Hanya keajaiban lainnya yang bisa membuat Liverpool FC juara dan menyalip Manchester City di pekan terakhir Liga Inggris, Minggu malam ini. City punya “jimat” untuk menangkal potensi mukjizat itu, yaitu ambisi dan mimpi.
LONDON, SABTU – Sepanjang sejarah Liga Primer Inggris, tidak pernah ada satu pun tim peringkat kedua yang menjadi juara dengan mengudeta tim teratas di hari terakhir kompetisi. Namun, semua kelaziman itu bukan lagi jaminan sejak hadirnya serangkaian “mukjizat” yang diperlihatkan Liverpool FC dan Tottenham Hotspur di Liga Champions Eropa pekan ini.
Untuk meraih trofi Liga Inggris pertamanya dalam 29 tahun terakhir, Liverpool butuh keajaiban seperti halnya saat menyingkirkan Barcelona di semifinal Liga Champions. Mereka kini masih tertinggal satu poin dari pemuncak klasemen, Manchester City, di pekan terakhir Liga Inggris, Minggu malam ini.
“Pekan ini minggunya momen-momen besar (dramatis) di sepak bola. Dari sudut pandang kami, momen besar itu masih bisa terjadi akhir pekan ini. Pekan ini belumlah benar-benar berakhir,” ujar Manajer Liverpool Juergen Klopp penuh harap dalam jumpa pers Jumat (10/5) lalu.
Pulihnya penyerang terbaiknya, Mohamed Salah, menjadi modal positif “The Reds” menatap pekan terakhir ini saat menjamu tim “kuda hitam”, Wolverhampton Wanderes, di Stadion Anfield. Namun, tampilnya Salah, bahkan kemenangan atas lawannya itu, tidak akan cukup mengantarkan Liverpool juara mengingat mereka masih tertinggal satu poin dari City.
Berbeda dengan saat menghadapi Barca, malam ini Liverpool tidak lagi menentukan takdirnya sendiri dalam perburuan trofi Liga Inggris. Mereka butuh “bantuan” faktor lainnya, yaitu terpeleset atau setidaknya gagal menangnya City di markas Brighton & Hove Albion.
Namun, mengharapkan Brighton mampu mewujudkan kejutan tersebut, nyaris seperti mimpi. Tim asal Sussex Timur itu tidak lagi punya ambisi khusus di pekan pamungkas ini. Target bertahan di Liga Primer Inggris telah mereka capai dengan menyegel peringkat ke-17. Catatan statistik juga menyudutkan Brighton. Tim itu tidak pernah menang di sembilan laga terakhir. Mereka bahkan hanya mencetak tiga gol di kandang sepanjang 2019 ini. Itu adalah rekor terendah dari total 92 klub Inggris di berbagai divisi.
Di lain pihak, City datang dengan semangat menggebu-gebu sekaligus mawas diri. Manajer Manchester City Pep Guardiola tidak ingin timnya bernasib serupa Barca dan Ajax yang kolaps di saat mengendalikan takdirnya sendiri. “Satu kekalahan, kita lihat bersama di Liga Champions, menghancurkan tim, manajer, dan klub. Saya tahu seperti apa kami bakal dihakimi. Untuk itu, kami harus menang,” ujarnya.
Bagi City, trofi Liga Inggris musim ini tidak kalah istimewanya dari Liga Champions. Seperti halnya kompetisi antarklub Eropa itu, trofi domestik itu sangatlah sulit dipertahankan. Kali terakhir tim yang mampu memenangi Liga Inggris beruntun adalah Manchester United, yaitu tepat satu dekade silam. Sejak itu, kompetisi Liga Inggris menjadi kian sengit dan sulit ditebak juaranya.
Buku sejarah
Jika mampu meraihnya, Manajer Manchester City Pep Guardiola akan mencatatkan namanya dalam buku sejarah Liga Primer Inggris. Sebelumnya, hanya ada dua manajer, yaitu Sir Alex Ferguson dan Jose Mourinho, yang memenangi trofi Liga Inggris secara beruntun. Guardiola bahkan bisa membuat rekor dan sejarah baru, yang belum pernah diraih Ferguson maupun Mourinho, jika juga memenangi Piala FA pada pekan depan.
Belum pernah ada klub Inggris yang menyapu treble alias tiga gelar juara domestik. “Adalah mimpi bisa berada di posisi saat ini. Sejujurnya, saya tidak menyangka itu beberapa bulan lalu, yaitu ketika kami tertinggal tujuh poin dari Liverpool. Tim berlatih dengan rileks, bahkan banyak tersenyum. Kami akan bermain dengan baik dan mentalitas kuat. Kami hanya perlu memenangi laga sendiri untuk menjadi juara,” ujar Guardiola kemudian.
Sejarah berkata, tim-tim yang berada di posisi seperti City saat ini tidak pernah gagal menyegel gelar juara Liga Primer Inggris di pekan terakhirnya. Hal itu mereka buktikan saat bersaing ketat dengan Liverpool asuhan Brendan Rodgers pada musim 2013-2014. City, yang saat itu diasuh manajer Manuel Pellegrini, menutup musim itu dengan kemenangan dan gelar juara. Mereka menyalip The Reds di pekan ke-36.
Hal serupa diperlihatkan dua musim sebelumnya. Serupa musim ini, City ketika itu bersaing sengit dengan MU. Menjelang laga pekan terakhir, kedua tim mengemas poin sama, yaitu 86. Namun, City ada di puncak karena unggul jumlah selisih gol. Posisi itu bertahan di akhir laga berkat gol dramatis striker Sergio Aguero di menit ke 90+4. “Setelah musim yang sangat dramatis itu, kita akan menyaksikan kembali sengitnya persaingan hingga saat terakhir akhir pekan ini,” tulis BBC. (AFP/Reuters)