Pelebaran defisit transaksi berjalan yang berpotensi terjadi pada triwulan II-2019, patut diwaspadai. Defisit transaksi berjalan menjadi salah satu penyebab volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelebaran defisit transaksi berjalan yang berpotensi terjadi pada triwulan II-2019, patut diwaspadai. Sebab, pembayaran jatuh tempo utang luar negeri cukup tinggi berbarengan dengan musim pembagian dividen perusahaan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, yang dikutip Sabtu (11/5/2019), transaksi berjalan pada triwulan I-2019 defisit 6,966 miliar dollar AS atau setara 2,6 persen produk domestik bruto (PDB).
Defisit lebih dalam dibandingkan dengan triwulan I-2018 sebesar 5,196 miliar dollar AS atau 2,01 persen PDB, dan triwulan I-2017 yang defisit 2,023 miliar dollar AS atau 0,84 PDB.
Neraca transaksi berjalan dihitung berdasarkan empat komponen, yakni perdagangan barang, perdagangan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.
Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menuturkan, defisit transaksi berjalan pada triwulan II berpotensi lebih dalam dari triwulan I karena faktor musiman. Komponen pendapatan primer akan lebih negatif karena ada pembayaran utang luar negeri dan dividen ke luar negeri.
Sebagai gambaran, utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah tahun 2019 mencapai Rp 382,74 triliun. Sebagian besar utang itu, jatuh tempo pada paruh pertama tahun ini. Sementara itu, utang jangka pendek swasta tenor kurang dari satu tahun per Februari 2019, mencapai 51,412 miliar dollar AS atau setara Rp 750,9 triliun.
“Defisit transaksi berjalan yang sekarang 2,6 persen PDB pada triwulan I-2019, bisa naik sedikit ke menjadi 2,7 persen PDB pada triwulan II-2019,” kata Enrico.
Kendati dipengaruhi faktor musiman, menurut Enrico, pelebaran defisit pada triwulan II-2019 mesti diwaspadai. Kebijakan pengendalian impor harus tetap dilanjutkan untuk memperbaiki neraca dagang. Surplus neraca jasa, terutama dari sektor pariwisata, juga ditingkatkan agar pasokan valuta asing (valas) bertambah.
Upaya memperbaiki neraca barang dan jasa harus konsisten dan berkelanjutan. Perbaikan neraca perdagangan barang sudah mulai terlihat dari surplus bulan Februari dan Maret. Ekspor tak perlu didorong naik secara agresif karena impor akan ikut naik. Hal terpenting adalah net ekspor terus tumbuh.
“Defisit bisa ditekan drastis pada triwulan III-IV sehingga proyeksi rata-rata setahun 2,5 persen PDB memungkinkan,” ujar Enrico.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, defisit transaksi berjalan menjadi salah satu penyebab volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Risiko tekanan global terhadap nilai tukar akan lebih dalam menimpa negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan, termasuk Indonesia.
Mirza menyebutkan, defisit transaksi berjalan masih mungkin untuk diperbaiki. Pada 2016-2017, defisit transaksi berjalan bisa di bawah 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) karena inflasi rendah dan ekspor tumbuh. Bank Indonesia menargetkan defisit transaksi berjalan tahun 2019 di bawah 2,5 persen PDB.
Pelonggaran moneter
Enrico menambahkan, pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal mungkin dilakukan pada triwulan IV-2019.
Pelonggaran kebijakan itu bukan berarti tidak mementingkan stabilitas, tetapi sebagai upaya memanfaatkan momentum atas hilang atau berkurangnya faktor siklikal—yang bersumber dari perang dagang AS-China.
Pelonggaran kebijakan fiskal bisa ditempuh pemerintah dengan pertimbangan defisit APBN yang terjaga di bawah 2 persen. Sementara, pelonggaran kebijakan moneter oleh Bank Indonesia mempertimbangkan stabilitas inflasi, kurs rupiah, dan penyempitan defisit transaksi berjalan. BI dimungkinkan memangkas suku bunga hingga 50 basis poin (bps).
“Pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter ini untuk memberikan stimulasi terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Enrico.
Terkait pertumbuhan ekonomi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 menitikberatkan persoalan defisit transaksi berjalan. Defisit harus diperkecil agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 6 persen.
Pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN 2020-2024 ditargetkan berkisar 5,4 persen-6 persen per tahun. Target itu bisa tercapai apabila defisit transaksi berjalan konsisten mengecil, investasi tumbuh di atas 7 persen, serta tercipta net ekspor.