Upaya Jepang Tekan Angka Bunuh Diri
Pemerintah Jepang berhasil menurunkan angka bunuh diri secara nasional sebanyak 40 persen dibandingkan tahun 2003. Namun, yang mengkhawatirkan, jumlah anak muda yang bunuh diri tetap tinggi.
Taeko Watanabe mendadak terbangun tengah malam dan menemukan jejak tetesan darah di kamar anak lelakinya, Yuki (29). Ketika dicari, Taeko tak menemukan sang anak di rumah. Ia pun menghubungi polisi. Pencarian pun dilakukan dan polisi menemukan ”surat perpisahan” di kamar Yuki.
”Pagi hari polisi menemukan jenazahnya di kanal dekat kuil. Setelah proses otopsi, anak saya dibawa pulang dalam peti jenazah. Dunia serasa hancur,” kata Taeko Watanabe mengenang peristiwa yang terjadi sekitar 10 tahun lalu itu dengan berurai air mata. Kejadian itu berlangsung pada 2008 ketika tingkat bunuh diri sangat tinggi di Akita, 450 kilometer di utara Tokyo. Selama 20 tahun terakhir, prefektur itu memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di Jepang.
Jika ditarik ke belakang, bunuh diri memiliki akar kultural di Jepang. Di masa lalu tindakan itu kerap dinilai ”terhormat” karena dikaitkan dengan sikap heroik dan tanggung jawab.
Para samurai, misalnya, akan melakukan seppuku (merobek perut) untuk memulihkan nama baik setelah melakukan kegagalan. Atau, para pilot Jepang di Perang Dunia II ramai-ramai melakukan kamikaze untuk menghancurkan musuh.
Pemerintah Jepang mulai waspada ketika tingkat bunuh diri mencapai 34.427 orang pada tahun 2003. Fenomena itu membuka mata pemerintah dan wakil rakyat bahwa bunuh diri bukan lagi persoalan individu, melainkan telah menjadi masalah sosial.
Gerakan publik yang masif untuk mencegah bunuh diri berlangsung di Prefektur Akita. Salah satu penggeraknya adalah Taeko Watanabe. Ia sendiri pernah mempertimbangkan bunuh diri setelah putranya meninggal. Gerakan itu kemudian menjadi gerakan nasional. Program intervensi yang dilakukan di Akita lantas diadopsi ke wilayah-wilayah lainnya.
Akita, yang memiliki penduduk 981.000 jiwa, kini menjadi wilayah yang paling rendah tingkat bunuh dirinya di seluruh Jepang, dan memiliki jaringan bantuan sipil yang terbesar di Jepang.
”Ketika bunuh diri masih dianggap sebagai masalah pribadi, pemerintah melarang penggunaan anggaran pajak untuk biaya penanggulangan. Namun, perubahan paradigma terjadi di Akita, dan akhirnya seluruh Jepang mengikuti,” kata Yutaka Moyohashi, Direktur Pusat Bantuan dan Penanggulangan Bunuh Diri, kepada AFP.
Sampai tahun ini, tingkat bunuh diri di Jepang telah berhasil diturunkan sampai 40 persen, dari 27 per 100.000 orang pada 2003 menjadi 16,3 pada tahun ini.
Lansia kesepian
Bunuh diri bisa disebabkan banyak faktor, tetapi mengacu pada kasus bunuh diri di Akita, penyebab utamanya adalah keterisolasian, kesepian pada masa tua, musim dingin yang berkepanjangan, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Salah satu program yang dilakukan warga adalah memberikan pelatihan kepada sukarelawan untuk bersama-sama mengidentifikasi individu yang rentan melakukan bunuh diri. Mereka kemudian membuat daftar orang-orang yang perlu dibantu dan diberi perhatian.
Saat ini ada 3.000 tenaga terlatih di Akita. Jumlah ini jauh dari mencukupi. Dibutuhkan minimal 10.000 tenaga sampai dengan tahun 2022 sehingga rasionya menjadi 1 tenaga per 100 warga.
Selain tenaga terlatih, dibutuhkan juga sukarelawan untuk menjadi sekadar ”pendengar”. Salah satunya adalah Ume Ito (79) yang bertugas mendatangi dan mendengarkan cerita dari para lansia. Pendekatan ini cukup ampuh karena sekitar 70- 80 persen lansia yang didatangi umumnya menyatakan sudah bosan hidup dan kesepian.
Di antaranya Sumiko (73), yang kini harus terus berada di tempat tidur karena terjatuh. ”Saya pikir apa gunanya hidup jika harus selamanya terbaring di tempat tidur. Saya bisa gila. Kalau dia (Ume Ito) tidak datang, saya akan sangat sedih. Saya tidak bisa menceritakan perasaan saya,” kata Sumiko.
Lebih muda
Namun, turunnya tingkat bunuh diri secara nasional tidak berarti membuat Pemerintah Jepang lega.
Persoalan yang saat ini mengkhawatirkan adalah tingginya tingkat bunuh diri di antara remaja dan anak muda. Pada 2018 ada 543 anak dan remaja yang bunuh diri, jumlah tertinggi selama 30 tahun.
Seperti dikutip CNN (6/11/2018), alasan utama anak- anak usia sekolah ini melakukan bunuh diri adalah karena menjadi korban perundungan di sekolah, selain karena stres akibat tuntutan sekolah maupun keluarga.
Nanae Munemasa (21), yang kini menjadi sukarelawan pencegahan bunuh diri, menceritakan bagaimana berat perasaannya setiap kali liburan usai dan ia harus kembali ke sekolah.
”Begitu diri kita dihinggapi rasa cemas membayangkan perundungan yang akan dihadapi di sekolah, bunuh diri bisa menjadi jalan yang dipilih,” kata Munemasa yang sempat mempertimbangkan bunuh diri karena tak tahan menjadi korban perundungan sewaktu duduk di sekolah menengah.
Terkait dengan hal itu, Pemerintah Jepang menerapkan aturan yang mewajibkan adanya konselor di setiap sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Pemerintah juga meluncurkan saluran bantuan daring (help online) yang terbuka selama 24 jam.
Setiap siswa diajarkan bagaimana mencari akses bantuan pada saat mereka mengalami masalah. Kementerian Pendidikan, misalnya, menerbitkan pamflet-pamflet yang membuat anak-anak sekolah dasar mampu ”menilai” perasaan mereka melalui komik-komik ceria.
”Hikikomori”
Perkembangan teknologi juga dinilai ikut berpengaruh. Banyak warga Jepang yang sengaja mengurung diri di rumah dan menarik diri dari lingkungan, yang dikenal dengan sebutan hikikomori,
Jumlah individu yang terkena sindrom ini diperkirakan lebih dari 1 juta orang. Menurut laporan BBC, 29 Januari 2019, para narasumber yang diwawancarai umumnya mengaku merupakan pengguna internet dan permainan video yang intens.
Mereka juga tahan tidak keluar kamar atau rumah selama berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Mereka memilih ”berteman” dengan teknologi sehingga ketika kelompok ini mengalami depresi, mereka tak memiliki teman untuk berbagi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Jepang, sindrom ini melanda di semua kelompok usia, dari 15 tahun sampai 39 tahun, tetapi terbanyak ditemukan pada kelompok usia 20-29 tahun.
Meskipun tidak berkorelasi langsung dengan tingkat bunuh diri, data menunjukkan, penyebab utama kematian para pria Jepang berusia
20-44 tahun adalah bunuh diri.
Berdasarkan hasil sejumlah penelitian dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan isolasi sosial itu meningkat secara global. Sindrom hikikomori tidak hanya ”milik” Jepang, tetapi juga ditemukan di sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Hong Kong, India, AS, Spanyol, Italia,
Inggris, dan Perancis, dengan derajat ekstremitas yang berbeda-beda.
Fakta ini menjadi alarm bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan juga keluarga bahwa isu kesehatan mental merupakan persoalan serius. Sindrom ini menyerang diam-diam dan bisa berujung pada kematian. (AFP)