musuh), dan malware (program yang memang dibuat untuk menyerang dan merusak sebuah sistem).
Meski tak terlihat, pertarungan siber memberikan dampak yang cukup besar. Sejumlah laporan, misalnya, menyebutkan AS menggunakan malware canggih untuk menghancurkan sistem mesin sentrifugal milik Iran yang bertugas memproduksi uranium bagi keperluan pengembangan nuklir negara itu. Dengan cara ini, program nuklir Iran mengalami hambatan.
Aktor penting lain dalam adu kekuatan siber tingkat dunia ialah Rusia serta Korea Utara. Menurut The New York Times, perangkat peretasan milik AS yang telah direbut China itu beberapa waktu kemudian ”dipublikasikan” di internet. Belakangan, pihak terkait Rusia serta Korea Utara memanfaatkan program-program tersebut untuk menyerang sejumlah sasaran di berbagai penjuru dunia.
Dalam sebuah pertemuan yang digelar perusahaan keamanan siber dunia Fortinet, bulan lalu, di Orlando, AS, disebutkan negara adalah satu dari lima aktor peretas di dunia maya.
Menurut seorang pemimpin Fortinet, aktor negara memiliki sumber daya nyaris tak terbatas. Program peretasan oleh aktor ini juga sangat canggih dan memiliki tujuan spesifik, yakni mencuri rahasia negara asing, menjalankan mata-mata industri, serta melancarkan perang siber.
Saat Washington dan Beijing bernegosiasi cara meredakan konflik dagang, perang tak kasatmata terus berlangsung di antara mereka. Sama sekali tanpa mesiu.