Menyatu di Masjid Agung At-Thohiriyah
Di Masjid At-Thohiriyah, Kota Bogor, sejak bertahun silam sampai sekarang, berbagai penganut aliran atau organisasi keislaman shalat dan berdakwah. Kebersamaan dibangun, persaudaraan diikat sekokoh empat pilar masjid ini.
Di Masjid At-Thohiriyah, Kota Bogor, sejak bertahun silam sampai sekarang, berbagai penganut aliran atau organisasi keislaman shalat dan berdakwah. Kebersamaan dibangun, persaudaraan diikat sekokoh empat pilar masjid ini.
Ramadhan kali ini, sebagaimana Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, warga Kota Bogor tidak repot mencari masjid untuk melengkapi ibadah puasanya. Masjid ada di mana-mana, menunggu warga untuk Tarawih atau iktikaf di dalamnya.
Begitu banyak masjid di Kota Bogor, ratusan bangunan. Yang peringkat agung atau raya hanya beberapa buah. Salah satunya Masjid Agung At-Thohiriyah, yang dulu bernama Masjid Jami Empang atau Masjid Agung Empang. Lokasi masjid ini di Jalan Raden Aria Wiranata, Kampung Empang, Kelurahan Empang, Bogor Selatan, Kota Bogor.
”Masjid Jami Empang ini yang paling tua. Dari dulu jemaahnya datang dari mana-mana, dari Caringin, Panaragan. Dari jauh-jauh pokoknya. Datang dengan berkuda. Kuda ditambatkan di pinggir lapangan atau alun-alun. Wudu atau mandinya di Sungai Cisadane,” kata H Abdurahman Achmad Askar atau Amuh (92).
Amuh, kelahiran Empang tahun 1027, mengingat, sejak ia masih anak-anak, bangunan masjid sudah terbuat dari tembok dan ada ruangan di bawah lantainya. Masjid juga tidak memiliki menara, tetapi ada atap lebih kecil yang letaknya lebih tinggi dari atap utama masjid.
Ia tidak ingat apakah atap yang lebih kecil, namun lebih tinggi, itu ditopang empat pilar kokoh. Empat pilar itu sampai hari ini masih berdiri kokoh, dalam wujud pilar dari beton dengan bagian bawahnya dilapisi keramik warna hitam.
Ia hanya ingat, masjid itu satu lantai dengan lantai masih terbuat dari kayu atau papan dan tingginya kurang dari 1 meter dari tanah. Dan, di dalam masjid ada empat pilar dari kayu besar yang kini dilapisi beton cor dan bagian bawahnya dilapisi keramik hitam itu.
Amuh, yang pernah menjadi pengurus masjid tersebut, juga tidak tahu, kapan masjid itu menjadi berdinding tembok dengan bagian depan ada pilar tembok, sebagaimana reproduksi foto masjid yang dimilikinya. Pada foto repro tersebut ada keterangan, masjid difoto pada tahun 1920-1930.
”Kira-kira usia saya tujuh tahun, bangunan masjid sudah seperti di foto ini. Lantai masjid waktu itu masih papan, kolongnya kosong, jadi masih panggung, karena itu tetap ada tangga. Saya tidak ingat, kapan dindingnya jadi tembok. Soalnya saya masih anak-anak, tidak perhatikan pembangunannya. Lebih banyak main-main di lapangan alun-alun. Tetapi, usia saya tujuh tahun, dinding masjid sudah ditembok,” tuturnya.
Bentuk dan luas masjid sekarang ini memang sudah mengalami banyak perubahan, kata Yoyok Kartoyo (42), salah seorang yang sehari-hari mengurus keperluan jemaah masjid. Bagian masjid yang masih asli atau tetap ada sejak dulu, katanya, adalah empat pilar masjid, mimbar tempat imam memimpin shalat dan berkhotbah, serta jam kuno dalam lemari dan sebuah tongkat kayu. Ia lalu menunjukan benda-benda yang dimaksudnya.
Menurut Yoyok, empat kayu pilar dalam masjid tidak dibuang, tetapi dikuatkan dengan lapisan cor beton. ”Jadi, kayu aslinya masih ada di dalamnya, tidak dilepas, tidak bergeser tempat. Begitu juga lokasi tempat imam memimpin shalat dan berkhotbah. Marmernya pun masih asli. Hanya bentuk bingkai ruang itu, profilnya (lis) baru,” katanya.
Untuk jam kuno dan tongkat imam, ia tidak paham sejak kapan ada di masjid. ”Tongkat kayu ini dari kayu rasamala. Sudah ada dari dulu. Kalau tongkatnya sepanjang ini (sekitar 150 cm), imam-imam tingginya segimana, ya,” ucapnya.
Yoyok lalu menyilakan untuk membaca sekelumit sejarah Masjid Agung At-Thohiriyah yang ditulis oleh Alwi Shahab. Fotokopi tulisan itu ditempel di dinding masjid dan terdapat tanda tangan Wawan Sukmawan, pengurus dewan kemakmuran masjid.
Dalam tulisan itu diungkapkan, masjid ini berdiri di atas tanah seluas 750 meter persegi, lebih dikenal sebagai Masjid Agung Empang. Masjid memiliki sejarah yang panjang karena dibangun pada 1817 atau dua abad silam. Sukahati saat itu adalah pusat pemerintahan Kabupaten Bogor. Nama Sukahati kemudian dikenal dengan nama Empang.
Masjid yang awalnya berbentuk joglo (panggung) ini merupakan masjid pertama di Bogor. Dari sinilah ajaran Islam mulai makin berkembang di Bogor. Berbagai aliran Islam bisa berkumpul di sini dengan berbagai dinamikanya.
Di tulisan itu juga diungkap, sejumlah tokoh pernah singgah dan shalat di sana, seperti presiden kedua Mesir, Gamal Abdel Nasser, Presiden Soekarno, Wapres Adam Malik, Wapres Hamzah Haz, dan tentu saja ulama-ulama besar, seperti KH Abdullah bin Nuh, KH Abdullah Syafi’ie, dan habaib.
”Sampai sekarang jemaah dari berbagai aliran atau organisasi keislaman shalat dan dakwah di sini. Terbuka. Shalat bareng-bareng. Yang enggak tahlilan, yang tahlilan. Yang kunut, yang enggak pakai kunut. Yang Tarawih-nya 23 rakaat, yang 11 rakaat. Semua bertemu di sini. Saling menyesuaikan dan atur waktu. Kalau bukan alirannya, setelah selesai shalat wajib, ya, pulang. Yang sealiran lanjutkan ibadah atau dengarkan khotbahnya,” tutur Yoyok.
Masjid ini juga sering menampung atau digunakan jemaah Masjid An Nur di Lolongok atau Masjid Habaib Alatas kalau masjid di sana sudah penuh sesak. Kalau ada perayaan akbar, seperti maulid dan milad habaib, yang datang luar biasa banyaknya. ”Masjidnya enggak cukup menampung jemaah. Jadi, Masjid At-Thohiriyah ikut sibuk bantu juga,” ujarnya.
Soedradjat Nataatmadja (82), bupati ke-13 Bogor, membenarkan, kawasan Empang, yang dulu bernama Sukahati, adalah pusat pemerintahan Kabupaten Bogor pada zaman kolonial. Rumah dan kantor bupati baru pindah ke Jalan Veteran/Panaragan setelah masa kemerdekaan, lalu pindah ke Cibinong pada 1988-1989 sampai sekarang.
”Saya menjadi Bupati Bogor pada 1983-1988 dan kantor serta rumah dinasnya sudah tidak lagi di Empang, tetapi di Jalan Veteran. Seingat saya, kantor dan rumah itu dibuat Belanda. Saya tidak tahu pasti di mana lokasi pasti kediaman sekaligus kantor bupati yang di Empang. Dari buku-buku sejarah, kediaman bupati dan masjid sama-sama menghadap alun-alun. Lokasi kediaman bupati di selatan atau sebelah kanan masjid. Bekas-bekasnya tidak ada, mungkin karena terbuat dari kayu,” katanya.
Menurut Soedradjat, kediaman bupati tentu ada lebih dahulu sebab pembangunan masjid tersebut atas perintah atau persetujuan bupati saat itu. Masjid dipilih di Empang kemungkinan karena di satu wilayah pemerintahan, yang biasanya selain ada kantor bupati dengan alun-alunnya, ada juga rumah ibadah, yaitu Masjid Agung Empang, dan rumah penjara, yaitu Lapas Paledang.
”Di Empang karena dianggap cocok sebab lingkungan di sana banyak keturunan Arab. Wilayah itu namanya menjadi Empang karena dulunya ada empang, yang sekarang jadi Kampung Pekojan,” katanya.
Adapun At-Thohiriyah, lanjut Soedradjat yang pernah menjadi pengurus masjid itu pada 2008-2013, diambil dari nama Raden H Moehammad Thoir yang mewakafkan tanah dan merintis pembangunan masjid tersebut pada 1817.
Tanah masjid ini tanah wakaf dari berbagai tokoh agama atau masyarakat setempat, hingga kini menjadi luas, sekitar 2.600 meter persegi. Yang pertama mewakafkan tanahnya adalah Moehammad Thoir, cucu Dalem Cikundul Cianjur (R Arya Wiratanu Datar II).
Lalu, pembangunan masjid dilanjutkan seorang putranya, Raden Adipati Wiranata, yang disebut Dalem Wiranata atau Dalem Sepuh. Kemudian disempurnakan oleh seorang cucunya, Raden Adipati Soerya Winata alias RH Muhammad Sirodz, regen atau bupati pertama Bogor, yang dikenal dengan sebutan Dalem Sholawat. Makamnya, di Pemakaman Kramat Dalem Sholawat, tidak jauh dari Pintu Air Cisadane Empang, banyak dikunjungi peziarah dari mana-mana.
”Makam Bupati Bogor pertama ini disebut Dalem Sholawat karena beliau ulama yang senantiasa mempraktikkan dan memopulerkan shalawat Nabi,” kata Soedradjat.
Saat ini, bangunan masjid sudah berubah sangat banyak karena perluasan masjid, buah dari makin banyak Muslim yang mengunjungi masjid tersebut, berbarengan menerima lagi wakaf tanah di sekitar masjid, antara lain dari Sayid Alwi bin Ismail Alaydrus dan Habib Abdullah F Assegaf.
Renovasi bangunan yang sekarang ini dimulai tahun 1935, saat kepengurusannya dipegang Raden Abdulqadir dengan bantuan Habib Alwi bin Muhammad Alhadad. Dalam pembangunannya itu, ciri utama masjid berupa empat pilar utama yang menopang kubah tetap dipertahankan. Keberadaan dan posisinya sudah ada di situ sejak masjid rintisan dibangun pada 1817.
Empat pilar ini, selain melambangkan empat penjuru arah, juga melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad, yaitu Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pada Ramadhan ini, setiap Maghrib senantiasa tersedia makanan untuk berbuka puasa sekitar 100 orang.
”Sedia bukaan untuk puasa rutin sejak dulu. Shalat Tarawih-nya juga rutin 23 rakaat dari dulu kala,” kata Yoyok.
Sembari berbuka, makin indah puasa ini dengan mengamalkan salah satu teladan Nabi, yaitu terus membangun kebersamaan, mengikat persaudaraan.