Mengapa Trump Takut "Mueller Report"?
Motif yang lebih banyak diselidiki oleh "Mueller Report" berhubungan dengan tindakan Presiden Trump, apakah presiden bermaksud menghalangi proses hukum.
This is the end of my presidency!
Demikian reaksi panik Donald Trump saat mengetahui bahwa Robert Mueller pada 17 Mei 2017 diangkat menjadi Penasehat Khusus untuk menyelidiki keterlibatan Rusia dalam Pilpres AS 2016.
Sejak saat itulah, dimulai penyelidikan selama dua tahun yang berakhir dengan laporan yang dikenal dengan "Mueller Report".
Dengan melibatkan 19 pengacara dan 40 agen FBI, Mueller mulai melaksanakan tugasnya.
Penyelidikan yang menghabiskan dana 25 juta dollar AS tersebut berjalan sangat intensif. Tim bentukan Mueller telah menerbitkan 2.800 surat panggilan penyelidikan, 500 surat izin penggeledahan, 230 tugas perekaman, menyadap 50 nomor telepon, meminta 13 bukti dari pemerintah luar negeri, dan mewawancarai 500 saksi terkait penyelidikan.
Akhirnya, setelah 675 hari bertugas, pada 22 Maret 2019, Mueller menyerahkan laporan hasil penyelidikan. Sejumlah 448 halaman laporan dalam dua volume diserahkan kepada Jaksa Agung AS, sekaligus kawan lama Mueller di Departemen Kehakiman, William Barr.
Dalam laporannya, Mueller menyimpulkan bahwa terdapat campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016. Selanjutnya dinyatakan, tidak dapat disimpulkan bahwa tim kampanye Trump melakukan konspirasi atau koordinasi dengan Rusia dalam tindakan Rusia mencampuri Pilpres AS 2016.
Selanjutnya, walaupun ditemukan beberapa bukti bahwa Presiden Trump melakukan beberapa tindakan selama investigasi, hasil penyelidikan penasehat khusus tidak sampai pada kesimpulan bahwa Presiden Trump menghalangi proses hukum (obstract justice).
Akan tetapi, sebaliknya, dinyatakan juga bahwa penyelidikan juga tidak menyatakan bahwa Presiden Trump tidak melakukan apa pun selama penyelidikan berlangsung. Dengan kata lain, laporan 448 halaman tersebut sebenarnya tak menyimpulkan apa pun tentang Presiden Trump.
Oleh karena itu, patut ditanyakan, apa yang membuat Donald Trump begitu panik? Siapakah Mueller? Lebih jauh lagi, apa pentingnya "Mueller Report" ini dalam lansekap perpolitikan AS sehingga format bukunya telah menduduki best seller buku nonfiksi versi Amazon selama beberapa minggu?
Bukan penyelidikan pertama
Penunjukkan Robert Mueller sebagai Penasehat Khusus untuk menyelidiki campur tangan Rusia terhadap Pilpres AS 2016 bukanlah penyelidikan pertama. Terdapat sekurangnya tujuh penyelidikan resmi berhubungan dengan campur tangan Rusia. Investigasi tersebut dimulai sejak Trump belum resmi diangkat menjadi Presiden dan makin bertambah pasca-Trump resmi menjabat sebagai Presiden.
Sejak pertengahan tahun 2016, muncul dugaan bahwa Rusia melakukan campur tangan dalam Pilpres AS 2016. Pada 14 Juni 2016, surat kabar the Washington Post melaporkan ada hacker yang bekerja untuk Pemerintah Rusia menyerang sistem komputer Democratic National Commite (DNC), partai pendukung capres Hillary Clinton. Peretasan tersebut berhasil menjebol surat elektronik (email) dan pembicaraan para staf. Akan tetapi, Rusia menyangkal terlibat dengan serangan siber tersebut.
Berdasarkan laporan tersebut, FBI di bawah kepemimpinan James B. Comey melakukan investigasi terhadap peretasan sistem komputer DNC. FBI mengindikasikan bahwa serangan siber tersebut berhubungan dengan Rusia.
Indikasi yang dimunculkan FBI tersebut ditegaskan oleh laporan bersama hasil penyelidikan Departemen Keamanan Dalam Negeri dan Kantor Intelijen Nasional tentang Keamanan Pemilu. Kedua institusi tersebut yakin bahwa Pemerintah Rusia terlibat langsung dalam peretasan terhadap orang dan institusi di AS.
Dengan keyakinan tersebut, pada 29 Desember 2016, Presiden Barrack Obama menjatuhkan sanksi kepada Rusia karena ikut campur dalam Pilpres AS 2016.
Penyelidikan tentang keterlibatan Rusia tak berhenti sampai di situ. Satu minggu sebelum Trump resmi dilantik menjadi Presiden AS, Komite Terpilih Senat Tentang Intelijen juga mengadakan investigasi terhadap campur tangan Rusia dalam pilpres AS 2016. Penyelidikan tersebut bertambah pasca-Trump resmi dilantik menjadi Presiden pada 20 Januari 2019.
Terdapat sekurangnya lima investigasi resmi tentang Rusia dan Pilpres AS 2016 yang dibentuk oleh baik Senat maupun DPR. Baru pada 17 Mei 2019, Departemen Kehakiman, melalui Penjabat Jaksa Agung Rod Rosenstein, menunjuk Robert Mueller sebagai Penasihat Khusus untuk ikut menyelidiki kasus tersebut.
Korban pertama
Dalam volume dua "Mueller Report", diceritakan bahwa pembentukan Panitia Khusus ini didahului dengan pemecatan Direktur FBI James Comey dan dilanjutkan dengan pemecatan Jaksa Agung AS Jeff Sessions.
Pada 27 Januari 2017, Presiden Trump mengundang Direktur FBI James Comey sambil meminta kesetiaan Comey karena FBI sedang menyelidiki kasus keterlibatan Rusia dalam pilpres AS 2016. Dalam pertemuan selanjutnya, Trump meminta agar Comey melepaskan Michael Flynn, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, yang sedang tersangkut investigasi FBI. Tampaknya, Comey belum menentukan sikapnya.
Dalam dengar pendapat dengan Kongres AS pada Maret 2017, Comey menyatakan bahwa FBI sedang menyelidiki upaya Pemerintah Rusia untuk ikut campur dalam Pilpres AS 2016, termasuk hubungan atau koordinasi antara pemerintah Rusia dan tim kampanye Trump.
Setelah dengar pendapat di Kongres, Trump mengundang Comey untuk bertemu. Dalam pertemuan tersebut, Comey menjanjikan bahwa FBI tidak akan menyelidiki Donald Trump secara pribadi.
Janji Comey di atas diuji saat dengar pendapat dengan Kongres pada 3 Mei 2017 tentang penyelidikan yang sedang dilakukan oleh FBI. Pada saat itu, Comey tidak menjawab ketika ditanya, apakah FBI akan menyelidiki keterlibatan Presiden atau tidak. Artinya, Comey membuka kemungkinan bahwa Trump akan ikut diselidiki.
Tak lama kemudian, pada bulan yang sama, Comey dipecat dari jabatan sebagai Direktur FBI. Gedung Putih menyatakan bahwa pemecatan Comey merupakan hasil rekomendasi independen dari jaksa agung dan wakil jaksa agung. Comey dianggap salah dalam menangani penyelidikan email Hillary Clinton.
Penyelidikan terkait Rusia dan Pilpres AS 2016 ini kemudian dilanjutkan dengan penunjukkan Robert Mueller sebagai Penasehat Khusus. Di saat inilah, ucapan Trump bahwa inilah akhir dari masa kepresidenannya terlontar.
Ikut terjungkal
Dengan dilanjutkannya penyelidikan, kemarahan Presiden Trump lantas diarahkan kepada Kementerian Kehakiman, terutama kepada Jaksa Agung Jeff Sessions sebagai pemimpin Kementerian Kehakiman.
Sebagai Jaksa Agung, Sessions dianggap membiarkan deputinya, Rod Rosenstein, menunjuk Penasehat Khusus untuk menyelidiki kasus yang diduga melibatkan sang Presiden.
Sebagai Penasehat Khusus, Mueller mendapat mandat untuk mengadakan penyelidikan terhadap setiap hubungan antara Pemerintah Rusia dan mereka yang terlibat dalam tim kampanye kandidat presiden Donald Trump.
Selain itu, sang Penasehat Khusus, yang juga mantan Direktur FBI, ini, juga berhak menyelidiki setiap dokumen yang ditemukan dalam proses penyelidikan. Bahkan, ia berhak untuk memproses secara hukum kejahatan federal yang timbul dari penyelidikan yang dilakukannya.
Dalam "Mueller Report" disebutkan bahwa Sessions dianggap tidak loyal kepada Trump dan diminta untuk mengundurkan diri. Atas permintaan tersebut, Sessions segera membuat surat pengunduran diri dan diserahkan kepada Trump. Trump menolak pengunduran diri Session, akan tetapi tetap menyimpan surat pengunduran diri tersebut sehingga posisi Sessions terjepit.
Selain meminta Sessions mengundurkan diri, Trump mencoba cara lain untuk mengganti Robert Mueller. Dalam "Mueller Report", diceritakan bahwa Trump memanggil Penasehat Gedung Putih Donald McGahn. McGahn diminta untuk memanggil Pejabat Jaksa Agung, Rod Rosenstein, untuk meminta Rosenstein mengganti Robert Mueller. Akan tetapi, pesan tersebut tidak disampaikan oleh McGahn. Bahkan, McGahn malah mempertimbangkan untuk mengundurkan diri.
Lewat jalan lain, melalui mantan manajer kampanyenya, Corey Lewandowski, Trump menitipkan pesan kepada Jaksa Agung Jeff Sessions. Menurut Trump, penyelidikan yang diarahkan kepada dirinya sangat tidak adil. Sama seperti McGahn, Lewandowski tidak menyampaikan pesan tersebut.
Akhirnya, pada musim panas tahun 2017, Trump kembali memanggil Jaksa Agung Jeff Sessions. Ia meminta agar tidak diselidiki dalam investigasi yang sedang dilakukan oleh Penasihat Khusus. Permintaan tersebut diulangi lagi pada Desember 2017. Trump menyarankan agar Sessions mengambil alih investigasi terhadap campur tangan Rusia dalam pilpres AS 2016. Saran tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Sessions.
Di sisi lain, penyelidikan yang dilakukan oleh Penasehat Khusus terus berlanjut. Bahkan, diberitakan oleh CNN bahwa Sessions sendiri juga ikut diinvestigasi oleh tim Penasehat Khusus, seperti yang juga dilakukan kepada mantan Direktur FBI James Comey pada Januari 2018.
Setelah 9 bulan berada dalam posisi “digantung” oleh Trump, pada November 2018, Sessions akhirnya dipecat. Posisinya diganti oleh Penjabat Jaksa Agung, Matthew Whitaker.
Pemecatan Direktur FBI James Comey dan Jaksa Agung Jeff Sessions oleh Trump mendapat sorotan khusus oleh tim investigasi Penasehat Khusus. Dalam laporan yang dibuat oleh Mueller, tindakan-tindakan Trump selama penyelidikan berlangsung dimasukkan dalam bagian dugaan menghalangi proses hukum (obstrac justice) oleh Trump.
Dalam laporan yang dibuat Mueller, berbagai tindakan Trump menunjukkan bahwa Trump tidak suka untuk diselidiki secara langsung. Akan tetapi, Mueller sendiri tidak sampai pada kesimpulan bahwa Trump telah menghalangi proses hukum.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa Trump terkesan takut dengan penyelidikan yang sedang ditujukan Mueller kepadanya? Siapakah Mueller?
Pribadi cerdas
Sebelum menjadi Penasehat Khusus, Robert Swan Mueller III lebih dikenal sebagai Direktur FBI yang menjabat selama 12 tahun. Ia menjadi Direktur FBI terlama kedua setelah J. Edgar Hoover, pendiri FBI yang memimpin lembaga federal itu selama 37 tahun.
Mueller lahir di Manhattan pada 1944 dari keluarga yang berkecukupan. Ia dibesarkan di Princeton, New Jersey, hingga lulus kuliah politik di Universitas Princenton.
Selama kuliah, ia dikenal sebagai pribadi yang serius, berdedikasi, berpikiran cerdas, sangat berkepribadian, dan fokus. Akan tetapi, ia juga dikenal sebagai pribadi yang memilih menghindar saat diejek sebagai cara untuk menyatakan ketidaksetujuannya.
Selesai kuliah, Mueller bergabung dengan Angkatan Laut AS dan dikirim ke Vietnam pada 1968. Di sana, Letnan Dua Mueller, yang telah terlatih menjadi peggerak tim sejak kuliah, memimpin satu peleton pasukan dan tercatat berhasil memenangkan dua pertempuran.
Pulang dari Vietnam, Mueller melanjutkan kuliah di Universitas Virginia untuk belajar hukum hingga lulus pada 1973. Latar belakang hukum mengantarnya bekerja di bidang hukum di San Fransisco dan Boston. Pada 1990, Mueller masuk ke Departemen Kehakiman sebagai Kepala Divisi Kriminal.
Di waktu itu, Mueller mulai bertemu dengan William Barr yang menduduki posisi sebagai Deputi Jaksa Agung. Relasi Mueller dan Barr terlihat cukup dekat. Hal itu terlihat dari relasi istri keduanya yang saling mengenal dan tergabung dalam kegiatan keagamaan yang sama. Bahkan, mereka juga saling menghadiri pesta pernikahan anak mereka masing-masing.
Selanjutnya, Barr diangkat menjadi Jaksa Agung pada 1991 hingga 1993 pada masa Presiden George HW Bush. Di masa Trump, William Barr kembali diangkat menjadi Jaksa Agung pada 2019 menggantikan Jeff Sessions.
Pada 2001, Mueller diangkat menjadi Direktur FBI oleh George W. Bush dan turun pada masa pemerintahan Barrack Obama. Saat harus mengganti Mueller pada 2011, Obama sempat kesulitan mencari pengganti yang tepat sehingga memberikan tambahan waktu dua tahun bagi Mueller. Mueller akhirnya diganti pada 2013 oleh James B. Comey.
Sebagai Direktur FBI, ujian bagi Mueller muncul tepat satu minggu setelah pelantikannya: serangan bom teroris pada 11 September 2001. Dengan tekanan situasi yang sangat berat, selama masa kepemimpinanya Mueller berhasil membawa FBI sebagai biro investigasi modern yang patuh pada hukum.
Peran Mueller yang paling diingat adalah penolakannya terhadap ide Presiden George Bush meminta Nasional Security Agency (NSA) memata-matai warga AS dalam rangka kegiatan kontraterorisme. Konsisten dengan sikapnya di waktu kuliah saat tidak setuju dengan sesuatu, Mueller mengancam mundur apabila Bush berkukuh melaksanakan niatnya. Tindakan Mueller tersebut berhasil membuat Presiden Bush melunak dan tak meneruskan niatnya.
Dikenal sebagai pribadi yang irit berbicara dan tampil di muka publik, bahkan terkesan misterius, Mueller tetap mempertahankan sikapnya saat menjabat sebagai Penasehat Khusus. Mueller, yang selalu berpakaian formal dan rapi laksana Frank Sinatra era 1956 ini, tidak pernah mau melayani pertanyaan doorstop maupun wawancara selama menjalankan tugas sebagai Penasehat Khusus. Ia lebih sering memilih untuk diam.
Sangat mungkin bahwa sikap diam inilah yang membuat Trump gentar. Trump tidak dapat menduga sikap Mueller selain latar belakang bahwa Mueller merupakan seorang mantan direktur FBI yang teguh pada pendiriannya. Terlebih, sikap ini bertolak belakang dengan Trump yang gemar berpendapat di media sosial.
Detail menentukan
Sikap Mueller yang lebih memilih diam dan menunjukkan hasil kerja yang nyata dapat dilihat sebagai kerangka untuk melihat hasil laporannya setebal 448 halaman. Dalam laporan tersebut Mueller tidak sampai pada kesimpulan bahwa Presiden Donald Trump menghalangi proses hukum. Akan tetapi, the devil is in the detail. Detail memainkan peran yang sangat penting.
Latar belakang hukum dan pengalaman bertugas sebagai penegak hukum membuat Mueller sangat hati-hati dalam menilai sesuatu. Seperti kalimat-kalimat hukum yang sangat memerhatikan detail, laporan Mueller sebagai ePenasihat Hukum sangat kaya dengan detail dalam kronologi peristiwa yang sedang diceritakan.
Dengan bahasa yang sangat distingtif, laporan tersebut mencoba untuk membedakan tiga kata, kolusi (collution), konspirasi (conspiracy), dan koordinasi (coordination). Alih-alih kolusi, tim investigasi menggunakan kerangka konspirasi untuk menilai setiap tindakan para tokoh yang terlibat dalam kasus campur tangan Rusia di Pilpres AS 2019.
Istilah kolusi memang sering digunakan dalam komunikasi dengan Penjabat Jaksa Agung dalam ruang lingkup penyelidikan. Akan tetapi, laporan tersebut menegaskan bahwa kolusi bukanlah pelanggaran dalam UU di AS maupun hukum pidana federal.
Penggunaan kerangka tersebut sengaja dijelaskan di awal laporan untuk memberi gambaran bahwa walaupun terdapat hubungan antara tokoh-tokoh yang diselidiki dengan pihak Rusia, tak dapat disimpulkan bahwa mereka telah melakukan konspirasi maupun koordinasi.
Laporan tersebut diserahkan kepada Jaksa Agung William Barr pada 22 Maret 2019. Selanjutnya, Barr melaporkan hasil penyelidikan Mueller kepada Kongres pada 24 Maret 2019 dalam rangkuman 4 halaman.
Dalam rangkumannya, Barr melaporkan bahwa hasil investigasi Penasehat Khusus menunjukkan adanya usaha-usaha Rusia untuk memengaruhi Pilpres AS 2016 dan dokumen hasil pencurian yang dihubungkan dnegan usaha tersebut.
Dalam rangkumannya, Barr melaporkan bahwa tim investigasi tidak menemukan bahwa tim kampanye Trump atau orang lain yang diasosiasikan dengan tim kampanye Trump melakukan konspirasi atau koordinasi dengan Rusia dalam usaha untuk campur tangan terhadap pilpres AS 2016.
Barr melengkapi laporannya dengan menunjukkan dua cara campur tangan Rusia dalam memengaruhi pilpres AS 2019, lewat kampanye media sosial dan penyebaran informasi hasil peretasan komputer.
Terhadap volume kedua laporan Mueller, Barr menunjukkan bahwa walaupun tak ada kesimpulan bahwa Presiden melakukan tindakan kriminal menghalangi proses hukum, tetapi hasil laporan juga tidak menyatakan sebaliknya. Barr menjelaskan bahwa bukti-bukti yang ditemukan Mueller tidak mencukupi untuk mendukung tuduhan tersebut.
Menurut Barr, Penasehat Khusus tidak memberikan kesimpulan legal terhadap hasil penyelidikannya dan menyerahkan kepada Jaksa Agung untuk menilainya. Atas dasar itulah kemudian Barr menyimpulkan, bersama dengan Deputi Jaksa Agung Rod Rosenstein, bahwa bukti yang disampaikan oleh Penasehat Khusus tidak mencukupi untuk menyatakan bahwa Presiden melakukan tindakan yang menghalangi proses penyelidikan.
Disorot media
Tiga hari kemudian, pada 27 Maret 2019, Mueller menulis surat kritik kepada Barr. Menurut Mueller, rangkuman 4 halaman yang dibuat Barr tidak memotret konteks dan substansi secara menyeluruh terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh Mueller yang tergambar dalam 448 halaman. Oleh karena itu, Mueller mendesak Barr untuk segera merilis hasil penyelidikannya kepada publik.
Selain itu, Barr menyatakan bahwa dalam laporannya terdapat bagian executive summary di awal setiap volume yang berjumlah total 18 halaman. Menurut Barr, rangkuman dalam laporannya dapat dibaca sebagai gambaran minimal bagi mereka yang tidak tertarik membaca secara tuntas seluruh 448 halaman hasil penyelidikannya.
Alasan Barr sangat masuk akal. Dengan asumsi kecepatan baca rata-rata 2 menit per halaman buku nonfiksi, orang yang memiliki waktu 2 jam per hari membaca membutuhkan waktu 7,5 hari untuk menyelesaikan membaca Mueller Report setebal 448 halaman.
Tak heran, anggota Kongres yang mengadakan dengar pendapat dengan Jaksa Agung William Barr tentang "Mueller Report" tak banyak berkomentar terhadap rangkuman 4 halaman yang dibawa Barr. Alasannya, mereka hanya memiliki waktu 2 hari mempelajari laporan tersebut sebelum mengadakan dengar pendapat dengan Barr. Yang patut diapresiasi adalah Barr yang mampu membuat rangkuman sepanjang empat halaman hanya dua hari setelah memperoleh laporan dari Mueller sepanjang 448 halaman.
Atas saran Mueller, pada 18 April 2019, Departemen Kehakiman merilis hasil investigasi Mueller kepada publik dalam versi aman. Dokumen tersebut telah dicoret di beberapa bagian untuk menjaga kerahasiaan karena berisi materi grand-jury dan informasi kasus kriminal yang sedang berjalan.
Persoalan menjadi meluas setelah pada 30 April 2019 surat Mueller kepada Barr yang ditulis pada 27 Maret 2019 tersebar di media. Jaksa Agung William Barr kemudian dipanggil oleh Komite Kehakiman Senat untuk melakukan dengar pendapat pada 1 Mei 2019.
Hampir seluruh surat kabar AS yang terbit pada 2 Mei 2019 kemudian menjadikan pertemuan Barr dengan Senat sebagai sajian halaman muka pemberitaannya. The New York Times menuliskan bahwa di bawah tekanan, Barr membela diri terhadap tindakannya terhadap "Mueller Report".
Para pembuat undang-undang berdebat, Barr membela diri tentang caranya menangani "Mueller Report", demikian tulis USA Today.
Barr membela diri bahwa dalam komunikasi telepon dengan Mueller setelah ia menerima kritikan, yang menjadi fokus surat Mueller adalah urgensi untuk merilis laporan kepada publik. Dengan merilis hasil investigasi Mueller kepada publik, Barr merasa bahwa telah menjawab kritik Mueller.
Financial Times menambahkan bahwa selama dengar pendapat, Barr membela diri dari anggapan Mueller bahwa ia menciptakan kebingungan atas hasil penyelidikan Penasehat Khusus. The Wall Street Journal menambahkan bahwa Jaksa Agung juga mengkritik keputusan Mueller karena tidak menyimpulkan tentang tindakan Trump menghalangi proses hukum.
Dalam pertemuan tersebut, Barr disudutkan terutama oleh kubu Demokrat. Halaman muka Chicago Tribune menyebutkan bahwa para senator dari partai Demokrat menuduh Barr telah berbohong kepada Kongres pada 24 Maret 2019. Barr dianggap tidak menyampaikan hasil penyelidikan Mueller secara menyeluruh sehingga menciptakan kebingungan.
Demokrat juga menilai bahwa Barr lebih bertindak sebagai antek Presiden Trump daripada sebagai pelayan keadilan. Pendapat senada dilontarkan oleh The Washington Post dengan menuliskan berita bahwa Barr berbicara untuk dirinya sendiri dan membela sang presiden.
Suasana debat di Senat yang notabene masih dikuasai Partai Republik tersebut cukup panas. Kemungkinan besar, situasi akan semakin panas dalam rapat dengar pendapat di DPR yang dikuasai kubu Demokrat pada 2 Mei 2019. Oleh karena itu, The New York Times menuliskan bahwa Barr menolak hadir dalam rapat dengar pendapat yang diadakan oleh Komite Yudisial DPR pada tanggal 2 Mei 2019.
Ketua DPR Nancy Pelosi mengomentari dengar pendapat di Senat. Ia menyatakan bahwa Barr telah melanggar hukum saat bersaksi kepada Kongres karena tidak menyatakan kebenaran. Hal ini menambah panas suasana dan meruncingkan perseteruan Demokrat yang berniat melakukan pemakzulan terhadap Trump.
Bukan perkara mudah
Berdasarkan laporan lengkap Mueller yang dirilis Departemen Kehakiman pada 18 April 2019, kubu Demokrat mulai mempertimbangkan untuk melakukan pemakzulan terhadap Donald Trump. Usaha itu dimulai dengan memanggil Jaksa Agung untuk dengar pendapat terkait rangkuman Barr atas "Mueller Report".
Dengan menguasai suara mayoritas di DPR, Demokrat memiliki kesempatan untuk membawa proses pemakzulan ke DPR dan Senat. Pengalaman dengan Bill Clinton menunjukkan adanya kemungkinan proses pemakzulan dilakukan oleh DPR.
Selain itu, pemecatan yang dilakukan Trump terhadap Direktur FBI dan Jaksa Agung memunculkan ingatan akan Saturday Night Massacre di zaman Richard Nixon. Nixon sempat memecat petinggi di Departemen Kehakiman dan FBI kemudian mengganti dengan para loyalisnya. Ingatan tersebut membuat para pendukung ide pemakzulan Trump bersemangat karena dalam sejarah Richard Nixon hampir berhasil dimakzulkan sebelum akhirnya dia lebih dulu mengundurkan diri.
Dalam sejarah AS, usaha pemakzulan presiden belum pernah berhasil. Terdapat tiga presiden yang berhadapan dengan proses pemakzulan, yakni Andrew Johnson tahun 1868, Richard Nixon (1974), dan Bill Clinton (1998). Baik Andrew Johnson dan Bill Clinton telah dimakzulkan oleh DPR, tetapi keduanya dibebaskan oleh Senat. Richard Nixon belum sempat diproses untuk dimakzulkan karena mengundurkan diri sebelum pemakzulan DPR dibawa ke Senat.
Sulitnya memakzulkan presiden di AS disebabkan adanya beberapa tahap yang harus dilewati.
Pertama-tama seorang anggota DPR harus meminta proses pemakzulan. Selanjutnya, DPR akan meminta proses pemakzulan dimulai. Ketua DPR akan merujuk proses kepada Komite Kehakiman DPR untuk menentukan apakah terdapat cukup alasan untuk melanjutkan proses pemakzulan. Bila ditemukan cukup bukti, akan dibuat artikel pemakzulan dan akan diadakan voting untuk menentukan apakah akan membawa artikel tersebut dalam sidang DPR.
Kasus pemakzulan kemudian dibahas oleh semua anggota DPR. DPR melakukan voting untuk melakukan pemakzulan. Bila tercapai mayoritas sederhana untuk menggunakan pasal-pasal pemakzulan, pejabat yang didadili dapat dimakzulkan.
Pasal-pasal pemakzulan yang dimaksud terdapat dalam Konstitusi AS, dalam Artikel I Bab 2 Ayat 5, Artikel I Bab 3 Ayat 6-7, dan Artikel II Bab 4. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa yang memiliki kekuatan untuk melakukan pemakzulan adalah DPR. Selain itu, pelaksanaan pemakzulan ada di tangan Senat. Aturan terakhir mengatur siapa yang dapat dimakzulkan dan alasan tindakan pemakzulan oleh DPR dan Senat.
Menurut Konstitusi AS, yang dapat dimakzulkan adalah Presiden, Wakil Presiden, dan semua pejabat sipil di AS. Pemakzulan dilakukan dengan memberhentikan mereka dari jabatan dan juga dihukum sesuai kejahatan yang dibuat. Alasan yang dapat dikenakan untuk proses pemakzulan adalah pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan berat dan pelanggaran ringan lainnya. Jadi, terdapat empat alasan, tiga alasan cukup jelas sedangkan satu alasan, “pelanggaran ringan lainnya”, butuh interpretasi lebih lanjut.
Setelah DPR sepakat untuk memakzulkan. Artikel pemakzulan perlu dibawa ke Senat. Senat akan memutuskan, apakah seorang pejabat bersalah atau tidak atas dakwaan dalam pasal-pasal pemakzulan. Bila Presiden adalah pejabat yang diadili, Ketua Mahkaman Agung akan memimpin sidang tersebut. Bila dua per tiga dari Senat memutuskan untuk menghukum, pejabat akan dicopot dari jabatan publik.
Selain dicopot dari jabatan publik, pejabat yang dimakzulkan dapat juga menghadapi dakwaan pidana atau perdata sesuai pasal yang didakwakan.
Melihat proses berjenjang dari proses pemakzulan, dapat dipahami bahwa dalam sejarah AS, usaha ini belum pernah berhasil. Hanya 3 dari 44 presiden AS sebelum Trump yang pernah mengalami proses pemakzulan. Artinya, hanya 7 persen atau angka yang sangat kecil dibandingkan 93 persen presiden lain.
Angka tersebut hanya akan bertambah menjadi 16 persen ketika dibandingkan dengan presiden-presiden AS yang pernah menghadapi penyelidikan khusus seperti yang sedang dihadapi oleh Trump. Terdapat tujuh presiden AS sebelum Trump yang pernah diivestigasi langsung karena skandal-skandal yang mereka hadapi, mulai dari Richard Nixon dengan skandal Watergate sampai dengan George W. Bush dengan skandal Plamegate.
Selain harus melewati tahap yang berjenjang, pemakzulan terhadap Presiden di AS jarang terjadi karena sangat menguras waktu dan energi. Ditambah lagi, alasan kejahatan yang dilakukan presiden harus benar-benar jelas dan terbukti, entah dalam hal pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan berat dan pelanggaran ringan lainnya.
Di sisi lain, partai pendukung Presiden juga akan melihat dukungan rakyat terhadap proses tersebut. Apabila rakyat tidak mendukung proses pemakzulan, mereka lebih memilih untuk tidak melanjutkan seperti yang terjadi dalam kasus Bill Clinton. Oleh karena itu, usaha kubu Demokrat merongrong Trump dengan jalur konstitusi ini akan menghadapi banyak rintangan terutama di Senat yang masih dikuasai oleh Republik.
Saat ini, sentimen publik untuk memakzulkan Donald Trump belum mencapai mayoritas. Dalam jajak pendapat CNN yang dirilis pada 1 Mei 2019, hanya 37 persen responden menyetujui bahwa Trump harus dimakzulkan. Sebaliknya, mayoritas, atau sebanyak 59 persen responden menyatakan tidak perlu melakukan hal tersebut. Sisanya, 4 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Kasus pemakzulan Bill Clinton bisa menjadi cermin bagi Demokrat yang berniat mencoba memakzulkan Trump. Walau sedang mengalami proses pemakzulan di DPR, Bill Clinton ternyata masih populer di kalangan pemilih. Oleh karena itu, di tingkat Senat, Bill Clinton dibebaskan dari pemakzulan.
Mengubah fokus
"Mueller Report" telah berhasil menggiring media AS dan kubu Demokrat lebih banyak menyoroti upaya pemakzulan kepada Donald Trump. Akan tetapi, berdasarkan laporan sepanjang 448 halaman yang dibuat oleh seorang mantan Direktur FBI yang berlatar belakang hukum, tak ada kesimpulan legal terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh Donal Trump. Mueller telah menunjukkan dengan berbagai bukti kejadian bahwa tak ada kesimpulan hukum yang dapat dituntutkan kepada Donald Trump.
Walaupun dalam bentuk buku telah menjadi best seller di Amazon dan terjual lebih dari 42.000 eksemplar sejak April 2019, tak semua pembeli "Mueller Report" telah membaca hasil laporan tersebut hingga habis. Dari jajak pendapat yang dilakukan oleh CNN di atas, hanya 3 persen dari responden tertarik untuk membaca habis laporan tersebut. Sisanya, hanya tertarik untuk mendapatkan salinannya dan membaca secara umum. Bisa jadi, mereka membeli buku tersebut semata tergerak karena isu konspirasi yang membumbui "Mueller Report".
Bila membiarkan "Mueller Report" sebagai teks membela dirinya sendiri, kesimpulan utama yang perlu ditindaklanjuti oleh publik AS adalah bahwa Rusia terlibat campur tangan terhadap Pilpres AS 2016.
Keterlibatan Rusia yang dikonfirmasi dalam laporan tersebut patut menjadi perhatian lebih mengingat hal tersebut tidak hanya terjadi di Amerika. Menurut data dari Alliance for securing democraty, sejak tahun 2000, Rusia telah terlibat dalam urusan dalam negeri 40 negara dengan berbagai cara.
Para ahli selama ini melihat bahwa AS menggunakan sanksi ekonomi sebagai elemen utama melawan Rusia. Pemerintahan Barack Obama pada akhir masa pemerintahannya sempat menjatuhkan sanksi kepada Rusia karena serangan siber pada Pilpres AS 2016. Donald Trump sendiri memperluas sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia pada 2018 karena alasan yang sama.
Sejak 2014, terdapat sekurangnya enam sanksi yang dijatuhkan oleh AS kepada Rusia terkait berbagai isu, mulai dari invasi Rusia terhadap Ukraina, campur tangan terhadap pemilu, pelanggaran HAM dan korupsi, perdagangan gelap dengan Korea Utara, mendukung pemerintahan Suriah, serta penggunaan senjata kimia.
Apakah sanksi tersebut efektif? Dalam kurun waktu sanksi AS diberlakukan sejak 2014, ekonomi Rusia memang cenderung menurun sejak 2013 hingga 2016 dan mulai membaik pada 2017. Akan tetapi, semakin banyak sanksi yang diberikan AS, ternyata ekonomi Rusia malah mengalami kenaikan, terutama dari 2016 ke 2017 saat campur tangan Rusia terhadap Pilpres AS terjadi.
Oleh karena itu, "Mueller Report" memberikan pekerjaan rumah yang belum tuntas dikerjakan, yakni motif di balik campur tangan Rusia terhadap Pilpres AS 2016.
"Mueller Report" menunjukkan bahwa tim kampanye Donald Trump diuntungkan oleh campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016. Motif yang lebih banyak diselidiki oleh "Mueller Report" berhubungan dengan tindakan Presiden Trump, apakah presiden bermaksud menghalangi proses hukum. Belum tampak motif yang menjelaskan tindakan Rusia mencampuri urusan dalam negeri AS.
Satu-satunya motif Rusia yang muncul adalah motif uang yang disebutkan dalam jual-beli informasi tentang Hillary Clinton. Dalam "Mueller Report" diceritakan bahwa seorang pebisnis Rusia yang tinggal di Florida, Henry Oknyansky, mencoba menawarkan informasi tentang Hillary Clinton kepada tim kampanye Donald Trump. Ia dijanjikan pembagian dari hasil penjualan informasi yang bernilai ratusan ribu dollar AS.
Bila melibatkan urusan negara, tampaknya uang sejumlah itu tersebut terlalu kecil bagi pemerintah Rusia dengan memberikan keuntungan elektoral bagi Donald Trump alih-alih kepada Hillary Clinton. Lantas apa motif Rusia?
Beberapa kajian telah dilakukan dan memunculkan minimal dua alasan utama. Pertama alasan bahwa Hillary diasosiasikan dengan Obama yang telah membuat malu banyak pejabat Rusia dengan pengungkapan nama-nama mereka dalam Panama Papers. Para pejabat Rusia yang marah dengan pengungkapan Panama Papers mencoba untuk membalas dendam sehingga mencampuri pilpres AS 2016.
Selain itu, The New York Times juga pernah menurunkan laporan panjang tentang relasi Trump dan Putin. Dalam tulisan tersebut, disebutkan bahwa terciptanya hubungan baik Rusia dan Trump akan menjauhkan AS dari Eropa dan NATO sebagai lawan Rusia. Pendapat ini disimpulkan dari ucapan Trump yang beberapa kali menyatakan keinginan untuk menarik AS dari NATO.
Bukan hasil akhir
Sampai saat ini, Komite Kehakiman DPR terus mencoba mendalami Mueller Report. Mereka berusaha menghadirkan Mueller untuk ditanyai. Di sisi lain, Donald Trump terus mencoba menghindar dari usaha untuk terus memperdalam penyelidikan tentang peran Rusia dalam pilpres AS 2016.
"Mueller Report" hanyalah salah satu dari beberapa investigasi yang sedang berlangsung. Selain itu, Kongres dapat melanjutkan investigasi hingga 2020 dengan menggunakan pengacara dari Departemen Kehakiman.
Dengan waktu jabatan Trump yang tinggal satu tahun lagi, kubu Demokrat kemungkinan besar akan terus menggoreng isu ini hingga pemilu presiden 2020. Di dalam negeri, Trump akan selalu dihantui dengan ketakutan terhadap investigasi langsung terhadap dirinya, bahkan terhadap usaha pemakzulan.
Akan tetapi, bila memang tidak melakukan apa pun mengapa harus panik? Bagaimana pun dalam sejarah belum pernah terjadi seorang Presiden AS dimundurkan karena pemakzulan. (LITBANG KOMPAS/MAHATMA CHRYSHNA)